Share

9. Tentu. Aku tidak akan mati

Eros POV

Aku menghentikan mobilku dan melihat wanita dengan bibir merah itu mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin dari dahinya. Dia nampak pucat karena mimpi buruk saat ini kemungkinan tengah menyapa dalam tidur singkatnya.

Saat aku sibuk mengemudi, Kanya Arundhati memberontak ingin turun dari mobilku. Aku bisa melihat rasa takut berlebih dari kelopak mata indah itu, namun aku tak tahu mengapa dia bisa sampai setakut itu padaku tadi pagi, bahkan juga barusan. Mengataiku sebagai hantu serta ada dalam mimpinya, dia wanita yang cukup gila yang pernah aku temui karena sapaannya yang tidak biasa.

“Hei, Kanya bangunlah!”

Aku menggoyangkan bahunya karena dia tidak kunjung bangun seperti terjebak dalam mimpinya sendiri hingga tak mampu membuka matanya. Kuambil secarik tisu menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Kanya tampak sangat ketakutan hingga air mata perlahan merembes dari matanya yang tertutup rapat.

Rasa takut akan kehilangan. Juga kesedihan akan kehilangan orang tersebut nampak sangat jelas terlihat dari wajahnya saat ini. Siapa kiranya yang telah membuatnya hingga seperti itu?

“Kanya Arundhati! Bangunlah!” 

Sekali lagi aku mencoba membangunkannya dengan menepuk pipinya tidak terlalu keras. Mata cantik itu perlahan terbuka sedikit demi sedikit diikuti oleh aliran air mata meluncur mulus ke pipinya layaknya air terjun bebas menerjang laut.

“Eros ....” Lirihnya memanggil namaku ketika matanya telah terbuka sepenuhnya, walaupun kabut dari genangan air mata masih berada di pelupuk mata indahnya.

Nampak sangat menderita setelah mimpi buruk yang dialaminya. Apakah dia selalu bermimpi buruk sehingga menjadi setengah gila? Ibu jari kananku tanpa sadar mengusap air mata yang jatuh dari pelupuknya.

Aku seperti merasakan sesuatu yang aneh dari dalam diriku seperti sebuah melodi menyayat dikumandangkan dan perasaan hancur yang tak kuketahui sebabnya menikam dadaku dengan amat keras.

Air mata dari wanita ini membuat hatiku begitu sakit.

“Eros!” 

Kanya melingkarkan kedua lengannya ke leherku secara tiba-tiba membuatku tertegun oleh aksinya. Dia memelukku sangat erat, tidak ingin melepaskanku. Sedangkan tangisnya semakin terdengar keras. Dia terisak oleh rasa kehilangan itu sendiri dari dalam mimpi yang dialaminya barusan. Tiba-tiba saja aku ingin tahu sebenarnya mimpi apa yang membuatnya sampai begitu tertekan.

“Jangan menangis.” Hanya itu yang dapat aku katakan untuk menenangkannya sembari menepuk bahunya pelan. Ibuku juga melakukan hal yang sama ketika aku bermimpi buruk sewaktu kecil. Aku mencoba cara yang sama menenangkannya, namun isak tangisnya semakin kuat memekakan telingaku. Sungguh aku tak kuat lagi mendengar tangis wanita ini. “Aku di sini, jadi hentikan tangismu.”

“Jangan mati! Jangan mati Eros.”

Terkejut dengan ucapannya. Tanganku yang menepuk punggungnya berhenti seketika itu juga. Dari rasa takut hingga ucapan dalam tangisnya tak menginginkan aku mati. Sungguh tak mampu membuatku berkata-kata.

Mati? Memangnya dia bermimpi aku mati? Mengapa dia bisa bermimpi seperti itu? Memimpikan orang yang baru saja dia temui pagi ini? Aneh. Tapi sebuah bunga tidur memang tak membutuhkan logika, dia bisa bermimpi apa saja, bahkan aku bisa mati dalam mimpinya.

“Aku tidak akan mati. Lihatlah baik-baik, kamu sedang memelukku dengan erat saat ini. Baru saja kamu sangat takut padaku dan ingin turun dari mobilku. Bukalah matamu Kanya, dan lihat aku. Aku baik-baik saja.”

Kanya gemetar setelah mendengar perkataanku. Aku sudah cukup menenangkannya dengan perkataan lemah lembutku. Aku sendiri tak tahu alasannya.

Perlahan pelukan eratnya mulai mengendur, Kanya menjauhkan dirinya, namun kedua lengannya masih berada di pundakku. Seperti takut aku akan menghilang jika dia melepaskan pelukannya.

“Eros ... masih hidup?” dia bertanya lirih seraya menatapku tak berkedip.

Telapak tangan kanannya terasa hangat ketika dia menyentuh pipiku. Telapak tangannya masih bergetar, menyusuri wajahku. Kehangatan ini pernah aku rasakan ketika ibuku mengusap air mataku, kini wanita itu malah seenaknya membangkitkan memori yang telah tertanam.

“Hentikan! Kamu hanya bermimpi buruk. Aku tidak akan mati semudah di dalam mimpimu, Kanya.” 

Aku mencekal tangannya dan menghentikan pergerakan tangan yang tengah membangkitkan segala memori tentang ibuku. Sungguh aku tidak ingin mengingat apa pun tentang hal itu. Kepalaku akan terasa sakit membayangkan wajah polos penuh kasih ibu ketika aku memperhatikan wajah Kanya. Aku bertanya dalam benakku, mungkinkah Kanya Arundhati akan kehilangan wajah itu juga suatu hari nanti jika aku ... berada di sisinya?

Sebenarnya siapa wanita ini yang telah berani mengusikku?

“Benar nggak akan mati, kan?” sekali lagi dia bertanya memastikan.

Aku merasa cukup bingung dengan pertanyaan yang menurutku cukup aneh. Siapa yang akan mengetahui hidup dan mati seseorang? Apalagi hidupku yang tak mungkin bisa aku tebak sendiri. Tapi untuk menenangkannya dari tangisan ketakutan itu, aku perlu mengalah. 

“Tentu. Aku tidak akan mati. Jadi jangan menangis lagi karena kamu sangat jelek saat ini.”

Benar, wajahnya saat ini sangat jelek karena riasan wajahnya telah luntur oleh air matanya. Gelombang air mata yang terbendung dari pelupuknya telah kembali meluncur dengan bebas. Kanya kembali memeluk leherku bahkan lebih erat lagi kali ini, hingga aku sendiri kesulitan untuk bernapas.

“Hentikan! Kita tidak sedang bermain drama atau semacamnya, Kanya Arundhati, Nona hantu pagi-pagi. Lepaskan lenganmu dari leherku sekarang juga!” kucoba melepaskan lengannya yang tengah memelukku dengan erat, wanita ini bahkan tidak mengenalku dan malah seenaknya memelukku. Aku tahu dia sedang ketakutan saat ini, tapi tidak bisa begini juga. “Apakah kamu selalu begini? Memeluk pria yang baru pertama kali kamu temui?” terpaksa aku melontarkan pertanyaan ini dengan datar.

Dia berhenti memelukku, segera melepaskan tangannya dari leherku. Wajahnya nampak memerah setelah air matanya mulai berhenti mengalir. Agaknya dia malu karena tingkahnya barusan. Dia memelukku seperti seorang yang tak ingin kehilangan kekasihnya.

Menatap datar padanya, aku membenarkan dasiku, menegakkan tubuhku lantas bersandar ke sandaran kursi seraya menatap Kanya yang masih memikirkan aksinya tadi.

“Sudah sadar Nona hantu pagi-pagi? Masih ingin memelukku?”

“Ah, gue mau keluar!” dengan gugup dia membuka pintu mobil, keluar dari mobilku tanpa meminta maaf atau tanda terima kasih telah menghiburnya barusan.

Setelahnya dia berlari kelimpungan menuju ke arah seorang pria yang berdiri di depan restoran, mungkin telah menunggunya sedari tadi. Aku membuka kaca mobil dan memperhatikan mereka. Pria itu nampak sangat perhatian padanya karena rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya saat Kanya berlari ketakutan. Keempat bola mata cokelat itu menatap ke arahku. 

“Hah, dasar wanita aneh.” Aku menggeleng meluruskan pandanganku ke depan, sebelum menutup kaca mobil, aku mengelih pada wanita itu untuk terakhir kalinya. Sedikit senyum kukembangkan melihat tingkahnya saat ini. Meskipun aneh, dia cukup lucu. Tapi ada apa dengannya yang seperti berhalusinasi tanpa henti?

Bersambung

Semakin aneh dirimu yang aku lihat. Semakin aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi, namun adakalanya aku ingin pergi menjauh sejauh-jauhnya darimu. Aku tak sanggup melihat air mata menyesakan jatuh dari pelupuk indah matamu. — Apple Leaf

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status