Para karyawan yang bekerja di toko roti, tak bisa bertanya apa-apa lagi tentang nasib Asma dan Pita, karena keduanya otomatis diberhentikan atau dipecat oleh Pak Syahrul secara kejam di sana.
Bahkan Asma mengeluarkan air matanya sembari memohon-mohon kepada bosnya itu untuk tidak memecatnya. Namun, Pak Syahrul tak mengucapkan apa-apa selain menunjukkan ekspresi wajah yang tidak bersahabat, sementara Pita? Wanita itu sudah pasrah dengan apa keputusan Pak Syahrul, karena perasaannya sekarang ini hanya bisa menanggung penyesalan serta emosi yang besar terhadap si Aristela itu.
"Untuk apa lagi kalian berada di sini? Cepat keluar dari tokoku, aku tak sudi melihat wajah kalian berdua, cepat angkat kaki!" bentak Pak Syahrul dan keduanya pun langsung pergi dari tempat tersebut dalam keadaan malu nan menunduk.
"HUU" sorak-sorakan dari para karyawan yang puas atas perginya mereka berdua yang akhirnya membuat karyawan-karyawan di sini menjadi lega karena penjilat sudah berakhir masanya.
...☆▪︎☆...
Aristela menghela napas, ia sendiri di rumah sembari merenung, di mana lagi dirinya harus bekerja? Apakah dia harus kembali ke toko roti itu? Jawabannya adalah tidak, karena Pak Syahrul pun telah meminta kesempatan untuk memikirkan berulang kali mengenai niatannya untuk berhenti di sana, akan tetapi ... kesempatan tersebut ia tolak mentah-mentah lantaran muak dengan sifat Asma dan Pita yang sungguh merugikan untuk karyawan lain, walau harus mengorbankan pekerjaannya, tidak apa-apa memusnahkan dua parasit dari pada korban akan semakin banyak.
Sekarang, pikiran Aristela melayang-layang sampai dirinya stuk di rumah Tante Cahyani, bagaimana jika dirinya ke sana? Cuman ... Aristela ragu dan merasa bahwa Cahyani tidak ada di sana. Keraguan tersebut semakin besar hingga membuatnya mencoba-coba untuk menghubungi Adnan melalui sms, lebih tepatnya mengirim pesan.
Adnan, nanti pas istirahat, kamu telepon aja Pak Raden kalau enggak usah ngejemput kamu, bilang aja kalau Kak Aristela yang jemput, dan ngomong-ngomong ... aku mau ke rumahmu sambil nunggu waktu pulang kamu gitu, soalnya Kakak bosan di rumah sendiri, nah ... di rumah kamu cuman ada Pak Raden sama Bibi Malika, kan?
Setelah pesan tersebut terkirim, Aristela melihat jam di ponselnya yang menunjukkan baru setengah delapan, sementara istirahat seorang anak sekolah menengah atas itu biasanya setengah sebelas, jadi ... kemungkinan dia harus menunggu sedikit lama.
Namun, Aristela tidak perlu menunggu selama itu, karena tidak lama kemudian Adnan membalas pesan Aristela, dengan mengatakan: Okey, Kak. Nanti Adnan telepon Pak Raden, mumpung guru lagi keluar bentar jadi ada waktu bisa ngecek hp. Kalau Kak Aristela mau ke rumah, pergi aja, cuman ada Pak Raden sama Bibi Malika di sana kok. Duh, jadi pengen pulang juga biar bisa nemenin Kak Aristela, dan btw Kak Aristela enggak kerja?
Aristela cepat-cepat melihat pesan tersebut dan tersenyum melihat balasan dari Adnan, segera ia membalas: Kakak berhenti he he, ada alasan tertentu dan nanti bakal Kakak ceritain kalau kamu udah pulang sekolah.
Tak ada balasan dari Adnan selama beberapa menit menunggu dan Aristela pun memilih untuk ke rumah pria itu karena dia amat bosan di sini, mumpung di rumahnya Cahyani ada Raden dan Malika sehingga Aristela bisa berbincang-bincang bersama mereka serta ingin mengulik lebih jauh mengenai keluarga Adibrata.
Yah ... nama almarhum ayah dari Adnan dan keempat saudaranya, adalah Toro Adibrata.
☆▪︎☆
Tak membutuhkan waktu yang lumayan lama, akhirnya Aristela sampai di halaman rumah Cahyani dan segera memarkirkan motornya di depan garasi, kebetulan pula Pak Raden sedang menyabut rumput dan Aristela memiliki ide jahil yang berhasil membuat Raden terkejut.
"Haduh, ternyata anaknya Pak Adibal, toh, namanya siapa? Biar Bapak tau, he he."
"Maaf yah, Pak, Aristela udah ngagetin," balas Aristela sekaligus memberitahu namanya.
"Non Aristela, untung saya enggak ada riwayat penyakit jantung, kalau sampai ada, tamat saya." Aristela pun terkekeh mendengar kalimat tersebut kemudian menunjukkan wajah sedih karena merasa bersalah.
Raden menyelesaikan pekerjaannya dan menyuruh Aristela untuk masuk ke dalam rumah, masuknya mereka di sana, Aristela pun berbincang-bincang dengan bapak itu.
"Bapak udah berapa lama kerja di sini?"
"Udah lama banget, Non. 30 tahunan lebih," jawab Raden dan Aristela terpukau.
"Berarti segala seluk beluknya Bapak tau dong." Raden mengangguk mendengarnya semakin membuat Aristela senang karena ia akan bertanya agak banyak untuk mengetahui sisi-sisi dari sifat keempat saudaranya Adnan.
"Gini, Pak. Saya mau tanya sesuatu tapi jangan kasih tau keempat saudaranya Adnan yah, Pak. Soalnya saya mau nanya tentang mereka, karena mereka tuh misterius lalu rada cuek, dan saya ada niatan untuk akrab sama mereka, tapi ... karena kedua sifat mereka yang amat menjengkelkan itu, jadi ... saya agak ragu untuk mencoba lebih dekat lagi, kecuali dengan Adnan yang ramahnya minta ampun, sampai-sampai saya dibuat geleng-geleng karena gombalannya," curhat Aristela dan Pak Raden tertawa, Pak Raden pun dengan senang hati ingin memberitahukan sifat keempat putra Cahyani.
"Dengar baik-baik yah, jangan dipotong. Untuk Abraham, merupakan anak pertama dengan sifat tegas tapi sangat menyayangi adik-adiknya, walau rasa sayang itu selalu disamarkan olehnya, memang dia anak yang cuek dan dingin, tapi hatinya itu rapuh jika terkait dengan keluarganya, bagaimana dengan Agam? Anak kedua yang memiliki sifat ambisius tinggi untuk mendapatkan apa yang dia mau, dan sifatnya dengan Abraham pun sebelas dua belas, yang berbeda hanyalah satu: cueknya tidak seberlebihan Abraham. Lanjut ke August, dia jahil dan sedikit mesum, begitupula dengan Aderald dan Adnan, walau yang sebenarnya mereka berlima sama-sama mesum juga. Singkatnya sifat mereka yah seperti itu, Nak. Tapi inti dari segala inti, keempat inilah yang sulit ditebak karena dapat berubah-ubah di sela-sela waktu, kecuali Adnan yang sudah memfrontalkan sifatnya, sekarang sudah puas?" tanya Pak Raden dan Aristela mengangguk senang.
"Terima kasih, Pak. Infonya udah lebih dari cukup, saya hanya bertanya karena sebentar lagi pasti saya akan bergabung dalam keluarga mereka, he he."
"Bagus, Non. Saya jadi seneng kalau ada yang semakin meramaikan rumah ini, ngomong-ngomong ... bukannya Non Aristela mau kerja yah setelah ngantar Den Adnan?"
"Tadi sih Aristela kerja, Pak, hanya saja ada masalah sehingga Aristela harus berhenti, nah karena di rumah sepi sekali, jadi saya memutuskan ke sini, oh iya, sekalian saya kasih tau kalau yang jemput Adnan pas pulang nanti, biar saya saja, Pak," jawab Aristela.
"Enggak ngerepotin, Non?"
"Enggak kok, Pak. Malah saya seneng, terus ... saya juga mau bantu-bantu kerja di sini, daripada bosen dan Pak Raden enggak boleh ngelarang karena enggak enak, karena ini kemauan saya sendiri, okey?"
"Eh, makasih banyak loh, Non, kebetulan Bibi Malikanya tadi lagi pulang karena ada panggilan mendadak dari keluarga kampung."
"Yeay, berarti Aristela datang di waktu yang tepat."
Kegirangan Aristela disaksikan oleh Aderald yang sedang menguping di suatu tempat, di mana keduanya tidak sadar akan kehadiran pria tersebut, yang terpenting adalah ... Aderald menyunggingkan senyumnya dan mengatakan, "Welcome to the home, Aristela Baby."
Saking senangnya Aristela karena dapat membantu Pak Raden bekerja, menimbulkan sesuatu yang akward, di mana gadis tersebut menabrak pria seumurannya yaitu Aderald karena tidak terlalu fokus ke depan."Sial, cokelat panasku!" desis Aderald melihat cokelat panasnya yang terbuang sia-sia karena Aristela yang menabraknya, tak hanya itu, dia pun merasa panas karena percikan air minumannya itu mengenai kaki Aderald."Ma-maafkan aku, aku terlalu gembira sehingga menabrakmu, ngomong-ngomong namamu siapa? Aku lupa." Aristela masih sempat bertanya di situasi tersebut dan Aderald memuta bola matanya malas lalu menatap Aristela dengan lekat + tajam."Namaku Aderald, lain kali hati-hati berjalan, dasar merepotkan, aku akan menuntutmu untuk menggantikan cokelat panasku, calon saudara tiri yang nakal," jawab Aderald dengan tambahan balasan yang agak jahil di akhit kalimatnya karena Aristela merinding begitu saja melihat kedipan mata pria di
Aristela POVSelesai membantu Pak Raden ada kepuasan tersendiri dalam diriku, apalagi melihat bapak tersebut semakin mudah pekerjaannya, apalagi beliau pun sudah agak tua, jadi staminanya sedikit berkurang di banding dia waktu muda.Pak Raden begitu senang menyampaikan rasa terima kasihnya dan aku membalasnya dengan senang pula bahwa aku pun menikmati kerja-kerja tadi, yang entah kenapa sikap Pak Raden tiba-tiba berubah di mana dirinya menunduk sembari tersenyum lalu pergi begitu saja, kemungkinan bapak lagi ada urusan lain jadi agak terburu-buru dilihatnya.Aku mencari keberadaan Aderald karena aku mengingat perkataan pria itu yang terlihat mulai membuka diri dan ini adalah kesempatan bagus untuk memanfaatkan agar aku dapat akrab dengannya."Aderald ke mana, yah? Enggak ketemu-ketemu orangnya, kemungkinan ada di ko-""Kenapa?"Aku terkejut, Aderald menepuk pundakku tiba-tiba dan me
Author POVSudah jam setengah dua lewat dua belas, dan di waktu itulah Adnan baru keluar dari pintu gerbang sekolahnya dan menunggu Aristela, dia pun menuju halte bersama temannya untuk nongkrong di sana."Adnan, tadi kalau enggak salah, gue liat lo lagi ngebonceng cewek cantik, lo dapet dari mana?""Rahasialah, nanti dia dateng lagi buat ngejemput gue, jangan sampai kalian-kalian ngeliat mukanya, kalau sampai, auto jatuh cinta saking cantiknya," jawab Adnan dan teman-temannya ingin menjitak si Adnan."Pelit banget lo, kasih taulah, kalau cocok sama gue, nanti dicomblangin yah," pinta pria yang bernama Garda dan Adnan langsung melarang."Heleh, enggak mau gue! Kalau dia pacaran sama lo, auto dirusakin, lo kan nafsuan tinggi sampai puncak patung mariana, dikit-dikit punya burung langsung baper, apalagi cewek yang gue bonceng tadi beningnya enggak ketulungan, mulus coy," balas Adnan.
Aristela harus berhenti di pertengahan jalan, gadis tersebut merasa lupa sesuatu dan ia terus mencoba untuk mengingatnya kembali, beberapa menit berkutat dengan memori, akhirnya Aristela menemukan jawaban, bahwa dia ketinggalan ponselnya di rumah Adnan, maka dari itu ... Aristela menghela napas karena dia harus putar balik, dia menjadi heran, padahal sebelum pulang, dirinya membahas mengenai papanya yang akan dia hubungi. Namun, namanya juga sifat lupa itu adalah manusiawi, manusia takkan bisa mengelak salah satu sifat wajar tersebut.Aristela pun sampai di rumah megah Tante Cahyani, langkahnya cepat-cepat memasuki rumah tersebut dan menuju suatu tempat di mana dirinya meletakkan ponsel tepat di ruang keluarga dan berada di samping televisi."Adnan!" panggil Aristela memanggil bocah tersebut, Adnan yang asik ganti baju, segera keluar kamar walau dia bertelanjang setengah-hanya bagian bawah saja yang ditutupi-Adnan segera ke pusat suara dan m
"Gila! Aku enggak akan mau, walau kalian mengancam untuk membunuhku, lebih baik aku harus mati," balas Aristela dengan nada yang murka, tetapi perlahan wajah marahnya berubah menjadi sendu dengan air mata yang diiringi isak yang pelan, "bukan ini yang aku mau, Kak, aku selalu mencoba terbuka kepada kalian agar kita bisa menjadi saudara yang akrab, tetapi aku selalu ragu dan takut, jadi ... aku hanya selalu berbicara dengan Adnan sahaja. Bahkan waktu sebelum diriku menjemput Adnan, diriku sempat berbincang bersama Aderald, yang kurasakan waktu itu adalah senang dan sangat bahagia, karena aku yakin, satu per satu akan mulai terbuka pada diriku, akan tetapi ... dengan kejadian yang baru ini, semua kepercayaan diriku untuk mengenal kalian lebih dekat, telah sirna," lanjut Aristela dan tangisnya pun menjadi pecah.Abraham, Agam, dan August, serta Aderald terharu mendengar kejujuran Aristela, tetapi tidak setuju dengan kalimat akhirnya, hingga sang kakak yang
Cahyani sangat panik dan khawatir ketika mendapat telepon dari Agam bahwa si Adnan ada di rumah sakit, ibu dari lima anak itu pun sampai di lokasi tujuan dan mendapati Adnan yang belum sadarkan diri."Mamah pusing banget sama kalian, udah berapa kali Mamah kasih tau kalau jaga Adnan dan selalu awasi dia, karena anak itu memang selalu lari-lari tanpa sadar kalau hal itu bisa membahayakan dirinya, apalagi kalau Adnan udah panik, malah semakin menjadi-jadi, memangnya ... apa yang terjadi sampai adikmu lari seperti kesetanan?" tanya Cahyani yang marah kepada Agam, August, dan Aderald.Sebagai kakak tertua di situasi sekarang ini, Agam mulai menjelaskan semuanya, kalau Adnan lari terbirit-birit karena melihat Aristela yang tidak sadarkan diri ketika berada dalam gendongan Abraham, lantas ... Adnan mengira jika keempat abangnya melakukan hal yang tidak-tidak kepada putrinya Pak Adibal.Penjelasan tersebut membuat Cahyani kembali be
Aristela menjadi salah tingkah apabila Abraham mendekatkan diri pada gadis tersebut, dan sekarang ... hal tersebutlah yang dilakukan oleh Abraham pada Aristela saat ini, jarak mereka begitu dekat sehingga Aristela dapat merasakan embusan napas dari pria tertua dari lima bersaudara ini."Kenapa diam? Bukannya kamu begitu terang-terangan memerlihatkan rasa sayangmu pada Adnan? Lalu, mengapa padaku kau terlihat berat sekali? Padahal kami sama walau hanya berbeda umur," ujar Abraham dan Aristela menggeleng pelan dan perlahan bergeser agar dirinya bisa berjauhan sedikit. Namun, Aristela tidak dapat bergerak banyak lantara wanita itu sudah berada di pojok sofa, bisa-bisa dia terjatuh jika semakin bergeser."Hei, ayo jawab dan silakan lampiaskan rasa marahmu dengan kasih sayang padaku," ucap Abraham dan aroma napasnya merasuk dalam penciuman Aristela."Kak Abraham, dirimu dan Adnan tentu berbeda, a-aku tidak dapat menyamakan d
Aristela telah sampai di rumahnya dan mulai merebahkan diri di ranjang empuk yang ia rindukan, gadis tersebut memejamkan matanya untuk menikmati waktu berbaring sebentar. Hari pun telah sore dan papahnya belum juga pulang, Aristela menduga kemungkinan sang papah akan lembur malam ini, tetapi ... dugaan tersebut salah karena di luar rumah terdengar deruman mobil lalu bunyi klakson yang nyaring.Aristela segera keluar dan membukakan pintu untuk Adibal yang baru saja keluar dari mobilnya."Pah, itu apaan?"Sebuah kresek hitam menjadi perhatian Aristela di tangan kanan papahnya, Adibal tersenyum karena di perjalanan tadi, matanya sempat melihat penjual batagor keliling dan akhirnya singgah di sana karena mengingat Aristela yang sudah ada di rumah. Pria itu belum tahu jika anaknya telah berhenti bekerja, sehingga ia tampak seperti biasanya, di mana dia menatap sang anak dengan bahagia lalu menanyakan harinya mengenai pekerja