Share

Jerat Tuan Pebinor
Jerat Tuan Pebinor
Penulis: Butiran_Debu

1. Ijin Menikah

Kala aku tiba di rumah sore itu, kulihat pintu rumahku terbuka lebar dengan sepasang sepatu wanita terletak di luarnya. Dua suara pria dan wanita terdengar telingaku ketika akan memasuki teras itu.

"Sampe kapan, Fer? Kamu pikir kami nggak bosan nunggu begini? Lihat papa kamu, Nak. Papa udah tua. Kamu nggak pengen kami menimang cucu sebelum ajal kami, apa?"

Itu suara mama mertuaku. Bisa kupastikan mama bagaimana reaksi mukanya saat membahas cucu.

"Aku pulang," ujarku. Kulihat mama membuang wajahnya ke samping tak senang melihat kedatanganku. Tak perlu kupasang muka jutek sepertinya, sebab ini sudah hal biasa bagiku.

"Eh, ada mama," lanjutku lagi.

Setelah melepas sepatu sport di depan pintu, kuambil tempat duduk di sebelah Ferdy yang berhadapan dengan mama mertua. Berniat menyapa dulu pikirku, tapi mama mertua segera menegurku.

"Mertua datang bukannya dibikinin minum, malah duduk," sindirnya. 

Sejak tadi mereka mengobrol kenapa tidak meminta diambilkan oleh anaknya? Apa tangan Ferdy akan patah jika dia suruh?

"Oh iya. Maaf, Ma, aku ke dapur dulu." Kutinggalkan mereka di sana.

Lagi, kudengar mereka melanjutkan pembicaraan lagi. Tidak terlalu jelas, mama mertua menurunkan nadanya dari sebelum aku masuk tadi.

Ini lah salah satu masalah besar yang sangat mengganggu pikiranku. Lima tahun kami menikah hingga sekarang belum juga bisa memberi cucu untuk mertua. Aku sendiri sangat malu setiap kali mama membahas anak padaku.

Bukan aku tak mau. Tapi ... mungkin memang belum saatnya kami dikasih keturunan.

Mertuaku tidak bisa meminum kopi. Penyakit lambungnya sudah terbilang buruk. Jadi, aku meletakkan cangkir teh di depannya dan kopi untuk suamiku.

"Silakan tehnya, Ma," ucapku mempersilakan.

"Nara, gimana dengan jamu yang mama belikan? Kamu nggak buang, kan?" 

Bukannya mengucap terima kasih atau sekedar basa-basi atas teh yang baru kuletakkan, mama langsung menembakku pada inti.

"Minum kok, Ma," sahutku pelan. 

Sudah tiga bulan ini mama mertu memberikan jamu untuk kukonsumsi. Di kemasannya menjelaskan bahwa itu jamu penyubur kandungan, katanya biar aku cepat hamil. Aku selalu meminumnya meski aku sendiri merasa mual setiap kali selesai menenggaknya. Tak apa. Memiliki anak juga salah satu keinginanku. 

Bukankah untuk mendapatkan sesuatu kita harus berkorban lebih dulu? Anggaplah meminum jamu itu sebagian dari pengorbananku.

"Tapi kenapa kamu belum hamil juga? Anaknya teman mama cuma minum itu satu bulan, loh. Dia langsung hamil di bulan berikutnya!" serunya, yang di telingaku terasa seperti sindiran halus.

"Mungkin memang belum saatnya, Ma. Udah lah, jangan bahas cucu terus." 

Ferdy membelaku, seperti yang biasa dia lakukan. Melihat wajah mama tak senang akan pembelaan yang kudapat, kucubit kecil pinggang suami agar tidak menjawab lagi ucapan mamanya. 

"Jadi maksudnya kami harus diam aja, gitu? Ferdy, kamu ini anak mama satu-satunya dan hanya sama kamu mama berharap." 

Ferdy sudah membuka mulutnya untuk menjawab, tapi segera dia urungkan ketika melihatku meliriknya. Kugeleng pelan kepala, menyuruhnya berhenti berdebat dengan mama. Aku tak mau mereka terus bertengkar dan berakhir aku lagi yang disalahkan.

"Kami akan berusaha terus, Ma. Doakan aja secepatnya," ucapku, menggantikan Ferdy.

"Kamu pikir kami nggak berdoa selama ini? Sebenarnya kamu paham nggak sih perasaan kami, Nara? Kami ini orang tua, loh. Satu-satunya keluarga yang dimiliki Ferdy selain kamu. Apa bahagia kami bukan tanggung jawabnya? Hanya kamu yang berhak mendapat bahagia dari anak kami? Lebih baik kalian berhenti berusaha kalau hasilnya selalu nihil!" sentak mama.

Tuhan ....

Ingin kuangkat tangan meremas dada yang terasa sangat sakit di dalam sana, tapi kutahan demi tidak terlihat menyinggung. Lagi-lagi aku menahannya agar mama tidak semakin kesal melihat wajahku.

"Maaf, Ma," sahutku lemah. 

Kau tahu seberapa sakitnya aku selalu meminta maaf seperti ini? Semuanya seakan hanya jadi salahku. Padahal, aku sendiri sudah mengikuti semua perkataan mama mertu. 

"Mama nggak bisa dengar permintaan maaf kamu terus, Nara. Mama bosan dengarnya." 

Lantas apa yang harus aku lakukan? Semua inginnya sudah kuturuti, termasuk bekerja jadi Cleaning Servic di perusahaan itu. Kau tahu kenapa aku terdampar ke sana? Mari kujelaskan.

Mama mertuku yang terhormat ini pernah berkata Ferdy terlalu lelah bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi di malam hari. Beliau menyuruh Ferdy resign sejak dua tahun lalu, dan hingga sekarang dia kesulitan mencari pekerjaan. Asal kau tau, Ferdy sudah menganggur selama dua tahun penuh, dan aku harus menggantikannya untuk mencukupi biaya kami. 

Aku hanya anak dari panti asuhan. Aku tak punya tingkat sekolah tinggi apalagi yang disebut sebagai gelar. Untuk lulus dari SMA saja aku harus bekerja paruh waktu sebab panti tempatku dibesarkan mengalami kesulitan saat itu. 

Sedangkan Ferdy yang tadinya sudah mendapat posisi bagus di kantor dipaksa mengundurkan diri oleh mamanya. Tak ada pilihan lagi saat itu, Ferdy menuruti perkataan mamanya agar tidak terus menyalahkanku yang tak kunjung hamil.

Semua uang yang kami miliki kubayarkan pada angsuran rumah. Seharusnya memang masih tiga tahun lagi, tapi kupikir, jika Ferdy tidak bekerja dari mana kami akan mendapat uang bulanan membayarnya? Jadi, kuputuskan melunasi rumah ini agar tidak menjadi beban bagi kami. Lalu aku melamar kerja menjadi tukang bersih-bersih, sebab hanya sampai di situ lah ijazahku berlaku. 

"Maaf, Ma," jawabku lagi. Kutelan ke dalam air mataku untuk tetap terlihat tegar. Aku tak suka dipandang rendah olehnya. 

"Maaf terus. Udah kamu ke dalam aja sana. Nyuci piring kek, baju, masak, atau bersih-bersih. Mama mau ngomong berdua sama Ferdy." 

'Baik, Mama Ratu.' 

"Kalau gitu aku ke dalam dulu, Ma." 

Ini lebih bagus. Aku sendiri sudah tak tahan duduk lebih lama lagi di sana. Aku lelah, hanya aku yang selalu disalahkan olehnya. Biarlah kali ini Ferdy yang menangani mamanya. Mau mereka ribut, berantem sekalian juga aku akan menutup telingaku.

Spons di tangan kugosok kuat pada piring yang sedang kucuci. Begini lah selalu. Bahkan jika aku pulang malam dari tempat bekerja, aku masih harus mengurus segala pekerjaan rumah yang kadang sampai larut malam selesai. Ferdy yang sejatinya hanya diam di rumah ini pun tak pernah berniat meringankan sedikit saja bebanku. Bukan. Bukan aku meminta suamiku menjadi Inem, hanya sesekali aku ingin dia ikut membantu. Bukankah hal wajar suami istri melakukannya bersama? Nyatanya, Ferdy tak pernah menyentuh apa pun di rumah ini. 

Duduk di depan TV, pergi bertemu temannya, atau alasan melihat pekerjaan yang tak kunjung dia dapatkan. Aku sabar. Aku tak pernah melarangnya bahkan ketika aku sangat membutuhkan belaiannya.

"Jadi gimana? Mama atau kamu yang ngomong sama Nara?" tanya mama kudengar di depan sana.

"Jangan, Ma. Biar aku aja yang ngomong."

"Kamu bilang gitu juga minggu lalu, kan? Tapi nyatanya, kamu malah diem terus. Kamu ini sebenarnya laki-laki bukan, sih? Masa ngomong ke istri saja nggak bisa. Seperti suami takut istri!" sindir mama. 

"Apa jangan-jangan Nara yang ngatur kamu? Bilang sama mama, dia nggak rendahin kamu karena nggak kerja, kan? Gantian dong, dulu kamu yang kerja sampe nggak punya waktu ngasih mama cucu. Sekarang giliran dia harusnya nggak jadi besar kepala. Lagian gaji tukang sapu mah berapa? Nggak akan bisa nyaingi gaji kamu dulu."

Tuhan ... jika aku memperlakukan Ferdy seperti itu, seharusnya mama melihat rumah ini rapi ketika datang tadi. Bukannya seperti ini. Piring bertumpuk di tempat cuciannya, pakaian di luar belum diangkat, dan lihat saja ruang tengah yang bahkan tidak disapu sejak pagi. Ya, aku tak menyapunya sebab buru-buru berangkat ke kantor. 

"Udah lah, Ma. Jangan menduga-duga terus. Biar aku yang ngomong ke Nara. Tapi kalo dia nggak setuju mama jangan langsung marah. Nggak ada perempuan yang mau dimadu."

Serrr ....

Darahku mendidih mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut suamiku.

Madu? Madu seperti apa yang Ferdy bicarakan? Madu manis yang diiklankan Agnes Monica itu 'kah? Aku tak mau mengakui isi pikiranku sekarang.

*****

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
apa dlm dunia nyata ada juga istri sebodoh nara ini ya.
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
seru juga ya ceritanya
goodnovel comment avatar
Ay Att
masih muka awal ... membaca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status