Saking senangnya Aristela karena dapat membantu Pak Raden bekerja, menimbulkan sesuatu yang akward, di mana gadis tersebut menabrak pria seumurannya yaitu Aderald karena tidak terlalu fokus ke depan.
"Sial, cokelat panasku!" desis Aderald melihat cokelat panasnya yang terbuang sia-sia karena Aristela yang menabraknya, tak hanya itu, dia pun merasa panas karena percikan air minumannya itu mengenai kaki Aderald.
"Ma-maafkan aku, aku terlalu gembira sehingga menabrakmu, ngomong-ngomong namamu siapa? Aku lupa." Aristela masih sempat bertanya di situasi tersebut dan Aderald memuta bola matanya malas lalu menatap Aristela dengan lekat + tajam.
"Namaku Aderald, lain kali hati-hati berjalan, dasar merepotkan, aku akan menuntutmu untuk menggantikan cokelat panasku, calon saudara tiri yang nakal," jawab Aderald dengan tambahan balasan yang agak jahil di akhit kalimatnya karena Aristela merinding begitu saja melihat kedipan mata pria di hadapannya.
"Baiklah akan aku ganti cokelat panasmu tetapi bisa kau menolongku untuk menuju dapur? Aku tidak tahu di mana letaknya," balas Aristela, kemudian menatap Pak Raden yang hanya tersenyum simpul, membuatnya cengengesan karena niat ingin membantu malah mendatangkan kerepotan untuk si Aderald.
"Non Aristela enggak apa-apa bantuin Den Aderald untuk gantiin cokelatnya, biar Bapak saja yang kerja, Nak," sahut Pak Raden sebelum meninggalkan Aristela dan Aderald, akan tetapi ... sebelum langkahnya benar-benar jauh, suara Aderald menghentikan langkah Pak Raden.
"Selesai membuatkanku cokelat panas, Aristela akan menyusuli Pak Raden."
Aristela hanya bisa menghela napas sembari menerima nasib dan membatin bahwa hari ini kesialannya begitu berlipat ganda.
Aderald menuntun Aristela menuju dapur dan mengawasi sembari memerhatikan Aristela yang sedang membuatkannya cokelat panas, selesai dengan pekerjaannya ... Arsitela pun memberikan cokelat tersebut ke yang punya sembari bertanya pula karena penasaran dengan Aderald. "Oh iya, kamu enggak kerja seperti abang-abangmu?"
Aderald menaikkan alis, lalu menjawabnya, "Tidak, aku masih kuliah, memangnya kenapa?" tanyanya balik dan Aristela langsung menunjukkan senyum lebarnya.
"Yes, mumpung kamu lagi kuliah aku mau nanya-nanya banyak he he, boleh kan? Sambil masa pendekatan juga biar kita makin deket dan enggak canggung pas saudaraan nanti," jawab Aristela yang semakin dekat dengan Aderald membuat pria tersebut merasa aneh serta salah tingkah sendiri dibuatnya, Aristela yang melihat Aderald sedikit menjauh langsung mengembuskan napas.
"Yah ... pasti kamu enggak mau atau enggak nyaman kan kalau aku seperti ini? Maaf, aku adalah orang agak sok akrab dan ingin sekali berkenalan dengan orang baru, terlebih lagi kita akan menjadi saudara, jadi menurutku memiliki inisiatif untuk saling berbincang itu bagus, tetapi nyatanya belum tentu," ujar Aristela dengan nada yang kecewa, tetapi tidak lama karena beberapa saat setelahnya, dia kembali tersenyum karena teringat dengan Pak Raden yang harus ia bantu.
"Heh, kamu mau ke mana?" tanya Aderald yang mengurungkan niat Aristela untuk pergi, Aristela pun berbalik dan menaikkan sebelah alisnya dan bertanya, "Mau nyusulin Pak Raden, emangnya kenapa?"
"Emang aku suruh untuk pergi?" tanya Aderald balik dengan pandangan yang datar.
"Memang kamu enggak suruh, tetapi liat kamu yang enggak nyaman sama aku untuk berkenalan, ya udah, lebih baik aku aja yang pergi, soalnya kamu enggak asik, beda sama Adnan yang mudah diajak akrab," jawab Aristela panjang lebar hingga membanding-bandingkan antara Aderald dengan adiknya.
"Huft ... aku dan ketiga abangku itu perlu beradaptasi terlebih dahulu, jadi jangan samakan dengan Adnan, mengingat umurnya juga yang masih 17 tahun, tentu dia pun juga masih labil dan mencari jati dirinya, jangan heran dengan hal itu, berbeda dengan kita yang sudah dewasa," balas Aderald yang sama panjang lebarnya, membuat pikiran Aristela terbuka dan mulai memaklumi sifat mereka yang seperti lalu-lalu itu.
"Baiklah, lalu sekarang apa tujuan kamu manggil aku tadi?"
"Pas selesai bantuin Pak Raden, nanti kamu ke aku, kita bisa cerita-cerita atau membahas seputar hal yang ingin kamu tanyakan," jawab Aderald lalu meninggalkan Aristela yang ingin membalas ucapan Aderald dengan terima kasih, tetapi tidak jadi.
Untuk apa Aristela ada niatan untuk berterima kasih? Karena dia hanya ingin saja, apalagi dia pun ingin bertanya pula, itu pun tidak sedikit juga.
Namun sekarang, tujuannya adalah untuk membantu Pak Raden bekerja.
Di sisi lain, Aderald sedang duduk bersantai di tepi kolam berenang sembari menyeruput cokelat hangatnya. Sembari menikmati minuman tersebut, Aderald berfokus pada pikirannya yang melayang-layang mengenai Aristela, yah ... gadis itu tadi terlalu dekat dengannya, sehingga parfum Aristela sedikit membekas di ingatan pria itu, dan Aderald ingin mengatakan bahwa, "Teruslah mendekat, karena aku suka dengan baumu," gumamnya.
Aderald menghela napas bingung, jantungnya terus berdebar saat dia dan Aristela mendekat tadinya, maka dari itu, dirinya memutuskan untuk menjauh, bahkan berlalu begitu saja agar detak jantungnya dapat dinetralkan.
Di sudut lain pula, Pak Raden sedang menggunting dedaunan pohon dan bunga, Aristela ikut bergabung dengan menyabut dedaun-daunan liar.
"Ish, agak susah nyabutnya, ini akar atau apa sih?" gumam Aristela, Pak Raden yang mendengar keluhan Aristela sedikit tertawa dan langsung menghampiri gadis tersebut.
"Sini Bapak bantu, mumpung gunting daunannya udah selesai," ucap Pak Raden dan Aristela pun mengangguk.
"Oh iya, Pak. Bibi Malika kan pulang, kalau Bapak biasanya pulang kampung di hari-hari apa?"
"Eum, Bapak enggak pulang, Nak. Bapak tinggal di sini terus, he he, orang tua Bapak juga semuanya udah meninggal, terus rumah di kampung juga udah enggak ditinggali, karena Bapak engga bisa bayar uang kontrakannya biasa, jadi ... Bapak mengabdi aja di sini," jawab Pak Raden.
"Istri sama anak Bapak?"
"Bapak belum menikah," jawab Pak Raden dan Aristela sedikit terkejut mendengarnya, tetapi tidak bertahan lama Aristela segera meminta maaf karena mengira perkataannya sedikit menyinggung Pak Raden.
"Enggak apa-apa kok."
"Maaf Aristela lancang, Pak."
"Enggak usah dipikirin, Nak. Kemungkinan kamu penasaran apa alasan Bapak enggak nikah, alasannya adalah: Bapak udah merasa nyaman sendiri, karena waktu Bapak muda, Bapak tuh pernah mau menikah, malah kami udah tunangan, cuman tunangan Bapak itu ketahuan selingkuh, malahan udah hamil tiga minggu, jadi di situlah Bapak mati rasa karena terlalu trauma," balas Pak Raden yang berusaha tegar menyeritakan masa lalunya, sementara Aristela mengatakan, "Tunangan Bapak pasti enggak bahagia karena nyelingkuhin Pak Raden, kesal aku loh, Pak."
"Kamu kok tahu, Nak?" tanya Pak Raden dan Aristela tersenyum puas jika ucapannya benar.
"Pak, karma itu selalu berlaku untuk mereka yang berbuat jahat, membuat orang patah hati dia pun akan merasakan hal itu, lambat atau tidaknya semua akan terbalaskan dalam waktu yang tepat," jawab Aristela mengingat kejadian yang dialaminya tadi pagi, di mana dia sudah terlalu lelah untuk menerima perbandingan dari bos toko roti yang bernama Bapak Syahrul itu.
"Kalau Bapak sih sedih, Nak. Karena yang menanggung itu semua tuh anak kecil yang enggak tau apa-apa."
"Iya juga yah, Pak. Sedih jadinya."
"Udah, udah ... kita lanjut kerjanya, Nak."
"Siap, Pak!"
Aristela POVSelesai membantu Pak Raden ada kepuasan tersendiri dalam diriku, apalagi melihat bapak tersebut semakin mudah pekerjaannya, apalagi beliau pun sudah agak tua, jadi staminanya sedikit berkurang di banding dia waktu muda.Pak Raden begitu senang menyampaikan rasa terima kasihnya dan aku membalasnya dengan senang pula bahwa aku pun menikmati kerja-kerja tadi, yang entah kenapa sikap Pak Raden tiba-tiba berubah di mana dirinya menunduk sembari tersenyum lalu pergi begitu saja, kemungkinan bapak lagi ada urusan lain jadi agak terburu-buru dilihatnya.Aku mencari keberadaan Aderald karena aku mengingat perkataan pria itu yang terlihat mulai membuka diri dan ini adalah kesempatan bagus untuk memanfaatkan agar aku dapat akrab dengannya."Aderald ke mana, yah? Enggak ketemu-ketemu orangnya, kemungkinan ada di ko-""Kenapa?"Aku terkejut, Aderald menepuk pundakku tiba-tiba dan me
Author POVSudah jam setengah dua lewat dua belas, dan di waktu itulah Adnan baru keluar dari pintu gerbang sekolahnya dan menunggu Aristela, dia pun menuju halte bersama temannya untuk nongkrong di sana."Adnan, tadi kalau enggak salah, gue liat lo lagi ngebonceng cewek cantik, lo dapet dari mana?""Rahasialah, nanti dia dateng lagi buat ngejemput gue, jangan sampai kalian-kalian ngeliat mukanya, kalau sampai, auto jatuh cinta saking cantiknya," jawab Adnan dan teman-temannya ingin menjitak si Adnan."Pelit banget lo, kasih taulah, kalau cocok sama gue, nanti dicomblangin yah," pinta pria yang bernama Garda dan Adnan langsung melarang."Heleh, enggak mau gue! Kalau dia pacaran sama lo, auto dirusakin, lo kan nafsuan tinggi sampai puncak patung mariana, dikit-dikit punya burung langsung baper, apalagi cewek yang gue bonceng tadi beningnya enggak ketulungan, mulus coy," balas Adnan.
Aristela harus berhenti di pertengahan jalan, gadis tersebut merasa lupa sesuatu dan ia terus mencoba untuk mengingatnya kembali, beberapa menit berkutat dengan memori, akhirnya Aristela menemukan jawaban, bahwa dia ketinggalan ponselnya di rumah Adnan, maka dari itu ... Aristela menghela napas karena dia harus putar balik, dia menjadi heran, padahal sebelum pulang, dirinya membahas mengenai papanya yang akan dia hubungi. Namun, namanya juga sifat lupa itu adalah manusiawi, manusia takkan bisa mengelak salah satu sifat wajar tersebut.Aristela pun sampai di rumah megah Tante Cahyani, langkahnya cepat-cepat memasuki rumah tersebut dan menuju suatu tempat di mana dirinya meletakkan ponsel tepat di ruang keluarga dan berada di samping televisi."Adnan!" panggil Aristela memanggil bocah tersebut, Adnan yang asik ganti baju, segera keluar kamar walau dia bertelanjang setengah-hanya bagian bawah saja yang ditutupi-Adnan segera ke pusat suara dan m
"Gila! Aku enggak akan mau, walau kalian mengancam untuk membunuhku, lebih baik aku harus mati," balas Aristela dengan nada yang murka, tetapi perlahan wajah marahnya berubah menjadi sendu dengan air mata yang diiringi isak yang pelan, "bukan ini yang aku mau, Kak, aku selalu mencoba terbuka kepada kalian agar kita bisa menjadi saudara yang akrab, tetapi aku selalu ragu dan takut, jadi ... aku hanya selalu berbicara dengan Adnan sahaja. Bahkan waktu sebelum diriku menjemput Adnan, diriku sempat berbincang bersama Aderald, yang kurasakan waktu itu adalah senang dan sangat bahagia, karena aku yakin, satu per satu akan mulai terbuka pada diriku, akan tetapi ... dengan kejadian yang baru ini, semua kepercayaan diriku untuk mengenal kalian lebih dekat, telah sirna," lanjut Aristela dan tangisnya pun menjadi pecah.Abraham, Agam, dan August, serta Aderald terharu mendengar kejujuran Aristela, tetapi tidak setuju dengan kalimat akhirnya, hingga sang kakak yang
Cahyani sangat panik dan khawatir ketika mendapat telepon dari Agam bahwa si Adnan ada di rumah sakit, ibu dari lima anak itu pun sampai di lokasi tujuan dan mendapati Adnan yang belum sadarkan diri."Mamah pusing banget sama kalian, udah berapa kali Mamah kasih tau kalau jaga Adnan dan selalu awasi dia, karena anak itu memang selalu lari-lari tanpa sadar kalau hal itu bisa membahayakan dirinya, apalagi kalau Adnan udah panik, malah semakin menjadi-jadi, memangnya ... apa yang terjadi sampai adikmu lari seperti kesetanan?" tanya Cahyani yang marah kepada Agam, August, dan Aderald.Sebagai kakak tertua di situasi sekarang ini, Agam mulai menjelaskan semuanya, kalau Adnan lari terbirit-birit karena melihat Aristela yang tidak sadarkan diri ketika berada dalam gendongan Abraham, lantas ... Adnan mengira jika keempat abangnya melakukan hal yang tidak-tidak kepada putrinya Pak Adibal.Penjelasan tersebut membuat Cahyani kembali be
Aristela menjadi salah tingkah apabila Abraham mendekatkan diri pada gadis tersebut, dan sekarang ... hal tersebutlah yang dilakukan oleh Abraham pada Aristela saat ini, jarak mereka begitu dekat sehingga Aristela dapat merasakan embusan napas dari pria tertua dari lima bersaudara ini."Kenapa diam? Bukannya kamu begitu terang-terangan memerlihatkan rasa sayangmu pada Adnan? Lalu, mengapa padaku kau terlihat berat sekali? Padahal kami sama walau hanya berbeda umur," ujar Abraham dan Aristela menggeleng pelan dan perlahan bergeser agar dirinya bisa berjauhan sedikit. Namun, Aristela tidak dapat bergerak banyak lantara wanita itu sudah berada di pojok sofa, bisa-bisa dia terjatuh jika semakin bergeser."Hei, ayo jawab dan silakan lampiaskan rasa marahmu dengan kasih sayang padaku," ucap Abraham dan aroma napasnya merasuk dalam penciuman Aristela."Kak Abraham, dirimu dan Adnan tentu berbeda, a-aku tidak dapat menyamakan d
Aristela telah sampai di rumahnya dan mulai merebahkan diri di ranjang empuk yang ia rindukan, gadis tersebut memejamkan matanya untuk menikmati waktu berbaring sebentar. Hari pun telah sore dan papahnya belum juga pulang, Aristela menduga kemungkinan sang papah akan lembur malam ini, tetapi ... dugaan tersebut salah karena di luar rumah terdengar deruman mobil lalu bunyi klakson yang nyaring.Aristela segera keluar dan membukakan pintu untuk Adibal yang baru saja keluar dari mobilnya."Pah, itu apaan?"Sebuah kresek hitam menjadi perhatian Aristela di tangan kanan papahnya, Adibal tersenyum karena di perjalanan tadi, matanya sempat melihat penjual batagor keliling dan akhirnya singgah di sana karena mengingat Aristela yang sudah ada di rumah. Pria itu belum tahu jika anaknya telah berhenti bekerja, sehingga ia tampak seperti biasanya, di mana dia menatap sang anak dengan bahagia lalu menanyakan harinya mengenai pekerja
Di kediaman Cahyani. Adnan tengah turun dari tangga bersama August, tentu dia dibantu karena kepalanya masih sedikit pening, sebetulnya ... August menawarkan diri untuk membawakan bocah tersebut makanan, akan tetapi, Adnan terus menolak dengan mengatakan bahwa dia baik-baik saja walau kepalanya sedikit pening, tapi, lagi-lagi August menawarkan hingga adiknya itu merasa kesal sendiri dan menolak dengan kalimat, "Kalau lo tetap maksa, gue enggak mau makan, Bang." Pada akhirnya, August lah yang menyerah dan memilih untuk mengikuti kemauan sang adik.Keluarga Cahyani makan bersama di ruang keluarga, dilengkapi oleh Pak Raden juga, mereka lebih memilih di sana karena bisa duduk di lantai dan areanya lebih luas, apalagi terdapat hiburan seperti menonton televisi, mengingatkan para putra Adibrata tersebut dengan masa kecilnya.Setibanya Adnan di sana, Cahyani langsung tersenyum dan menghampiri putra bungsunya itu."Kamu keras kepala sekali