Share

13

Saking senangnya Aristela karena dapat membantu Pak  Raden bekerja, menimbulkan sesuatu yang akward, di mana gadis tersebut menabrak pria seumurannya yaitu Aderald karena tidak terlalu fokus ke depan.

"Sial, cokelat panasku!" desis Aderald melihat cokelat panasnya yang terbuang sia-sia karena Aristela yang menabraknya, tak hanya itu, dia pun merasa panas karena percikan air minumannya itu mengenai kaki Aderald.

"Ma-maafkan aku, aku terlalu gembira sehingga menabrakmu, ngomong-ngomong namamu siapa? Aku lupa." Aristela masih sempat bertanya di situasi tersebut dan Aderald memuta bola matanya malas lalu menatap Aristela dengan lekat + tajam.

"Namaku Aderald, lain kali hati-hati berjalan, dasar merepotkan, aku akan menuntutmu untuk menggantikan cokelat panasku, calon saudara tiri yang nakal," jawab Aderald dengan tambahan balasan yang agak jahil di akhit kalimatnya karena Aristela merinding begitu saja melihat kedipan mata pria di hadapannya.

"Baiklah akan aku ganti cokelat panasmu tetapi bisa kau menolongku untuk menuju dapur? Aku tidak tahu di mana letaknya," balas Aristela, kemudian menatap Pak Raden yang hanya tersenyum simpul, membuatnya cengengesan karena niat ingin membantu malah mendatangkan kerepotan untuk si Aderald.

"Non Aristela enggak apa-apa bantuin Den Aderald untuk gantiin cokelatnya, biar Bapak saja yang kerja, Nak," sahut Pak Raden sebelum meninggalkan Aristela dan Aderald, akan tetapi ... sebelum langkahnya benar-benar jauh, suara Aderald menghentikan langkah Pak Raden.

"Selesai membuatkanku cokelat panas, Aristela akan menyusuli Pak Raden."

Aristela hanya bisa menghela napas sembari menerima nasib dan membatin bahwa hari ini kesialannya begitu berlipat ganda.

Aderald menuntun Aristela menuju dapur dan mengawasi sembari memerhatikan Aristela yang sedang membuatkannya cokelat panas, selesai dengan pekerjaannya ... Arsitela pun memberikan cokelat tersebut ke yang punya sembari bertanya pula karena penasaran dengan Aderald. "Oh iya, kamu enggak kerja seperti abang-abangmu?"

Aderald menaikkan alis, lalu menjawabnya, "Tidak, aku masih kuliah, memangnya kenapa?" tanyanya balik dan Aristela langsung menunjukkan senyum lebarnya.

"Yes, mumpung kamu lagi kuliah aku mau nanya-nanya banyak he he, boleh kan? Sambil masa pendekatan juga biar kita makin deket dan enggak canggung pas saudaraan nanti," jawab Aristela yang semakin dekat dengan Aderald membuat pria tersebut merasa aneh serta salah tingkah sendiri dibuatnya, Aristela yang melihat Aderald sedikit menjauh langsung mengembuskan napas.

"Yah ... pasti kamu enggak mau atau enggak nyaman kan kalau aku seperti ini? Maaf, aku adalah orang agak sok akrab dan ingin sekali berkenalan dengan orang baru, terlebih lagi kita akan menjadi saudara, jadi menurutku memiliki inisiatif untuk saling berbincang itu bagus, tetapi nyatanya belum tentu," ujar Aristela dengan nada yang kecewa, tetapi tidak lama karena beberapa saat setelahnya, dia kembali tersenyum karena teringat dengan Pak Raden yang harus ia bantu.

"Heh, kamu mau ke mana?" tanya Aderald yang mengurungkan niat Aristela untuk pergi, Aristela pun berbalik dan menaikkan sebelah alisnya dan bertanya, "Mau nyusulin Pak Raden, emangnya kenapa?"

"Emang aku suruh untuk pergi?" tanya Aderald balik dengan pandangan yang datar.

"Memang kamu enggak suruh, tetapi liat kamu yang enggak nyaman sama aku untuk berkenalan, ya udah, lebih baik aku aja yang pergi, soalnya kamu enggak asik, beda sama Adnan yang mudah diajak akrab," jawab Aristela panjang lebar hingga membanding-bandingkan antara Aderald dengan adiknya.

"Huft ... aku dan ketiga abangku itu perlu beradaptasi terlebih dahulu, jadi jangan samakan dengan Adnan, mengingat umurnya juga yang masih 17 tahun, tentu dia pun juga masih labil dan mencari jati dirinya, jangan heran dengan hal itu, berbeda dengan kita yang sudah dewasa," balas Aderald yang sama panjang lebarnya, membuat pikiran Aristela terbuka dan mulai memaklumi sifat mereka yang seperti lalu-lalu itu.

"Baiklah, lalu sekarang apa tujuan kamu manggil aku tadi?"

"Pas selesai bantuin Pak Raden, nanti kamu ke aku, kita bisa cerita-cerita atau membahas seputar hal yang ingin kamu tanyakan," jawab Aderald lalu meninggalkan Aristela yang ingin membalas ucapan Aderald dengan terima kasih, tetapi tidak jadi.

Untuk apa Aristela ada niatan untuk berterima kasih? Karena dia hanya ingin saja, apalagi dia pun ingin bertanya pula, itu pun tidak sedikit juga.

Namun sekarang, tujuannya adalah untuk membantu Pak Raden bekerja.

Di sisi lain, Aderald sedang duduk bersantai di tepi kolam berenang sembari menyeruput cokelat hangatnya. Sembari menikmati minuman tersebut, Aderald berfokus pada pikirannya yang melayang-layang mengenai Aristela, yah ... gadis itu tadi terlalu dekat dengannya, sehingga parfum Aristela sedikit membekas di ingatan pria itu, dan Aderald ingin mengatakan bahwa, "Teruslah mendekat, karena aku suka dengan baumu," gumamnya.

Aderald menghela napas bingung, jantungnya terus berdebar saat dia dan Aristela mendekat tadinya, maka dari itu, dirinya memutuskan untuk menjauh, bahkan berlalu begitu saja agar detak jantungnya dapat dinetralkan.

Di sudut lain pula, Pak Raden sedang menggunting dedaunan pohon dan bunga, Aristela ikut bergabung dengan menyabut dedaun-daunan liar.

"Ish, agak susah nyabutnya, ini akar atau apa sih?" gumam Aristela, Pak Raden yang mendengar keluhan Aristela sedikit tertawa dan langsung menghampiri gadis tersebut.

"Sini Bapak bantu, mumpung gunting daunannya udah selesai," ucap Pak Raden dan Aristela pun mengangguk.

"Oh iya, Pak. Bibi Malika kan pulang, kalau Bapak biasanya pulang kampung di hari-hari apa?"

"Eum, Bapak enggak pulang, Nak. Bapak tinggal di sini terus, he he, orang tua Bapak juga semuanya udah meninggal, terus rumah di kampung juga udah enggak ditinggali, karena Bapak engga bisa bayar uang kontrakannya biasa, jadi ... Bapak mengabdi aja di sini," jawab Pak Raden.

"Istri sama anak Bapak?"

"Bapak belum menikah," jawab Pak Raden dan Aristela sedikit terkejut mendengarnya, tetapi tidak bertahan lama Aristela segera meminta maaf karena mengira perkataannya sedikit menyinggung Pak Raden.

"Enggak apa-apa kok."

"Maaf Aristela lancang, Pak."

"Enggak usah dipikirin, Nak. Kemungkinan kamu penasaran apa alasan Bapak enggak nikah, alasannya adalah: Bapak udah merasa nyaman sendiri, karena waktu Bapak muda, Bapak tuh pernah mau menikah, malah kami udah tunangan, cuman tunangan Bapak itu ketahuan selingkuh, malahan udah hamil tiga minggu, jadi di situlah Bapak mati rasa karena terlalu trauma," balas Pak Raden yang berusaha tegar menyeritakan masa lalunya, sementara Aristela mengatakan, "Tunangan Bapak pasti enggak bahagia karena nyelingkuhin Pak Raden, kesal aku loh, Pak."

"Kamu kok tahu, Nak?" tanya Pak Raden dan Aristela tersenyum puas jika ucapannya benar.

"Pak, karma itu selalu berlaku untuk mereka yang berbuat jahat, membuat orang patah hati dia pun akan merasakan hal itu, lambat atau tidaknya semua akan terbalaskan dalam waktu yang tepat," jawab Aristela mengingat kejadian yang dialaminya tadi pagi, di mana dia sudah terlalu lelah untuk menerima perbandingan dari bos toko roti yang bernama Bapak Syahrul itu.

"Kalau Bapak sih sedih, Nak. Karena yang menanggung itu semua tuh anak kecil yang enggak tau apa-apa."

"Iya juga yah, Pak. Sedih jadinya."

"Udah, udah ... kita lanjut kerjanya, Nak."

"Siap, Pak!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kartini Tambunan
thor lanjut ceritanya mana ya , di aplikasi ini banyak cerita yang tdk selesai jd malas untuk membaca aplikasi ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status