Share

4. Wanita Lain.

"Gimana Ferdy betah di rumah kalau kamu nggak punya anak! Nara, coba kamu pikir, ya. Semua orang menikah itu tujuannya punya anak, biar suami makin sayang dan giat cari uang. Wajar Ferdy nggak pulang karna kamu terlalu banyak nuntut!" 

Itu yang dikatakan mama mertua begitu aku menanyakan keberadaan Ferdy padanya. Kedatanganku ke sini terasa sia-sia, hanya mendapat omelan sementara aku tetap tak tahu di mana Ferdy. Mama mertua juga langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mempersilakanku. 

Dua hari bukan waktu yang wajar bagi seorang suami tak pulang pada istrinya. Apa aku salah jika menanyakan pada mertua? Ferdy berkata akan pergi ke rumah mamanya, wajar jika aku datang ke sini mencarinya, kan?

Tapi, niat baikku ternyata berbuah duri yang menusuk hingga ke inti hati. 

Kupikir, pulang ke rumah hanya akan membuatku sedih memikirkan ucapan mama. Jadi kuputuskan pergi ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan. 

Tapi apa yang kudapat di sini? Suamiku, lelaki yang kucari selama dua hari ini, lelaki yang tak mengangkat telepon saat aku lelah menghubunginya sejak kemarin, lelaki itu tengah menggandeng tangan perempuan lain. Mereka bercanda, tertawa memilih beberapa barang di depan sana. 

Inikah jawaban dari segalanya?

"Fer," panggilku. Sungguh sekarang mulut ini bergetar menahan isakan yang hampir saja keluar. 

Ferdy mengalihkan wajahnya ke arahku dan dia tampak terkejut. 

Nara, kamu ngapain di sini?"

Ngapain? Pertanyaan macam apa itu? Bukankah seharusnya aku yang bertanya demikian?

"Mas, suruh istri kamu pulang. Aku nggak mau ya, dia bikin ribut di sini!" cibir wanita yang menggandeng tangan suamiku.

"Nara, kamu pulang sekarang. Kita bahas ini setelah aku pulang ke rumah."

"Nggak bisa. Kamu suamiku. Kamu harus pulang sama aku," sahutku cepat. Kuraih tangan Ferdy dari gandengan perempuan itu untuk mengajaknya pulang. Tapi sejurus kemudian, Ferdy menepisku kasar.

"Jangan bikin malu, Ra! Kamu mau semua orang tau masalah rumah tangga kita? Ingat, kamu itu nggak bisa ngasih aku anak!" sentaknya, pelan tapi cukup membuatku sangat sakit.

Apa lagi yang kupunya sekarang? Nggak ada. 

Saat kupikir hanya mama mertua lah orang yang mengusik rumah tanggaku, sekarang akhirnya aku tahu bahwa suami yang kuanggap baik selama ini juga ternyata menjadi lawanku. Dia memilih memikirkan perasaan wanita lain daripada aku yang notabe adalah istrinya. 

Salahkah aku hanya karena belum bisa memberinya anak, lantas dia bebas selingkuh?

Ya, itu salahku. Seperti kata mama mertua, aku tak punya anak yang bikin Ferdy bisa betah di rumah. Itu salahku. Hanya aku yang salah meski Ferdy sendiri pun sudah sangat jarang memberiku nafkah batin. Itu juga salahku di saat Ferdy menolak ajakanku untuk bercinta. Semua salahku. Aku lah yang salah atas segalanya, sehingga Ferdy mencari kesenangan dengan perempuan itu.

Sepanjang kakiku melangkah meninggalkan super market, air mata tak hentinya jatuh dari sudut mata. Mulut sudah tak mampu kugerakkan membuat suara. Hanya hati yang semakin remuk inilah yang bisa kurasakan, pertanda aku masih hidup. Guyuran hujan yang turun dari langit sama sekali tak membuatku ingin berteduh. 

Langkahku tak tentu arah, aku tak tahu entah sudah berapa jauh aku berjalan. Tapi satu yang baru kusadari, seseorang tengah berdiri di depanku. Dia menatapku lama sebelum mendekatiku yang menggigil menahan dingin.

"Kamu cari mati?" katanya. Kulihat gigi-giginya saling mengatup saat mengatakan itu. "Cepat masuk ke mobil!" 

"Apa pedulimu? Kamu pikir siapa mau ngatur aku?" sahutku pelan, tapi nada itu cukup dingin.

Aku benci semua orang sekarang. Aku berharap tak satu manusia pun yang melihatku dengan tatapan iba. Aku tak mau seseorang datang menolongku, memberi kalimat simpatik untuk menghibur. Apalagi yang kasar seperti ini? Aku membencinya, sampai darahku terasa mendidih di tengah dinginnya guyuran hujan.

"Kamu pikir aku peduli? Aku hanya ingin membuatmu menyesal karena berani menolakku!" balasnya. Seketika aku teringat ketika melarikan diri dari ruang kerjanya berapa hari yang lalu. "Cepat masuk, sebelum aku menjatuhkanmu dari jembatan itu."

Perkataannya sangat tegas tak terbantahkan. Aura yang dimilikinya sangat berbeda dengan bos yang kukenal saat di kantor. Wajah tegang dan rahang yang mengetat itu samar-samar kulihat di balik air hujan yang terus mengaburkan pemandangan. Dia marah, itu yang kutangkap dari sorot mata yang menyala.

"Masuk, Nara!" perintahnya. Dan sikapnya yang mendominasiku langsung melumpuhkan pertahanan. Aku mengikuti perintahnya memasuki mobil yang pintunya sudah dibuka.

Di sepanjang jalan kami tak mengatakan sepatah kata pun. Sesekali kulirik wajah Pak Arsen masih sama menegangkan seperti saat kami di terpaan hujan tadi. Bibirnya yang biasa penuh pun terlihat menipis oleh mimik bengis yang dia pamerkan. Itu tidak seperti Pak Arsen yang menciumku di kantor tempo hari. Aura menakutkan ini bahkan bisa mengalihkan pikiranku dari pengkhianatan yang dilakukan Ferdy.

"Bersihkan tubuhmu dan ganti pakaian itu." 

Selembar handuk dan kemeja kering dia lemparkan padaku, begitu kami memasuki apartemennya. Tangan Pak Arsen menunjuk pintu yang tak jauh dari kamarnya, seperti sebuah perintah yang mengatakan aku harus ke sana. Raut wajahnya sama sekali tak berubah kala aku menatapnya dari ambang pintu kamar mandi.

"Apa yang kamu tunggu? Kamu nunggu aku yang memandikanmu?" ancamnya. Dan langsung kusegerakan menghilang dari mata Pak Arsen sebelum ancamannya itu menjadi kenyataan.

***

Halo, Kak. Makasih untuk yang udah baca, ya. Kalau berkenan, tinggalkan kesan kalian saat baca novel ini, ya. 

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Umi Roziqoh
lanjut.......
goodnovel comment avatar
Lilis L
lanjut makin seru
goodnovel comment avatar
Nur Khasanah
lanjut bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status