Beberapa menit setelah membersihkan tubuh, aku masih diam di dalam kamar mandi. Sungguh ... aku bingung bagaimana akan menunjukkan muka di depan Pak Arsen sekarang. Maksudku ... kemeja ini. Ya, kemeja kelonggaran yang kukenakan setelah berganti pakaian. Ini sepertinya milik Pak Arsen, terlihat dari ukurannya yang pas dengan lelaki itu. Dan di bagian bawah, aku sama sekali tak mengenakan apa-apa.
"Nara."
Kudengar Pak Arsen memanggil namaku bersamaan dengan ketukan pintu. Dia mengulanginya, menyebut namaku seperti tadi. Aku semakin bingung, apakah harus berpura-pura mati sejenak?
"Kamu baik-baik aja? Jawab atau aku mendobrak pintunya sekarang."
"Iya, Pak! Aku nggak apa-apa!" seruku mengalahkan kecepatan tangan membuka pintu. Dan kemudian, Pak Arsen tertegun melihat aku sangat dekat di depannya. Dia berdiri tak sampai satu langkah dari pintu.
Melihat matanya tertuju langsung ke pahaku, refleks lutut sedikit kutekuk untuk merendahkan posisiku berdiri. Berharap kemeja putih miliknya ini bisa menutupi bagian pahaku lebih banyak. Sangat memalukan, bahkan bayangan dua bukit kembarku terlihat jelas dari balik kemeja yang kukenakan. Ingat, pakaian dalamku sudah basah, aku tak mungkin mengenakannya lagi.
"Kamu sudah makan?" tanya Pak Arsen. Suaranya serak dan berat di telingaku, sedang matanya kini tertuju pada dada ke bagian dadaku.
Kepala kuanggukan menjawab pertanyaan itu, sebab bibir ini sangat sulit untuk kuangkat.
"Kalau gitu tidurlah di sini." Dia lalu pergi setelah menunjuk ranjang yang tak jauh dari tempatku.
Ah ... kutarik napas lega melihatnya menghilang di balik pintu. Tadinya aku berpikir dia akan melakukan sesuatu yang tak kuinginkan, seperti yang terjadi di ruang kerjanya tempo hari. Baguslah, ternyata dia tidak seburuk citranya yang tersebar di kantor.
Setelah kupastikan Pak Arsen tidak kembali masuk ke kamar ini, aku pun memberanikan diri menaiki ranjang. Jujur, tubuhku sangat menggigil meski sudah mandi dengan air hangat. Aku ingin tidur. Melupakan sejenak perselingkuhan Ferdy, dan berharap itu hanya mimpi buruk yang menghilang saat aku terbangun.
Tapi belum lama setelah mataku terpejam, kurasa tubuh ini semakin menggigil saja. Selimut tebal dan hangatnya kasur empuk ini sama sekali tak bisa menghilangkan getaran pada tubuhku. Bukan hanya oleh dingin air hujan tadi, tapi kurasa ini juga efek dari aku belum makan sejak kemarin malam.
Aku berbohong? Ya, aku memang sengaja berbohong pada Pak Arsen sebab sangat malu. Jika dia tahu aku belum makan hampir dua hari, bukankah itu sangat memalukan? Dia mungkin akan berpikir orang miskin sepertiku tak mampu membeli makanan.
Tapi tunggu, kenapa getaran tubuhku terasa semakin kencang? Perut yang melilit, kepala pusing dan pandangan yang mulai menggelap, aku juga merasakan pundak ini sangat berat sekarang. Sungguh ... seperti ini akan membawaku pada dunia lain yang tak pernah kudatangi sebelumnya. Apakah aku akan mati? Entahlah.
Kala aku terbangun dari tidur yang entah berapa lama, kulihat Pak Arsen tengah duduk di sisi ranjang yang kutiduri. Matanya terarah tepat ke manikku, dan sorotnya itu menunjukkan kemarahan.
"Kau bilang sudah makan?"
Oh Tuhan ... dari mana dia tahu belum makan? Dan infus yang terpasang di punggung tanganku, kapan benda itu ada di sini? Kemudian aku mulai bisa mencerna bahwa Pak Arsen memanggilkan dokter untukku.
"Makan dan minum obatmu. Aku tak mau dituduh membunuh istri orang di apartemenku." Dia mengangkat nampan berisi makanan dari atas nakas dan menyerahkannya padaku.
Kelopak mataku semakin berat kurasa. Sebulir cairan hangat mulai melunjur dari sudut mataku dan bermuara di permukaan bibir. Aku menangis. Ya, menangisi keberadaanku sekarang. Aku terserang demam oleh terpaan hujan setelah melihat suamiku berselingkuh.
"Nara, buka mulut kamu. Jangan memikirkan laki-laki sialan yang mencampakkanmu."
Apa? Kenyataan apa lagi yang baru saja kudengar ini? Pak Arsen tahu suamiku berselingkuh? Jangan bilang jika dia juga melihat Ferdy menepis tanganku dan memilih perempuan lain daripada aku. Sangat memalukan, menyakitkan, setelah kemarin aku baru saja pamer di depannya menyebut diriku istri orang.
Air mata itu seperti bola-bola kecil yang dimainkan banyak anak di dalam mataku. Mereka seperti berebut melemparkan bola kristal yang terasa asin masuk ke mulut. Tak kuasa kutahan isakan ini kala mengingat lagi wajah Ferdy yang menatap benci padaku di super market. Sangat menyakitkan.
"Jadi kamu ingin menangisinya? Baik. Aku beri waktu lima menit untuk kamu menangisi suami perselingkuh itu. Tapi setelahnya, aku akan mematahkan leher suamimu jika kau berani menitikkan air matamu di depanku!" Suara Pak Arsen sangat tegas, dingin melebihi dinginnya sudut hatiku sekarang.
****
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa baca juga novel aku Melahirkan Anak Untuk Ceo.
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic