Alina tak pernah meminta banyak—hanya ingin lulus dari Horizon International Academy dan menghilang tanpa jejak. Namun, satu kesalahan mempertemukannya dengan Arion Mahendra Kwon, siswa atlet yang berkuasa, berbahaya, dan diincar timnas Indonesia. Tatapannya menusuk, sikap dinginnya, dan nama keluarganya yang terpandang membuat Arion tak tersentuh—dan Alina, hanya siswi miskin yang mendapat beasiswa, tak mungkin bisa mendekatinya. Tapi mereka terikat oleh satu rahasia gelap—pernikahan yang terpaksa mereka sembunyikan dari dunia. Di antara ketegangan dan kebencian yang membara, perasaan yang tak terduga muncul di tengah gejolak itu. Ketika cinta mulai merayap di antara amarah dan penolakan, Alina takut kehilangan dirinya lagi. Namun, Arion tak hanya ancaman, dia adalah api yang bisa membakar habis sisa hidup Alina. Dan di ambang kehancuran itu, hanya satu pertanyaan tersisa: Akankah mereka bertahan, atau tenggelam dalam cinta yang berbahaya? Note : Follow akun goodnovel Biebiefenimmm. Instagram author biebiefenim_author 🌹 FB: Biebiefenim Author untuk info lebih lanjut agar tahu ilustrasi seluruh karakter dan kisi-kisi update terbaru. Thanks reader, Salam Sayangg dari Author 😘
View More"Ah, masih lama. Dua jam lagi..." gumam Alina sambil melirik jam dinding. Dia lagi rebahan mendengarkan musik di tempat tidur. Tapi dia merasa kayak ada yang salah..
"ASTOGE! JAM DELAPAN YA INI! UDAH JAM SEGINI AJA!" Alina langsung panik. Ini jam delapan yang berarti dua jam lagi dia harus sampai sekolah! Tanpa mikir panjang, dia langsung menyambar handuk dan lari ke kamar mandi. Setelah mandi dan pakai baju dengan kilat, Alina berdiri di depan cermin. Dia mengambil liptint merah muda dan maskara tipis, biar kelihatan fresh tapi nggak menor. Ketika sudah puas dengan penampilannya, dia buru-buru mengunci pintu rumah dan cek peta di ponsel untuk lihat rute ke sekolah. "Serius harus jalan sejauh ini? Duh, kenapa gak ada angkot lewat sih disekitar sini?" Dia menghela napas panjang. Sebenarnya satu kilometer bukan masalah. Tapi siang itu panas banget, matahari terik kayak mengajak duel. Bikin dia jadi mikir dua kali buat jalan. “Dua puluh menit ke sekolah, nembus cuaca kayak oven… fix ini sih tantangan baru,” batinnya sambil menyiapkan mental buat berangkat. “Yaudah deh, gas aja,” gumamnya sambil jalan cepat. Alina menyusuri jalan sambil melihat maps, melihat tembok tinggi di depannya yang nggak biasa. Seperti bukan pagar sekolah kebanyakan, ini lebih mirip tembok rumah sultan. Alina langsung bengong sambil terus jalan. Dia lihat atap biru tua gedung utama sekolah. Temboknya tinggi melingkari kompleks itu. Pagarnya juga lebih mirip pagar rumah orang tajir. Dari luar, sekolahnya tampak lebih mewah dari apa yang disebut di brosur. Horizon International Academy benar-benar besar, luasnya sampai 30 hektare. Nggak cuma buat kelas, lahan itu juga buat fasilitas lain yang super lengkap. Alina akhirnya sampai di jalan menuju gerbang utama. Di depannya berdiri gerbang besi dengan tulisan huruf "HIA" di tengahnya. Di atasnya terdapat bendera biru dan merah bertuliskan, "SELAMAT DATANG SISWA DAN SISWI BARU." "Ya ampun formal banget," pikirnya sambil masuk. Gerbangnya terbuka lebar, untung nggak ada satpam yang jaga. Mungkin karena ini adalah hari kedatangan murid baru. Langkahnya otomatis melambat. Dia nggak mau terlihat mencolok. Soalnya, hampir semua murid lain pasti pada datang memakai mobil-mobil mewah. Sementara Alina? Jalan kaki, bro. Belum sempat dia masuk gerbang, tiba-tiba… CEKREK! CEKREEEK! Cahaya kamera mendadak menyorot ke wajahnya. Alina langsung melindungi matanya dengan tangan, kaget banget. Teriakan-teriakan mulai terdengar. Langkahnya terhenti. Wartawan mulai bermunculan dari segala arah. “Alina, bagaimana perasaanmu sekarang?” “Rasanya bisa diterima di sini bagaimana?” “Benarkah kamu…?” Pertanyaan bertubi-tubi itu bikin otaknya nge-blank. Sebelum dia sempat mengetahui apa yang terjadi, seseorang muncul entah dari mana. Seorang cowok tinggi, terganteng yang pernah Alina lihat. Dia pakai kacamata hitam dan topi. Cowok itu langsung masuk ke kerumunan dan berdiri di samping Alina. Tanpa minta izin dulu, lengannya melingkar di pinggang Alina. Refleks, dia menarik Alina lebih dekat sambil menghalau kepadatan. Gesturnya tenang, kayak sudah sering banget mengahadapi wartawan kayak gini. Dengan suara rendah tapi tegas, dia berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Hei... Kasih dia jalan dong,” katanya, suaranya kalem tapi bikin semua orang di situ diam. Alina hampir nggak sadar waktu cowok itu menuntun dia ke sebuah mobil mewah yang terparkir di dekat mereka. Sebelum sempat protes, Alina sudah duduk di kursi penumpang, sementara pria itu menutup pintu di sebelahnya. Cowok itu pun masuk mobil, lalu menyentuh kedua pundak Alina sambil menatap kedua matanya. "Lo oke kan?" tanyanya. Tatapannya dalam banget. Alina berani bersumpah kalau saat itu jantungnya beneran kayak mau copot. Alina cuma bisa mengangguk pelan. "Eh… iya. Gue... gue baik-baik aja kok," jawabnya gugup. Suara tenggelam saat berbicara di dalam mobil yang begitu mewah. Cowok itu melirik Alina sekilas sebelum menyalakan mesin mobil. "Lo nggak boleh jalan sendirian di tempat kayak gini." Kalimat itu membuat Alina bingung. “Maksud lo?” Cowok itu menghela napas. "Wartawan tadi tuh bukan dari media resmi. Mereka cuma cari gosip murahan. Sekolah ini sering banget jadi target, soalnya banyak anak-anak dari keluarga terkenal yang sekolah di sini." Alina cuma bengong. Benar juga. Apa pentingnya dia mata para wartawan? Dia bukan siapa-siapa. Pandangannya tanpa sadar beralih ke kaca mobil, melihat pantulan dirinya sendiri. Alina jadi makin sadar betapa berantakannya dia sekarang. Tapi dia berharap cowok itu mengira wajahnya merah hanya karena kepanasan bukan deg-degan. Tapi perhatian Alina teralihkan saat melihat logo kecil di lengan kaus polo cowok itu. Logo itu memuat nama ARION , diakhiri huruf Korea "권" (Kwon) dengan gaya elegan. Saat itulah Alina baru sadar di samping siapa dia duduk. Jantungnya langsung berdegup kencang dan wajahnya langsung memanas. Cowok ini bukan orang biasa. Dia Arion Mahendra Kwon, kapten tim sepak bola Horizon Tigers. Nama dia udah terkenal banget di televisi, apalagi sebagai anak orang kaya dan atlet berbakat. Alina ngerasa kayak ada di dalam mimpi. Dia nanya pelan, "Eh, ini nggak bakal jadi masalah kan? Maksudnya, buat lo… atau kita, eh, gue maksudnya." Arion cuma menyeringai santai. "Masalah? Tenang aja. Mereka nggak bakal berani ngapa-ngapain lo, asal lo nggak tampil kayak gini terus." Matanya melirik blouse gombrong yang dipakai Alina, terus ke celana jins robeknya. "Blouse lo kegedean, terus celana lo sobek… Lo keliatan kayak habis nyungsep," komentar Arion sambil ketawa kecil. Wajah Alina langsung merah. Dia baru sadar blouse ini salah ambil karena dia terburu-buru tadi pagi. Ini blouse milik Vera, teman serumahnya. Jins-nya juga robek karena tadi nyangkut di pagar waktu dikejar anjing di jalan. Duh, malu banget! Sambil membelokkan setirnya, Arion tiba-tiba mengambil sesuatu dari kursi belakang. “Kayaknya lo butuh ini,” kata Arion lagi sambil menyodorkan sebuah jaket hitam ke Alina. “Pakai. Atau gue robek jeans lo jadi lebih lebar sekalian biar makin matching.” Walaupun pakai kacamata hitam, jelas banget dia ngelihatin sobekan jins di paha Alina yang kelihatan kontras itu. Senyuman nakalnya bikin Alina merasa deg-degan, wajahnya langsung merah. Padahal mereka baru aja kenal, tapi cowok itu kayak punya pesona yang susah banget dihindarin. "Apaan sih lo!" sergah Alina dengan suara tinggi. Wajahnya makin merah. "Lo tuh orang mesum ya?! Jangan liat gue kayak gitu!" Arion cuma ketawa kecil sambil mengangkat bahu. "Tenang, gue cuman ngasih saran. Lo nggak mau kan keliatan kayak gembel pas ketemu mereka?" "Mereka siapa sih?" tanya Alina curiga. Arion gak langsung jawab. Dia hanya menunjukkan ke luar kaca mobil. Pandangan Alina mengikuti arah tunjukannya. Di sana, Alina melihat sekelompok orang berkumpul di halaman berumput Horizon International Academy. Mereka berdiri dalam kelompok-kelompok kecil, dikelilingi oleh kamera dan peralatan wawancara. Beberapa di antara mereka mulai melirik mobil Arion yang mendekat.. "HAH?!" Alina otomatis panik.enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,
Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue
Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments