"Nggak, Fer, nggak!"
Mungkin suaraku sudah terdengar ke luar sana. Para tetangga mungkin sedang menguping bembicaraanku dengan Ferdy, yang ribut oleh perkataan mama mertu sore tadi. Kupikir Ferdy tidak akan melakukan ucapan mamanya meminta ijin menikah lagi padaku.
"Aku nggak bisa. Kalau kamu mau nikah lagi, ceraikan aku itu lebih baik!" ucapku, mataku menatap tajam pada lelaki yang sudah lima tahun menjadi suamiku.
"Nara, aku mohon mengerti, dong. Orang tuaku sangat ingin punya cucu sementara kamu nggak bisa hamil. Apa nggak bisa kamu turunin ego itu sedikit saja? Ini demi kita, Ra. Kamu nggak harus kerja seperti biasa kalo kita nurutin kata mama," tuturnya.
Ya, itu yang dijanjikan mama mertuaku pada Ferdy. Jika dia menikah lagi, mertua akan memberi modal usaha agar Ferdy tidak perlu capek mencari pekerjaan lagi. Dan ya, kuakui mertuaku terbilang berada. Mereka pasti tak bohong ingin memberi modal pada kami. Tapi untuk membiarkan suami membagi cinta, sungguh ... aku tak bisa menerima itu.
"Lebih baik aku kerja banting tulang nafkahin kamu, daripada harus berbagi suami dengan perempuan lain!" sentakku.
Ferdy menatapku lama. Aku tahu dia kesal terlihat dari ekspresi wajahnya yang menegang.
"Kamu egois! Kamu hanya mikirin perasaan kamu sendiri." Dan dia meninggalkanku di kamar.
Suara motor kudengar di teras rumah dan aku langsung berlari mengejar Ferdy.
"Kamu mau ke mana, Fer? Ini udah malem. Kamu nggak boleh pergi selagi kita ribut."
Maksudku mencegahnya pergi, aku takut mungkin akan terjadi sesuatu pada Ferdy. Dia sedang marah, aku tak mau dia terluka sedikit saja. Tapi di pikirannya, aku seperti istri yang ingin mengontrol penuh atas dirinya.
"Kamu nggak bisa ngatur aku begini. Nara, aku ini laki-laki yang punya harga diri dan aku nggak bisa hanya menikmati gaji kamu. Malam ini aku tidur di rumah mama, silakan kamu pikirkan omongan aku tadi." Lalu dia menancap gas.
Aku masih berusaha menahannya. Kukejar Ferdy hampir dua puluh meter dari teras rumah kami, tapi suamiku tak menghentikan laju motornya. Dia pergi. Ferdy menghilang ke badan jalan raya yang tidak terlalu jauh dari rumah kami.
Seburuk itu kah pandangannya padaku? Padahal, aku hanya ingin dia menenangkan diri di rumah sampai kami bisa berpikir dingin.
Malam itu pun kulalui sendiri tanpa Ferdy. Hingga pagi menjelang dan aku berangkat ke kantor, Ferdy tak juga kembali ke rumah kami.
***
"Maaf, Pak!" seru cepat saat menyadari baru saja menabrak seseorang.
Dia Pak Arsen. Putra tunggal pemilik perusahaan tempatku bekerja sebagai office girl. Lelaki itu tersenyum melihatku menunduk takut di depannya.
"Tak apa, Nara. Kau boleh menabrakku setiap hari, kok," jawabnya dan diiringi seringai nakal.
"Maaf, maaf."
Kutinggalkan Pak Arsen dengan menyeret tangkai pel di tanganku, tanpa berani melihatnya lagi.
Laki-laki itu sangat berbeda dengan Pak Sudrajat alias papanya, direktur utama perusahaan ini. Jika Pak Sudrajat dikenal sangat berwibawa dan sopan, lelaki itu justru terkenal dengan nama buruknya. Dari yang kudengar dikatakan orang-orang di sini, Pak Arsen sering bermain gila dengan para karyawati perusahaan. Dia playboy, sangat pintar memikat hati wanita. Tapi, hanya untuk satu malam. Ya, begitu lah yang kudengar, Pak Arsen sering terlibat cinta satu malam dengan siapa pun gadis yang disukainya di sini. Sedikit banyaknya aku bersyukur sudah menikah.
Ayo lah, Nara. Kamu hanya cleaning service. Meski Pak Arsen terkesan buruk track record-nya, bukan berarti dia tertarik dengan tukang sapu sepertimu. Jangan berlebihan.
"Nara!"
Kuputar kepala melihat Yunita yang memanggil namaku di sana. "Ya," jawabku, berjalan malas menuju meja pantry.
"Pak Arsen minta kopi. Tolong anter ke ruangannya, ya. Aku dipanggil ke meja resepsionis." Yunita meletakkan cangkir kopi di depanku dan berlari begitu saja. Dia memang sedikit menyebalkan, tapi aku menyukainya. Kami berteman sejak masih SMA dan berakhir di perusahaan ini sebagai Office Girl.
Setelah melewati lorong perusahaan, kini aku berdiri di depan pintu ruangan Pak Arsen. Secangkir kopi di tangan kiri dan tangan kanan kubuat untuk mengetuk pintu. Dan tak lama, Pak Arsen menyahut dari dalam.
"Masuk."
Dengan langkah sedikit gaguk aku mendatanginya dan meletakkan kopi pesanannya.
"Ini, Pak," ucapku. Kulirik Pak Arsen tengah menatap wajahku yang saat ini pasti lah sangat menegangkan.
"Nara," panggilnya. Aku menghentikan kaki yang baru saja akan melangkah dan berbalik melihatnya.
"Ya, Pak. Ada yang diperlukan lagi?"
"Kamu," jawabnya.
Aku? Tolong bantu aku berpikir. Apa aku yang terlalu berpikiran buruk sampai kukira dia menginginkan aku? Tolong. Aku yakin otakku lah yang terlalu kacau setelah semua masalah yang kuhadapi.
"Maksudnya, Pak?"
"Kamu ada acara malam ini?"
"Tidak, Pak. Saya akan di rumah setelah pulang bekerja."
"Hm ... begitu."
Dia berdiri dari kursinya dan berjalan ke tempatku.
"Kudengar kamu sudah menikah. Nara, di mana siamimu?"
Lagi di rumah mertua. Dia mengambek minta kawin. Kenapa?
"Di rumah, Pak. Maaf, ada apa dengan suami saya?"
Kemudian Pak Arsen mendekatkan lagi dirinya dan langsung menunduk. Wajah kami menjadi sangat dekat hingga kurasa hangat napasnya bisa tercium olehku. Bau mint dari permen yang sedang dikulumnya sangat segar, aku menarik napas untuk bisa menikmati bau itu.
"Apa aku sangat wangi, Nara? Sepertinya kamu menyukai wangi napasku. Kamu ingin mencobanya?"
Deg!
Jantungku merontah hebat hingga kupikir itu akan lepas dari tempatnya. Kata-kata Pak Arsen yang tidak sopan sontak membuatku terkejut, hingga kedua kaki melemas di bawah sana. Mataku menatapnya nanar mencari apa maksud ucapan lelaki itu.
"Kamu sangat menarik, Nara. Aku menyukaimu," bisiknya lagi. Sekarang Pak Arsen mendekatkan bibirnya ke leherku yang langsung membuat sekujur tubuh berdesir hebat. "Kamu paham maksudku, kan?"
Tidak ... aku tak paham apa maunya, atau lebih tepat, aku tak mau paham. Aku seorang istri, aku memiliki suami di rumah. Rasanya ingin aku segera lari dari hadapan Pak Arsen, tapi entah kenapa kaki ini begitu berat hingga tak bisa kuhindarkan elusan tangan Pak Arsen di leherku.
"Aku penasaran seperti apa suaramu mengerang di bawahku."
****Kalimat vulgar yang terucap dari Pak Arsen, menyadarkanku seketika. Bau napasnya yang wangi sudah tak lagi ingin kuhirup lebih lama."Jaga ucapan Anda, Pak. Di mana sopan santun Anda terhadap istri orang," ucapku, memaksa kalimat itu keluar dari tenggorokan yang tercekat. Tubuhku mundur menghindari Pak Arsen yang juga melangkah maju.Dia berjalan pelan, menggiring kakiku ke belakang. Pinggulku beradu dengan sudut meja kerjanya yang membuatku terjebak dalam kungkungannya. Kedua tangannya diletakkan di atas meja untuk mengunciku."Nara, aku bisa memuaskanmu di ranjang," bisiknya sangat dekat. Hangat napasnya menyapu wajahku yang seketika membeku, kala Pak Arsen mempertemukan bibir kami.Desiran-desiran aneh mulai kurasa mempermainkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh. Jantung memompa kencang, mengalirkan darah dengar hebatnya ke seluruh penjuru. Kakiku melemas dan aku terhanyut oleh buaian bibir Pak Arsen, hingga tak sadar kapan dia melepaskan itu.
"Gimana Ferdy betah di rumah kalau kamu nggak punya anak! Nara, coba kamu pikir, ya. Semua orang menikah itu tujuannya punya anak, biar suami makin sayang dan giat cari uang. Wajar Ferdy nggak pulang karna kamu terlalu banyak nuntut!"Itu yang dikatakan mama mertua begitu aku menanyakan keberadaan Ferdy padanya. Kedatanganku ke sini terasa sia-sia, hanya mendapat omelan sementara aku tetap tak tahu di mana Ferdy. Mama mertua juga langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mempersilakanku.Dua hari bukan waktu yang wajar bagi seorang suami tak pulang pada istrinya. Apa aku salah jika menanyakan pada mertua? Ferdy berkata akan pergi ke rumah mamanya, wajar jika aku datang ke sini mencarinya, kan?Tapi, niat baikku ternyata berbuah duri yang menusuk hingga ke inti hati.Kupikir, pulang ke rumah hanya akan membuatku sedih memikirkan ucapan mama. Jadi kuputuskan pergi ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan.Tapi apa yang ku
Beberapa menit setelah membersihkan tubuh, aku masih diam di dalam kamar mandi. Sungguh ... aku bingung bagaimana akan menunjukkan muka di depan Pak Arsen sekarang. Maksudku ... kemeja ini. Ya, kemeja kelonggaran yang kukenakan setelah berganti pakaian. Ini sepertinya milik Pak Arsen, terlihat dari ukurannya yang pas dengan lelaki itu. Dan di bagian bawah, aku sama sekali tak mengenakan apa-apa."Nara."Kudengar Pak Arsen memanggil namaku bersamaan dengan ketukan pintu. Dia mengulanginya, menyebut namaku seperti tadi. Aku semakin bingung, apakah harus berpura-pura mati sejenak?"Kamu baik-baik aja? Jawab atau aku mendobrak pintunya sekarang.""Iya, Pak! Aku nggak apa-apa!" seruku mengalahkan kecepatan tangan membuka pintu. Dan kemudian, Pak Arsen tertegun melihat aku sangat dekat di depannya. Dia berdiri tak sampai satu langkah dari pintu.Melihat matanya tertuju langsung ke pahaku, refleks lutut sedikit kutekuk untuk merendahkan posisiku berdiri.
Demamku belum juga turun setelah satu malaman menumpang tidur di apartemen milik Pak Arsen. Aku sudah merasa enggan, tak enak hati padanya. Belum lagi tentang ciuman kami di ruang kerjanya tempo hari, membuatku sangat malu melihatnya.Kulirik jam dinding di kamar itu sudah menunjukkan angka sembilan. Mungkin Pak Arsen sudah berangkat ke kantor? Jika begitu, aku harus segera pergi dari apartemen ini sebelum dia kembali.Namun, baru saja aku mengangkat tubuh berdiri dari ranjang, pandanganku kembali berputar dan kembali terjatuh ke posisi tidur. Aku tidak bisa bangun.Tidak. Aku tak mau berlama-lama di sini. Jika Ferdy kembali ke rumah dan melihatku tidak pulang semalaman, dia akan sangat marah dan mungkin benar-benar akan menceraikanku. Jadi tetap kupaksa tubuh ini kuat untuk berdiri.Meski berat dan beberapa kali hampir terjatuh, di sini lah aku sekarang. Di dalam taksi dengan pakaian yang basah kuyup kupaksa mengenakannya. Dan benar apa yang kudu
Kupikir Ferdy mungkin tidak akan pulang lagi malam ini. Setelah aku memaksanya bercinta pagi tadi, Ferdy lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, sekarang dia berdiri di depanku dengan menggandeng perempuan yang dia sebut bernama Nindy."Aku udah nikah sama Nindy. Aku harap kamu bisa bersikap baik padanya. Kalian berdua istriku, sama-sama punya hak di rumah ini.""Nikah?" tanyaku. Tak tahu lagi bagaimana harus kugambarkan emosi di diriku sekarang. "Fer, kamu nikah tanpa bilang aku?""Bilang gimana lagi sih, Ra? Aku udah bilang kan? Nindy hamil anakku dan aku senang akhirnya punya keturunan. Sekarang, kamu harus bisa terima." Ferdy menatap Nindy. Sorotnya yang lembut mengingatkanku dengan hari pertama kami menikah. "Nindy, yang akur sama Nara, ya. Kamu juga nggak boleh capek-capek, ayo istirahat," ajaknya, menuntun Nindy ke kamar kami.Tunggu, kamar kami? Aku tak bisa membiarkan ini lagi. Mereka menikah sebelum mendapat ijinku dan
Cumbuan bibir Pak Arsen semakin menuntut memaksa mulutku terbuka. Gugup. Sungguh aku tak tahu apa yang akan kulakukan di bawahnya. Tanganku diam di dadanya yang bidang. Itu terasa berotot dan nyaman disentuh. Apa aku sudah gila? Ya, sepertinya begitu. Aku gila membiarkan dia memasukkan lidahnya ke dalam mulut untuk mencari milikku.Pilinan dan isapan Pak Arsen membuatku ingin gila. Apalagi ketika tangannya mulai menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif dari balik pakaianku, membuat aku melonjak seketika. Buaiannya sungguh memabukkan, menghilangkan beban atas pernikahan diam-diam yang dilakukan oleh Ferdy.Entah sejak kapan, Pak Arsen sudah berhasil melepas baju atasan yang kukenakan sehingga menunjukkan dua bukit milikku. Bukit tersembunyi yang selama ini tertutup rapi dan hanya boleh disentuh Ferdy.Persetan dengan Ferdy. Aku mulai menggeliat merasakan tangan Pak Arsen mempermainkan ujung dadaku yang mengacung. Sementara sebelahnya dia manjakan dengan
Percintaan panas anatara aku dan Pak Arsen berlangsung beberapa kali, sampai aku sudah tak mampu mengangkat bibirku berbicara. Hanya desahan ringan yang bisa aku keluarkan sekarang. Dia benar-benar gila, jago, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pak Arsen membawaku menikmati surga dunia yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sungguh? Ya, aku tidak pernah mendapatkan pelepasan seperti ini selama dengan Ferdy.Tapi setelah semalaman yang kami lalui, aku sangat malu di pagi hari. Terbangun di sebelah Pak Arsen dengan tubuh telanjang tanpa pakaian. Kulihat, dia masih setia dengan tidur lelapnya. Lantas kugeser kaki turun ke atas lantai dan memungut pakaianku ke ruang tengah. Seperti maling yang takut ketahuan aku buru-buru mengenakan pakaian itu dan melarikan diri dari apartemennya. Sangat memalukan.Begitu tiba di rumah, kulihat Ferdy sudah duduk di ruang tengah ditemani secangkir minuman hangat. Tentu saja Nindy juga di sana. Perempuan itu duduk sangat dekat pada suamik
"Pa-Pak, lepasin. Semua orang melihat kita, Pak," mohonku, berharap Pak Arsen melepaskan cengkaramannya. Dia melirikku tajam, tak peduli dengan perkataanku."Pak-""Diam lah, Nara!" sentaknya. Tangannya membuka pintu ruang pribadinya dan mendorongku masuk. "Masuk! Jelaskan kenapa kamu lari dari rumahku."Apa yang harus dijelaskan? Ini tubuhku, aku berhak membawa ke mana saja diriku. Memangnya dia pikir siapanya aku?"Tadi pagi Bapak masih tidur. Aku enggan membangunkan Bapak." Namun itu lah yang mampu keluar dari mulutku. Sifat arogannya sukses membuat nyaliku menciut."Lalu, kamu pikir berhak pergi begitu saja?" Dia mencengkram daguku keras, mengangkat wajahku untuk bersitatap dengannya. Matanya yang menggelap meluruhkan seluruh energi di tubuh ini.Kenapa denganku? Kaki di bawah sana mulai gemetar kurasakan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalariku kala sebelah tangan Pak Arsen mulai menjalar di sebelah pipi.