Aristela POV
Selesai membantu Pak Raden ada kepuasan tersendiri dalam diriku, apalagi melihat bapak tersebut semakin mudah pekerjaannya, apalagi beliau pun sudah agak tua, jadi staminanya sedikit berkurang di banding dia waktu muda.
Pak Raden begitu senang menyampaikan rasa terima kasihnya dan aku membalasnya dengan senang pula bahwa aku pun menikmati kerja-kerja tadi, yang entah kenapa sikap Pak Raden tiba-tiba berubah di mana dirinya menunduk sembari tersenyum lalu pergi begitu saja, kemungkinan bapak lagi ada urusan lain jadi agak terburu-buru dilihatnya.
Aku mencari keberadaan Aderald karena aku mengingat perkataan pria itu yang terlihat mulai membuka diri dan ini adalah kesempatan bagus untuk memanfaatkan agar aku dapat akrab dengannya.
"Aderald ke mana, yah? Enggak ketemu-ketemu orangnya, kemungkinan ada di ko-"
"Kenapa?"
Aku terkejut, Aderald menepuk pundakku tiba-tiba dan menanyakan dengan kata 'kenapa'.
"Aduh kaget aku, dicari ke mana-mana enggak ketemu, kamu dari mana?"
"Dari kamar bentar, soalnya lo lama banget," jawab Aderald dan kelihatannya dia kembali dalam mode cuek, padahal waktu di dapur tadi, jelas dia menggunakan aku-kamu, bukan lo-gue yang seperti sekarang.
"Maaf, lagi banyak kerjaan tadi, btw sekarang jam berapa?"
"Setengah satu," jawabnya dan aku bernapas lega karena masih ada banyak waktu untuk pergi menjemput Adnan.
Kami memutuskan berbincang di ruang keluarga dan aku mengikuti Aderald yang sedang duduk sekarang, sementara aku duduk di hadapannya.
"Lo mau nanya apa seputar kuliah?"
Ternyata langsung pada intinya yah, bagus sekali.
"Gimana rasanya kuliah?"
"Membosankan, yang bagus itu cuman karena ada temen doang," jawabnya dan aku mengangguk-angguk.
"Selain itu?"
"Menjengkelkan dengan sks yang banyak serta beberapa dosen yang cuek pada mahasiswa, itu ngebuat gue juga sebel," jawabnya dan aku menyimpulkan bahwa segala tentang kuliah menurut dia itu adalah hal yang membosankan dan menjengkelkan, seolah nilai positifnya saja cuman karena ada teman yang bisa dia ajak ngobrol atau nongkrong gitu.
"Terus, alasan lo nanya seputar kuliah itu, apa?" tanyanya balik dan aku tersenyum dan mulai menjawabnya agak panjang.
"Gimana yah ... aku penasaran dengan dunia kuliah karena aku belum merasakannya, ingin mencoba tetapi aku sudah lelah dengan yang namanya teori, karena aku suka yang langsung praktik. Pas kamu jawab tentang kuliah menurut kamu, ngebuat aku tuh semakin malas juga, jadi ... aku bingung sekarang," ujarku sambil mengembuskan napas, tak sampai di situ, aku menyela keinginan Aderald untuk menyahut dengan tambahan kalimatku, "Aku bingung karena aku berhenti bekerja tadi pagi karena diriku sudah lelah selalu diintimidasi sama bosku, jadi resign adalah pilihan yang tepat dan dua orang sebagai racun di sana juga sudah berhenti karena dipecat, dan penyebab mereka dipecat adalah aku yang melapor karena sudah tidak nyaman bekerja di sana dengan alasan: aku lelah karena dua orang karyawan yang sangat caper, terus saja menghakimiku."
"Curhat lo panjang bener, tak sepanjang punya gue, terus ... lo bertahan di sana berapa lama emangnya?"
"Agak lama, tahunan lah," balasku dan tidak menanggapi kalimat ambigunya yang bernada mesum itu dan di sinilah aku merasa bahwa Aderald mulai terbuka dan aku akan semakin memanfaatkan moment ini.
"Aderald, kamu tau lowongan enggak di kota ini? Aku pengen kerja gitu, bosen kalau di rumah, dan nanti aku harus siapin jawaban juga buat ayah karena sudah berhenti bekerja di toko roti," lanjutku lagi dan Aderald tampaknya menjadi malas denganku.
"Cari aja sendiri, gue males keluar hari ini, lagi enggak mood."
"Ish, kok bisa sih mood kamu enggak bagus?"
"Karena ada lo di sini," jawabnya dan aku terkejut seketika, apakah ini pertanda jika kehadiranku tidak bagus dalam keluarga Adibrata? Rasanya sedikit sakit mendengar kefrontalan dari Aderald.
"Ma-maaf, kalau gitu gue pulang aja karena ngebuat mood lo jadi jelek," balasku dengan nada yang pelan, aku sendiri enggak sadar kalau kata aku-kamu berubah menjadi lo-gue, dan itu murni benar-benar diluar kesadaranku karena saking menusuknya ucapan Aderald itu.
"Lo mau pergi gitu aja? Enggak izin lagi sama gue!" ketusnya dan aku tersenyum dan meminta maaf.
"Siapa yang suruh lo pulang? Sini temenin gue, gue bosen kalau enggak ada yang ngajak bicara," ucapnya dan aku pun bertanya karena sedikit sebal dengannya.
"Mending aku pulang aja, deh, Rald. Soalnya mood kamu enggak bagus gara-gara aku, kemungkinan keempat saudaramu juga bakalan gitu sih dengan kehadiranku, kalau Adnan aku udah tau kalau dia nerima aku, tapi entahlah kalau kalian udah saling berdiskusi mengenai sifatku ini, terima kasih, aku mau pulang aja," balasku dan meninggalkannya dengan cepat, jujur hatiku sedikit sakit dan aku tidak peduli dengan Aderald yang sampai membilangiku cewek baper, karena perasaan orang-orang tidak bisa disamaratakan dan dianggap remeh, semuanya ada batasan untuk bisa saling menghargai.
Langkahku semakin jauh semakin cepat, tapi harus berhenti ketika sebuah tangan meraih tanganku dan aku sedikit mendengar gumaman dari seorang Aderald, "Jangan pergi, gue cuman bercanda tadi dan gue enggak semenyangka ini kalau lo nganggapnya serius ternyata."
Tanganku sedikit terasa hangat dalam genggamannya tapi tidak terlalu lama karena aku melepaskan pegangan Aderald, diriku pun menatapnya penuh kelekatan.
"Kamu jangan asal bercanda, aku ini emang baperan dan enggak peduli kalau kamu mau ngejek aku karena sifatku yang satu ini, intinya aku mudah tersinggung gitu, walau aku juga cukup kesel sama diriku yang punya sifat itu," balasku dengan nada yang serius dan Aderald malah tertawa, dari bahasa mimik wajahnya, dia nampak puas sekali dan aku enggak suka itu.
"Apanya yang lucu sih? Dasar aneh! Udah enggak usah ngehalangin aku, aku mau pulang!" kesalku dan meninggalkannya, tetapi lagi-lagi si Aderald ini menahanku dan membuatku semakin jengkel hingga tak sadar menepis tangannya yang telah berhasil kulepas tapi dia ingin meraih tanganku kembali.
"Gue cuman bercanda, Aristela, lo harus tau kalau gue udah nerima lo di keluarga gue, paham?!" bentaknya dan aku terkesiap. Entah kenapa bentakan itu terasa luar biasa dengan tatapannya yang tajam dan pipiku tiba-tiba memerah dan menghangat.
"Malah nunduk, emangnya di sini mengheningkan cipta?"
"Aku nunduk karena ....,"
"Karena?" Aderald semakin mendekat karena penasaran, dan aku menatap matanya yang juga lekat menatapku.
"Aku malu, tolong jangan deket-deket, tadi bentakan kamu seperti pacar yang ngelarang ceweknya deket-deket sama cowok lain," jawabku dan aku merasa diriku aneh dan gila, apa hubungannya dengan hal itu? Aku lagi-lagi menundukkan pandangan, bahkan menutup mataku karena takut serta malu di hadapan Aderald ini.
"Bagus, merem aja terus sampai lo enggak sadar kalau udah tidur," balasnya dan aku segera membuka pandanganku dan melihat Aderald yang sudah menjauh.
Plak! Aku menjitak dahiku. "Dasar Arsitela bodoh, bodoh banget!" jeritku dalam gumaman yang tertahan karena merasa malu sekali. Tak hanya itu, aku tertawa-tawa sendiri karena mengingat moment tadi dan fix, aku gila dibuatnya!
Aristela resmi akan menikah bersama Zahair, para saudaranya jelas mendukung terutama Adnan yang hampir menangis pula ketika melihat sang kakak terharu, di moment itu, August tak henti-hentinya ilfeel dengan sang adik."Lebay amat, lu.""Hadeuh, udah nikah nanti, pasti enggak ada Kak Aristela di sini, yang ada malah keempat orang jomlo yang sering gangguin gue," balas Adnan dan mendapatkan jitakan dari Agam."Kalau ngomong suka bener lo.""Iyalah," sebal Adnan.Abraham sendiri bagaimana? Dia juga ikut bahagia, selama ini banyak yang menyangkanya benar-benar cemburu karena menyukai Aristela, tidak! Setelah Abraham menutup hati, dia tidak tertarik ke lawan jenis pada Aristela, tetapi sudah menyukainya dalam artian adik yang sesungguhnya. Dia hanya cemburu jika Aristela lebih akrab ke saudaranya yang lain di bandingkan dia sendiri, dan kini, sang adiknya itu akan menikah, mendahului para kakak
Orang yang ditunggu-tunggu sudah tiba, Zeline senang sekali karena papahnya sudah datang, anak itu berlari dan menarik tangan sang papah untuk bergabung bersamanya juga bersama Aristela dalam acara makan buah."Mamah boleh kupasin apel ini buat Aristela?" pinta Zeline."Boleh," jawab Aristela, kemudian mengupaskan apel tersebut dengan cutter berukuran kecil, bukan hanya mengupasnya, tetapi juga memotongnya menjadi beberapa bagian, membuat Zeline semakin gembira.Ketika Aristela memberikan buah tersebut kepada Zeline, Zeline menolaknya, membuat dua orang menjadi keheranan."Kenapa Zeline?""Zeline enggak mau makan kalau Mamah enggak nyuapin Papah dulu," jawab Zeline cemberut dan Aristela hanya bisa menuruti permintaan anak kecil ini. Aristela mengambil satu bagian dari apel, kemudian menyuapi Zahair, walau ia sedikit malu karena Zahair terus menatapnya."Nah udah, sekarang
"Astaga Bapak!" Aristela mendorong Syahrul sekuat tenaga, matanya memerah dan sedikit berlinang karena kaget serta kecewa kepada pria itu, bukan hanya matanya, tetapi wajah Aristela pun memerah juga karena terlanjur emosi."Aristela saya ha-""Hanya apa? Memberikan tanda di leher saya? Apakah itu pantas dikatakan sebagai 'hanya?' jangan membuat saya terlihat murahan untuk yang kedua kalinya, Pak!" Aristela menatap tajam Syahrul."Aristela dengarkan aku, a-""Aku tidak peduli lagi, mau Bapak bunuh keluarga saya, saya enggak peduli! Saya sudah capek dengan semuanya dan saya akan memutuskan untuk mengakhiri hidup saya sendiri dan mumpung Bapak ada di sini, jadi Bapak bisa menyaksikannya secara langsung," potong Aristela dan berujar dengan nada yang tidak main-main lagi. Keseriusannya untuk mengakhiri semuanya sudah berada di ujung tanduk, karena dia ingin mengakhir semua masalah dalam hidup, sekalian nyawanya jug
Seminggu telah berlalu, seminggu pula Aristela menanti kepastian dari seorang Zahair dan seminggu juga harus diganggu oleh puluhan nomor asing yang selalu meneleponnya, sudah dapat ditebak bahwa pria yang menelepon adalah si Syahrul itu, dia masih saja mengejar Aristela dan tidak mau berhenti, Aristela heran dengan pria itu dan kali ini dia memutuskan untuk bertemu dengannya agar dapat menegaskan bahwa sudah jengah, kesal, dan marah pada pria pengganggu itu.Di mana Aristela akan bertemu dengannya? Di toko pria itu sendiri sekaligus memberi kejutan padanya di pagi hari pada jam 9.Aristela telah sampai di sana, disambut oleh Asma, Pita, dan teman-temannya yang lain."Maaf teman-teman, aku ada urusan penting dulu sama bos kalian, kalau sudah selesai aku akan bergabung untuk menuntaskan rasa rindu bareng-bareng," ujar Aristela begitu tidak enak hati ketika dia membalas pelukan mereka begitu singkat. Namun, semuanya mengerti karena aura Aristela kali ini berbeda di ba
Seminggu telah berlalu, seminggu pula Aristela menanti kepastian dari seorang Zahair dan seminggu juga harus diganggu oleh puluhan nomor asing yang selalu meneleponnya, sudah dapat ditebak bahwa pria yang menelepon adalah si Syahrul itu, dia masih saja mengejar Aristela dan tidak mau berhenti, Aristela heran dengan pria itu dan kali ini dia memutuskan untuk bertemu dengannya agar dapat menegaskan bahwa sudah jengah, kesal, dan marah pada pria pengganggu itu.Di mana Aristela akan bertemu dengannya? Di toko pria itu sendiri sekaligus memberi kejutan padanya di pagi hari pada jam 9.Aristela telah sampai di sana, disambut oleh Asma, Pita, dan teman-temannya yang lain."Maaf teman-teman, aku ada urusan penting dulu sama bos kalian, kalau sudah selesai aku akan bergabung untuk menuntaskan rasa rindu bareng-bareng," ujar Aristela begitu tidak enak hati ketika dia membalas pelukan mereka begitu singkat. Namun, semuanya mengerti karena aura Aristela kali ini berbeda di ba
Aristela telah pulang, dirinya mencari di mana keberadaan Adnan tetapi dia tidak menemukan pria itu, hanya ada Agam dan Abraham saja di rumah, dirinya pun menghampiri kakak tertua dan menanyakan keberadaan bocah itu."Kak Abraham, Adnan ke mana, yah?" tanyanya."Di rumah kamu, dia bermalam di sana sama Aderald dan August, juga mamah sama papah," jawab Abraham."Yah ... padahal mau kuajak nonton bareng malam ini," kecewa Aristela kemudian meninggalkan Abraham."Nonton bareng? Kenapa tidak mengajak kami berdua saja?" sahut Abraham tiba-tiba, mendengar kalimat itu membuat Aristela sedikit meragu, tidak biasanya sang kakak ingin menemaninya menonton film horor bersama, biasanya hanya August, Aderald, dan Adnan saja."Eum, boleh," jawab Aristela, bibirnya pun tersenyum gembira dan segera menyalakan televisi dan memutar flm yang telah ia download di telegram melalui smart tv agar ponselnya bisa terhu
Aristela kembali ke kamar untuk melanjutkan masa bermainnya bersama Zeline, tidak lama kemudian, Zahair pun ikut masuk untuk sekadar menanyakan, siapa pria yang menelepon gadis tersebut."Aristela, mohon maaf, bukannya saya menguping atau ingin tahu tadinya, hanya saja kebetulan saya mendengar percakapan kamu bersama seorang pria yang terdengar sedikit berdebat, kalau boleh tahu, siapa dia?" tanya Zahair.Sebenarnya, Aristela ogah membahas Syahrul, tetapi karena si duren yang bertanya, dia pun rela menjawabnya dengan pasrah. "Dia pria yang paling Aristela benci, Om. Karena dia, semuanya hancur, dan aku enggak mau membahas pria itu lagi, maafkan aku, Om." Sepertinya Aristela memang tidak bisa menjawabnya, walau sebelumnya dia ingin, tapi entah kenapa dia refleks menjawab seperti itu."Maafkan saya yang terlalu ingin tahu," balas Zahair. Zahair tentu ingin tahu siapa nama pria itu, hanya itu saja jika memang Aristela tidak ingin melebihkannya, karena dia sedikit tida
Happy Reading.Aristela membuat sebuah status di snap wa-nya dengan foto punggung Zahair yang menjauh lalu fotonya bersama Zeline."Aristela, itu anaknya si om-om ganteng itu, yah?" tanya teman Aristela menunjuk Zeline."Halo, Tante," sapa Zeline, memanggil teman Aristela yang seumuran dengan Aristela sendiri.Aristela mengangguk dan tertawa ketika mendengar panggilan tante untuk Cica yang merupakan salah satu karyawan tetap di toko bunga."Jangan Tante dong, panggil Kakak yah, Kakak masih muda, namanya siapa nih Adik cantik?" tanya Cica kemudian menyubit pipi Aristela dengan pelan."Zeline Kakak," jawab Zeline dan Cica tersenyum gemas dan ingin sekali membawa Zeline pulang ke rumahnya bersama ayah anak ini. Namun, Cica mengurungkan niatnya karena pasti si om-om itu jatuh hati pada Aristela, lalu dia? Sebelum jatuh hati, pria tampan itu akan mun
"Adnan, semongko ulangannya, yah!" teriak Aristela sebelum Adnan berangkat ke sekolah."Siap, Kak!" balas Adnan yang berada di mobil sembari melambaikan tangan seiring mobil mulai berjalan.Aristela pun siap ke bagasi untuk mengeluarkan motornya, dibantu oleh Agam yang juga ingin mengeluarkan kendaraan yang sama karena hari ini dia malas bermobil untuk berangkat kerja."Makasih Kak Agam gantengku.""Helleh, baru ngakuin kalau Abang memang ganteng, padahal dari dulu udah maksimal ganteng gue," balas Agam dan Aristela mengembuskan napasnya dan membalas pula perkataan kakaknya yang mulai narsis, "Mulai lagi, pasti tertular Adnan, bener, kan?""Enak aja, malah Adnan yang ngikutin gue, cuman gue enggak seaktif dia kalau ngomong, seperlunya aja mah, tapi enggak dingin kek Bang Abraham," jawab Agam dan nama yang disebut pun berbalik menatap mereka, Aristela tersenyum ketika tatapan mereka bertemu.