Share

3. Jangan Seperti Murahan.

Kalimat vulgar yang terucap dari Pak Arsen, menyadarkanku seketika. Bau napasnya yang wangi sudah tak lagi ingin kuhirup lebih lama.

"Jaga ucapan Anda, Pak. Di mana sopan santun Anda terhadap istri orang," ucapku, memaksa kalimat itu keluar dari tenggorokan yang tercekat. Tubuhku mundur menghindari Pak Arsen yang juga melangkah maju. 

Dia berjalan pelan, menggiring kakiku ke belakang. Pinggulku beradu dengan sudut meja kerjanya yang membuatku terjebak dalam kungkungannya. Kedua tangannya diletakkan di atas meja untuk mengunciku.

"Nara, aku bisa memuaskanmu di ranjang," bisiknya sangat dekat. Hangat napasnya menyapu wajahku yang seketika membeku, kala Pak Arsen mempertemukan bibir kami. 

Desiran-desiran aneh mulai kurasa mempermainkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh. Jantung memompa kencang, mengalirkan darah dengar hebatnya ke seluruh penjuru. Kakiku melemas dan aku terhanyut oleh buaian bibir Pak Arsen, hingga tak sadar kapan dia melepaskan itu.

"Kau menikmatinya." 

Demi Tuhan dan segala yang ada di muka bumi, sungguh ini sangat memalukan. Aku, seorang wanita bersuami baru saja menikmati ciuman dari lelaki lain yang-- intinya dia brengsek. 

Sampai aku tiba di rumah sore harinya, bayangan itu terus berputar di kepala. Mataku yang bertabrakan dengan milik Ferdy seketika menganggap diri sangat hina. Aku merasa seakan baru saja tertangkap basah berselingkun.

"Kamu udah pulang?" tanyaku, mendudukkan diri di sebelah Ferdy. Suamiku lantas berdiri, tak ingin kami duduk bersebelahan. Tahukan dia dengan kejadian di kantor tadi? 

Nara ... jangan mengada-ada. Hanya kau dan Pak Arsen lah yang tahu tentang itu.

"Jadi gimana? Kamu udah mikirin omongan aku kemarin, kan?" 

Lagi? Itu lagi yang dia pikirkan? Astaga ... kami bahkan belum saling menyapa dan Ferdy sudah mengingatkan pertengkaran itu lagi. 

"Fer, aku nggak bisa." Ya. Bagaimana pun katanya, aku nggak akan membiarkan suamiku menikah lagi.

"Jadi kamu lebih milik cerai sama aku? Nara, tolong dong sedikit aja pikiran kamu dibuka. Kita ini udah bersama lima tahun, dan kamu mau cerai gitu aja?" Ferdy membabi buta menyerangku.

Adakah aku meminta bercerai? Oke, baik. Kemarin aku memang sempat berkata lebih baik cerai daripada dimadu. Tapi, dia serius mau cerai? 

"Bukan itu. Maksudku ... kita harus lebih berusaha. Kasih aku waktu dua bulan untuk hamil." Aku tak yakin dengan ini, tapi aku tak ingin punya madu. Setidaknya aku berusaha meminta Ferdy memberiku kesempatan. 

"Dua bulan?" kata Ferdy. "Baik. Jika dalam dua bulan kamu nggak hamil, kita harus ikuti ucapan mama aku. Kita nggak akan cerai, kamu harus bisa menerima perempuan lain di rumah ini."

Kalimatnya sangat menusuk seperti belatih yang menghujamku tepat di jantung. Aku sakit. Sangat sakit, namun berusaha mengejarnya ke dalam kamar. 

"Fer," panggilku. Dia memutar badan dan mendapatiku menatapnya dalam.

Kedua tangan kukalungkan di leher Ferdy sedang bibirku langsung menyerangnya. Kulumat habis bibir milik suamiku, dia termenung beberapa saat. Aku tak peduli dengan isi pikirannya saat ini. 

"Nara, kamu kenapa, sih?" 

Ferdy berusaha mendorongku. Aku memeluknya lebih ketat lagi untuk terus menempelkan bibir kami. Yang kutahu hanya ingin membuatnya tetap mencintaiku. 

Dorongan di dalam diriku semakin menggila meminta segera dipuaskan. Pakaian di tubuh Ferdy kulucuti untuk menemukan sebuah benda yang mulai mengeras. Aku meremas, memainkannya sebelum memasuki keintimanku. 

Aku ingin hamil. Aku ingin memberi Ferdy anak agar dia tidak menikah lagi. Bukankah untuk hamil kami harus sering melakukannya? Lantas kudorong Ferdy ke atas ranjang dan aku mengangkanginya. 

"Ra, kamu ini apa-apaan, sih?" 

Tiba-tiba Ferdy mendorongku turun dari atas tubuhnya. Dia duduk, matanya menatapku tak senang. Miliknya yang sudah berdiri tegap masih kutatap dengan kedua mata. 

"Aku harus mandi. Aku ada urusan di rumah mama," ucapnya, meraih handuk untuk menutup miliknya. 

"Tapi, Fer, kita belum siap. Ayo kita kelarin dulu, dong." Kupeluk dia sebelum beranjak ke kamar mandi, sedang tanganku kembali meraih miliknya. 

"Jangan kayak perempuan nggak bener, Ra. Kamu ini apaan, sih? Nanti aja abis aku pulang dari rumah mama." Ferdy melepaskan pelukanku dan menghilang ke kamar mandi.

Perempuan nggak benar? Dia menganggap aku perempuan nggak benar hanya karena menggodanya? Ferdy itu suamiku dan aku istrinya. Apa salah jika istri menggoda suami? Lagian, kapan aku akan mengandung jika kami tidak melakukannya? 

Sungguh ... penolakan ini jauh lebih sakit daripada keegoisannya selama ini. Aku kecewa, hatiku terluka sangat dalam. Cairan hangat kurasakan mulai membanjiri kedua pipi. 

****

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Wakhidah Dani
kasian bgt nara
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
gimana mo bisa punya anak???
goodnovel comment avatar
Teman pencerita
suami bodoh ,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status