Home / Romansa / Jerat Tuan Pebinor / 2. Godaan Pria Lain

Share

2. Godaan Pria Lain

Author: Butiran_Debu
last update Last Updated: 2021-04-26 18:05:50

"Nggak, Fer, nggak!" 

Mungkin suaraku sudah terdengar ke luar sana. Para tetangga mungkin sedang menguping bembicaraanku dengan Ferdy, yang ribut oleh perkataan mama mertu sore tadi. Kupikir Ferdy tidak akan melakukan ucapan mamanya meminta ijin menikah lagi padaku. 

"Aku nggak bisa. Kalau kamu mau nikah lagi, ceraikan aku itu lebih baik!" ucapku, mataku menatap tajam pada lelaki yang sudah lima tahun menjadi suamiku. 

"Nara, aku mohon mengerti, dong. Orang tuaku sangat ingin punya cucu sementara kamu nggak bisa hamil. Apa nggak bisa kamu turunin ego itu sedikit saja? Ini demi kita, Ra. Kamu nggak harus kerja seperti biasa kalo kita nurutin kata mama," tuturnya.

Ya, itu yang dijanjikan mama mertuaku pada Ferdy. Jika dia menikah lagi, mertua akan memberi modal usaha agar Ferdy tidak perlu capek mencari pekerjaan lagi. Dan ya, kuakui mertuaku terbilang berada. Mereka pasti tak bohong ingin memberi modal pada kami. Tapi untuk membiarkan suami membagi cinta, sungguh ... aku tak bisa menerima itu. 

"Lebih baik aku kerja banting tulang nafkahin kamu, daripada harus berbagi suami dengan perempuan lain!" sentakku. 

Ferdy menatapku lama. Aku tahu dia kesal terlihat dari ekspresi wajahnya yang menegang. 

"Kamu egois! Kamu hanya mikirin perasaan kamu sendiri." Dan dia meninggalkanku di kamar.

Suara motor kudengar di teras rumah dan aku langsung berlari mengejar Ferdy. 

"Kamu mau ke mana, Fer? Ini udah malem. Kamu nggak boleh pergi selagi kita ribut." 

Maksudku mencegahnya pergi, aku takut mungkin akan terjadi sesuatu pada Ferdy. Dia sedang marah, aku tak mau dia terluka sedikit saja. Tapi di pikirannya, aku seperti istri yang ingin mengontrol penuh atas dirinya.

"Kamu nggak bisa ngatur aku begini. Nara, aku ini laki-laki yang punya harga diri dan aku nggak bisa hanya menikmati gaji kamu. Malam ini aku tidur di rumah mama, silakan kamu pikirkan omongan aku tadi." Lalu dia menancap gas.

Aku masih berusaha menahannya. Kukejar Ferdy hampir dua puluh meter dari teras rumah kami, tapi suamiku tak menghentikan laju motornya. Dia pergi. Ferdy menghilang ke badan jalan raya yang tidak terlalu jauh dari rumah kami. 

Seburuk itu kah pandangannya padaku? Padahal, aku hanya ingin dia menenangkan diri di rumah sampai kami bisa berpikir dingin. 

Malam itu pun kulalui sendiri tanpa Ferdy. Hingga pagi menjelang dan aku berangkat ke kantor, Ferdy tak juga kembali ke rumah kami. 

***

"Maaf, Pak!" seru cepat saat menyadari baru saja menabrak seseorang. 

Dia Pak Arsen. Putra tunggal pemilik perusahaan tempatku bekerja sebagai office girl. Lelaki itu tersenyum melihatku menunduk takut di depannya. 

"Tak apa, Nara. Kau boleh menabrakku setiap hari, kok," jawabnya dan diiringi seringai nakal. 

"Maaf, maaf."

Kutinggalkan Pak Arsen dengan menyeret tangkai pel di tanganku, tanpa berani melihatnya lagi. 

Laki-laki itu sangat berbeda dengan Pak Sudrajat alias papanya, direktur utama perusahaan ini. Jika Pak Sudrajat dikenal sangat berwibawa dan sopan, lelaki itu justru terkenal dengan nama buruknya. Dari yang kudengar dikatakan orang-orang di sini, Pak Arsen sering bermain gila dengan para karyawati perusahaan. Dia playboy, sangat pintar memikat hati wanita. Tapi, hanya untuk satu malam. Ya, begitu lah yang kudengar, Pak Arsen sering terlibat cinta satu malam dengan siapa pun gadis yang disukainya di sini. Sedikit banyaknya aku bersyukur sudah menikah.

Ayo lah, Nara. Kamu hanya cleaning service. Meski Pak Arsen terkesan buruk track record-nya, bukan berarti dia tertarik dengan tukang sapu sepertimu. Jangan berlebihan.

"Nara!" 

Kuputar kepala melihat Yunita yang memanggil namaku di sana. "Ya," jawabku, berjalan malas menuju meja pantry.

"Pak Arsen minta kopi. Tolong anter ke ruangannya, ya. Aku dipanggil ke meja resepsionis." Yunita meletakkan cangkir kopi di depanku dan berlari begitu saja. Dia memang sedikit menyebalkan, tapi aku menyukainya. Kami berteman sejak masih SMA dan berakhir di perusahaan ini sebagai Office Girl.

Setelah melewati lorong perusahaan, kini aku berdiri di depan pintu ruangan Pak Arsen. Secangkir kopi di tangan kiri dan tangan kanan kubuat untuk mengetuk pintu. Dan tak lama, Pak Arsen menyahut dari dalam.

"Masuk."

Dengan langkah sedikit gaguk aku mendatanginya dan meletakkan kopi pesanannya. 

"Ini, Pak," ucapku. Kulirik Pak Arsen tengah menatap wajahku yang saat ini pasti lah sangat menegangkan. 

"Nara," panggilnya. Aku menghentikan kaki yang baru saja akan melangkah dan berbalik melihatnya. 

"Ya, Pak. Ada yang diperlukan lagi?"

"Kamu," jawabnya. 

Aku? Tolong bantu aku berpikir. Apa aku yang terlalu berpikiran buruk sampai kukira dia menginginkan aku? Tolong. Aku yakin otakku lah yang terlalu kacau setelah semua masalah yang kuhadapi.

"Maksudnya, Pak?"

"Kamu ada acara malam ini?"

"Tidak, Pak. Saya akan di rumah setelah pulang bekerja."

"Hm ... begitu." 

Dia berdiri dari kursinya dan berjalan ke tempatku.

"Kudengar kamu sudah menikah. Nara, di mana siamimu?" 

Lagi di rumah mertua. Dia mengambek minta kawin. Kenapa?

"Di rumah, Pak. Maaf, ada apa dengan suami saya?"

Kemudian Pak Arsen mendekatkan lagi dirinya dan langsung menunduk. Wajah kami menjadi sangat dekat hingga kurasa hangat napasnya bisa tercium olehku. Bau mint dari permen yang sedang dikulumnya sangat segar, aku menarik napas untuk bisa menikmati bau itu. 

"Apa aku sangat wangi, Nara? Sepertinya kamu menyukai wangi napasku. Kamu ingin mencobanya?" 

Deg! 

Jantungku merontah hebat hingga kupikir itu akan lepas dari tempatnya. Kata-kata Pak Arsen yang tidak sopan sontak membuatku terkejut, hingga kedua kaki melemas di bawah sana. Mataku menatapnya nanar mencari apa maksud ucapan lelaki itu.

"Kamu sangat menarik, Nara. Aku menyukaimu," bisiknya lagi. Sekarang Pak Arsen mendekatkan bibirnya ke leherku yang langsung membuat sekujur tubuh berdesir hebat. "Kamu paham maksudku, kan?" 

Tidak ... aku tak paham apa maunya, atau lebih tepat, aku tak mau paham. Aku seorang istri, aku memiliki suami di rumah. Rasanya ingin aku segera lari dari hadapan Pak Arsen, tapi entah kenapa kaki ini begitu berat hingga tak bisa kuhindarkan elusan tangan Pak Arsen di leherku.

"Aku penasaran seperti apa suaramu mengerang di bawahku." 

**** 


Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Faiz Rosin
kuis......
goodnovel comment avatar
Wakhidah Dani
wah minta d sleding nih bos
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
boss yg bikin ngeriii
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jerat Tuan Pebinor   128. Happy Ending

    Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.

  • Jerat Tuan Pebinor   127. Roda Itu Berputar.

    Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih

  • Jerat Tuan Pebinor   126. Mereka Pelayanmu.

    "Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.

  • Jerat Tuan Pebinor   125. Sayang, Aku belum ....

    “Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera

  • Jerat Tuan Pebinor   124. Joseph-ku Bahagiaku. END

    Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang

  • Jerat Tuan Pebinor   123. Aku Sangat Bahagia.

    Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status