Share

6

Kami tak langsung pulang begitu saja karena ayah dan calon ibuku sedang bermesraan di ruang tamu, sedangkan aku tengah berduaan bersama Adnan di ruang keluarganya, si berondong asik yang menurutku bisa diajak obrol di banding keempat kakaknya yang ketus dan cuek.

"Kak Aristela kesehariannya apa saja?"

Bocil satu ini bertanya tentang keseharianku, berani juga, tapi aku senang karena mungkin ini awal mula aku bisa dekat dengannya, dalam artian kakak adik sesungguhnya, hitung-hitung latihan juga.

"Kerja di toko roti, kalau kamu? Selain sekolah pasti kerjaannya keluyuran, kan? Atau enggak kumpul-kumpul sama teman terus ngerokok bareng sambil jadi bad boy gitu," tanyaku sambil memicingkan mata.

"Enak aja, enggaklah, Kak. Gue mah habis sekolah palingan di rumah main game, males nongkrong, temen-temen pada sok sibuk, kalau ngumpul pun semuanya fokus sama hp-nya. Ngomong-ngomong, Kak Aristela enggak kuliah?"

"Kuliah, tapi cuman setahun sih, itu pun lebih ke praktiknya, capek Kakak kalau main teori mulu, otak udah susah nampung materi, ha ha."

"Bagus dong, dah kuliah pasti langsung kerja, kan?"

"Yaps, walau kerja di toko roti, dah bersyukur aku, apalagi penghasilannya dah lumayan, jadi ... enggak terlalu sering minta duit ke Ayah," jawabku dan Adnan semakin banyak tanya saja jadinya.

"Enak enggak sih Kak, kerja?"

"Ada enak dan enggaknya, kalau enaknya tuh pas gajian sama ada bonusnya dari bos kalau lagi baik, nah enggak enaknya tuh kadang lembur atau ada aja orang yang sirik dan caper di toko, sampai-sampai mau ngejatuhin karyawan lainnya, pokoknya berat lah dunia kerja." Nada bicaraku sudah seperti orang-orang curhat pada umumnya, tapi baguslah ... semoga Adnan tidak mengatakan diriku ini terlalu berlebihan atau lebay.

"Kalau berat ngapain kerja, Kak? Udah berhenti aja."

"Hadeuh, kalau aku berhenti bekerja, aku dapet duitnya dari mana, Adnan?" tanyaku dan ia lagi-lagi cengengesan.

"Eits, tenang. Ada Mas Adnan yang bakalan ngehidupin Kak Aristela, berondongmu ini banyak duit, Kak. Asal ... Kak Aristela mau jadi bini gue," jawabnya membuatku melongo, langsung saja kutampol pundaknya dan berkata, "Iddih ... sombong juga yah rupanya, emangnya Mas Adnan punya kekayaan berapa banyak sih? Terus Mas Adnan ini kan masih bocil, malah sok-sokan mau nikahin aku."

"Bocil? Adnan mah udah mau beranjak dewasa, Kak. Jangan remehin gue, gue masih sma tapi juga diam-diam kerja sebagai penjual kartu, kenapa gue kerja gituan? Enggak masalah sih, soalnya halal, terus dari situ gue belajar kalau cari duit tuh enggak mudah + gue enggak peduli masalah untungnya dulu, tapi gue mau fokus sama pengalaman aja."

Baiklah, aku takjub sama si Adnan, bukan cuman itu, rasa salut pun semakin besar kepadanya, karena di seumuran dirinya pun juga jarang kutemui, walau pada umumnya juga banyak sekali yang sekolah sambil kerja pula.

"Bagus, jangan mau jadi anak manja, kalau gini ... aku enggak perlu khawatir pas duit habis, soalnya ada Mas Adnan yang bisa kupalak kapan saja, ha ha ha."

"Eits, enggak semudah itu sayangku, kamu mau jadiin aku ATM berjalan gitu?"

"Iya dong sayangku, kalau enggak jadi ATM berjalan, cukup jadi dompet berjalan aja yah."

"Ho ho ho, ada syaratnya."

"Apa sih, syaratnya?" tanyaku penasaran. Adnan pun mendekat, dari gelagatnya, dia terlihat ingin berbisik, dan dugaanku pun benar.

"Cukup jadi istrinya Dedek Adnan, nanti uangnya bakalan lancar setiap bulan, setuju?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status