Dalam kondisi terikat, dan semua pengepung merasa menang, tampak seulas senyum terlintas di bibir Amon. Pemuda itu kemudian mengambil napas. Dan dengan satu suitan, pedang buntung di tangannya melesat ke atas, lepas dari lilitan benang tak terlihat. Pedang terhenti di udara, lalu menukik ke bawah dan siap menghantam tubuh Amon.
Amon menarik napas kembali, sebelum membuat lesakan untuk melenting dengan tubuh penuh ikatan. Lima orang bercadar kaget karena tubuh mereka terbetot ke depan akibat gerakan Amon yang tiba-tiba.
Kaki Amon bergerak, menendang ujung pedang buntungnya yang sudah siap sampai ke bawah. Pedang itu berubah arah akibat tendangan Amon, bergerak menyerang dengan cepat ke salah satu orang bercadar. Melihat kilau pedang yang melesat mengarah langsung, satu penyerang Amon panik.
Dia segera memutar tangannya untuk menghalau pedang. Benang yang dipegangnya bergerak tidak teratur dan pegangan merenggang. Amon segera mengerahkan tenaga dalamnya, benang terlepas, putus oleh tenaga dalam. Keempat orang yang masih berkonsentrasi pada benang langsung terdorong ke belakang karena ledakan kecil akibat imdok Amon. Salah satu orang bercadar yang diserang pedang Amon berhasil menghindar, pedang menghantam pohon dan menancap dengan dalam.
Amon melompat dengan cepat. para penyerang Amon segera memperbaiki posisi.
“Serang!” perintah satu suara di kegelapan.
Siulan terdengar lagi, dan ke empat orang yang tersisa menyerang Amon.
Amon bergerak menangkis dengan kaki dan tangannya. Sambil menangkis, Amon mengambil jarak, melompat untuk mendekati pedangnya. Orang kelima ikut bergabung. Benang berseliweran ke mana-mana, Amon menghindar dengan manis, dan satu tangannya menarik pedang miliknya yang tertancap di pohon. Pedang berhasil ditarik, dengan cepat Amon memotong benang yang menyerangnya. Benang-benang itu segera putus.
Amon segera melenting dengan lebih cepat, membabat para penyerangnya, lalu pedang buntungnya membelah perut mereka. Cepat, tak terlihat. Darah bertebaran ditengah kegelapan malam.
Amon melenting lagi, kali ini menjauh dan mendarat dengan ringan, pedang penuh darah, dan kelima orang tersebut roboh.“Amatiran!” Amon meludah ke tanah. berjalan mengambil sarung pedang dan menyarungkannya. Kinan dan Limey mau tidak mau tercengang melihat pertempuran tersebut.
“L! Bocah, kemari!” Amon memanggil dengan nada seenaknya. Kinan merasa geram, tapi juga takjub. Sebelumnya dia sudah melihat kehebatan Amon, tapi membunuh lima orang dengan sekejab, itu luar biasa.
Limey dan Kinan mendekat, Amon berjalan mengambil butelan miliknya, melempar pada Diana. Limey menangkap dan mundur karena kaget.
“Kita pergi secepatnya dari sini!” seru Amon, “Bisa jadi komplotan mereka masih ada, repot bila menghadapi yang seperti ini terus menerus!”
Limey dan Kinan berpandangan.“Cepat! kalian lamban sekali sih!” Amon sudah berteriak tidak sabar. Kinan dan Limey terpaksa mengejar Amon dalam kegelapan. Mereka takut juga harus berada dalam tempat gelap dan hanya berdua saja, bisa saja yang datang orang jahat, atau paling buruk hewan buas.
**
Keluar dari hutan hari sudah menjelang fajar. Warna langit sudah mulai terlihat menyala dan berwarna biru tua. Amon mendesah, lega namun juga merasa lelah. Semalaman ketiganya menempuh perjalanan ditengah malam. Akhirnya mereka bertemu desa setelah hari mulai terlihat semakin terang. Tempat tersebut terlihat ramai, sepertinya itu adalah hari pasar di desa tersebut.“Ramai sekali.” Ucap Kinan terpesona.
“Mungkin ini hari pasar tempat ini.” jawab Amon, “kebetulan, kita membutuhkan beberapa barang. Terutama untuk kalian berdua. Kalian perlu memakai baju baru.” Ucap Amon yang kemudian celingukan mencari satu stan khusus yang menjual pakaian.
Kedua gadis tersebut mengekori Amon di belakang. Namun, mata Kinan tampak belanja di sekitarnya. Melihat kiri dan kanan dan terpesona oleh beberapa hal yang menarik. Buah yang dijajakan, barang pecah belah, kursi dan rotan. Bahkan senjata pun diperdagangkan. Karena tertarik, Kinan menarik tangan Limey untuk ikut melihat kiri dan kanan. Mereka berdua berjalan lamban-lamban dan sedikit berjarak dari Amon.
Amon tampak berdiri di satu stan pakaian, matanya jelalatan memandang pakaian wanita aneka warna, mencari kira-kira pakaian yang pantas untuk kedua perempuan yang ikut dengannya, kalau bisa barangnya harus murah. Lalu, matanya tertumbuk pada dua potong pakaian, dengan warna norak dan tertarik. Dia lalu menawar empat potong pakaian wanita.
“1000 Zeni, aku tidak mau membayar lebih dari itu!” seru Amon.
“1200, kalau tuan tidak mau, silahkan cari ditempat lain!” si pedagang ngotot. Amon kesal, lalu kemudian mengeluarkan uangnya, “1100 Zeni, enggak kurang-enggak lebih!”
Kini Kinan dan Limey sudah berdiri disamping Amon, memandang ke arah Amon yang tampak alot menawar dagangan si penjual pakaian.
Si pedagang sewot, tapi diambil juga uang yang dilempar Amon. “Baiklah, penglaris!” serunya dan Amon mengambil empat potong baju tersebut, lalu memberikan pada Kinan dan Limey. Kedua gadis itu saling berpandangan. Kinan merasa baju berwarna ungu tersebut norak sekali.
“Apa nggak ada warna lain?” tanya Kinan sambil mematut baju tersebut pada tubuhnya, lalu merasa konyol sekali bila dia mengenakan pakaian tersebut.
“Cerewet, pakai saja. baju lain mahal!” seru Amon sambil berjalan cepat melihat tempat lain.
Kinan manyun, lalu kemudian menoleh ke arah adiknya yang berjalan di dekatnya, dengan berbisik Kinan mengeluh, “Padahal waktu pertama kali ketemu, ramahnya minta ampun….menyebalkan, sepertinya dia Cuma ramah sama yang kantongnya tebal!!”
Limey tersenyum tipis, dan memilih untuk tidak menanggapi keluhan kakaknya.
Pasar itu ramai. Ada penjual hewan, buah, daging, pakaian, pernak pernik, pedang, tombak, peramal, makanan dan pedagang manusia.
“Lihat tombak ini hebat, bisa menembus tameng apa pun!” seru penjual tombak.
“Ayo bu, buahnya, segar….silahkan, cuma 150 Zeni 1 kilo.” Teriak penjual yang lain.
Limey dan Kinan berjalan mengikuti Amon yang tidak menengok ke belakang. Mendadak tangan Limey disentuh seseorang. Limey terhenyak, dia menoleh dan melihat seorang tua memegang tangannya.
“Indahnya tangan ini! Mari nona, aku akan meramalmu!” seru pak tua tersebut.
“Maaf, tidak usah,” Limey mencoba menolak, tapi tangannya tetap dipegang laki-laki tua itu.
“Tidak mahal nona, Cuma 50 Zeni sekali ramal!” pak tua itu memaksa.
“Maaf…aku,” belum selesai berbicara, mendadak Amon berbalik dan segera menarik lengan Limey hingga pegangan pak tua tersebut terlepas. Amon memandang galak ke arah Pak Tua tersebut.
“Jangan macam-macam dengan budakku, pak Tua!” kecam Amon. Kinan yang ikut bergerak di dekat Amon kaget mendengar ucapan ‘budak’ pada Limey, air muka Kinan berubah tidak suka.
“Nona ini budak? Sungguh benarkah? Sayang sekali kalau begitu.” Pak tua tersebut melepaskan pegangan pada Limey lalu berucap lagi, “Nona, kamu punya takdir yang luar biasa.” Ucap Pak tua tersebut. Ucapannya membuat Limey mengerutkan kening.
“Maksud bapak?” tanya Limey.
“Garis wajahmu, ah, aku juga harus melihat garis tanganmu Nona. Tapi wajahmu menunjukkan kamu akan menemukan banyak hal-hal besar dalam hidupmu.”
Amon menepis dengan tangannya terlihat kesal, “Jangan dengarkan omongan bapak ini. dia Cuma pengen uangmu,” ucap Amon berbisik, “dan kalian tidak punya uang.” Pungkasnya.
Lelaki tua itu terlihat mengusap-usap janggutnya, lantas kemudian memandang ke arah Amon, “Dan tuan juga, saya meramalkan, kamu dan Nona, kelak kalian berdua akan mengalami hal-hal besar yang membuat kalian berada dalam pilihan sulit.”
Wajah Amon berubah, matanya menunjukkan perasaan tidak suka akan ucapan lelaki tua itu, dengan kasar, diiringi kemarahan sesaat, Amon kemudian menarik kerah laki-laki tua itu, “Jangan ngomong sembarangan pak tua!” kecam Amon mengancam.
Pak tua tersebut tersenyum, lalu kemudian menepis tangan Amon perlahan. Amon tersentak, dia merasakan ada desakan yang kuat yang membuat tangannya menjadi lemah dan tidak berdaya. Lalu Pak tua itu pergi.Amon berdiri diam, tangannya yang disentuh oleh pak tua itu terasa kesemutan. Itu, aliran tenaga dalam, imdok tingkat tinggi. Walau sekejab, tapi aliran itu mengacaukan pembuluh darah Amon. Amon terkesiap, orang tua itu ternyata bukan orang sembarang.Sial! Bahkan di desa kecil ini ada jagoan tak bernama. Sebaiknya aku harus segera bergegas keluar dari tempat ini. gumam Amon dalam hati. Setelahnya, pemuda itu segera menarik tangan Limey. “Kita segera bergegas pergi dari tempat ini!” serunya.Limey yang ditarik Amon tampak bingung, namun Amon sudah membetotnya menjauh dari keramaian. Kinan pun mengekori dari belakang. Sebenarnya kinan merasa kesal, terlebih tadi Amon sempat menyebut adiknya Budak, namun Kinan tidak sempat menyemburkan kema
“Teh kotak, coklat trus apalagi ya…” Kinan sibuk memilih-milih snack dan memasukkannya ke dalam keranjang, “Mey, kamu mau beli apa?”“Kita nanti ketempat buah-buahan Kan Kak? aku mau beli anggur. Aduh, kakak dari tadi masukinnya cemilan melulu, gendut nanti!” cetus Limey ketika melihat betapa belanjaan mereka didominasi makanan kecil pilihan Kinan.“Ah, iya. Kamu kan suka anggur. Yok, sekarang aja, sekalian di kilo.” Kinan segera meraih lengan Limey dan menariknya menuju tempat buah-buahan, sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan komentar Limey yang sakartis.Ketika kedua anak itu sibuk memilih-milih anggur yang hendak mereka kilo di mesin khusus, mendadak terdengar suara ledakan tidak jauh dari tempat mereka. Keduanya kaget, tempat itu mengguncang, seperti gempa. Lalu, api mendadak menjilat-jilat pelataran supermarket tersebut. Suara-suara ribut mulai terdengar, bergegas orang-orang berlarian men
Limey menunjuk tangannya, “Belum yakin juga. tapi kita coba ke utara.”“Apa itu ke arah keluar? Bagaimana kamu tahu utara atau selatan?” tanya Kinan heran.Limey menghela napas, lalu berkata, “ Kita lihat sarang laba-laba saja.”“Kenapa dengan sarang laba-laba?”“Laba-laba suka membuat sarang menghadap selatan. Kita ambil arah sebaliknya.” Terang Limey kemudian.“Wow, aku baru tahu…” desis Kinan. Keduanya kemudian memandangi sekitar, mencari sarang laba-laba ditengah hutan dan rerumputan tinggi.Sekitar beberapa menit kemudian, mereka berhasil menemukan seekor laba-laba tengah berdiri dengan gagah ditengah sarang miliknya. Melihat hal tersebut, kemudian Kinan dan Limey mengambil arah sebaliknya dari arah sarang laba-laba itu.“Kamu yakin memilih utara, ad
Kinan merasa, kekuatannya tidak sanggup menyarangkan pukulan pada laki-laki berewok tersebut. Dan, tendangan terakhir dari laki-laki itu telak menghantam iga kiri Kinan, kontan tubuh Kinan terbanting ke samping sambil meringkuk kesakitan. Pukulan bagai beton raksasa tersebut memaksa Kinan terbaring dan melenguh kesakitan tanpa bisa kembali berdiri dengan benar.“Kak!!” Limey berlari memburu Kinan, memeriksa keadaan Kinan. Cidera dalam, agak memar, tapi tidak sampai pendarahan dalam.Berpikir….berpikir…segera berpikir! Limey memacu kerja otaknya, memikirkan cara agar lolos dari mulut buaya. Tapi, dengan keadaan Kinan yang terbaring tidak berdaya di tanah, Limey sudah tidak tahu lagi mesti bagaimana. Kini si brewok tersebut menghampiri Kinan yang masih meringkuk dan berusaha berdiri, tapi dengan kejam laki-laki itu menendang Kinan hingga jatuh tersungkur dan pingsan. Limey ingin menjerit, tapi matanya awas melihat 2 o
“Hei—di dunia ini tidak ada yang gratis, Nona… lima ribu ditambah dua ribu, jadi tujuh ribu Zeni. Aku ingin uang kontan! Bagaimana?” jawab Amon masih tidak bergerak di tempat. Limey tidak sanggup lagi menahan Kinan yang terlihat kepayahan dengan napas menderu, Limey mengangguk, “Baik, aku bayar. Tapi tolong kakakku….” “Nah, begitu!!” seru Amon berseri yang langsung memegang tubuh Kinan yang hampir ambruk karena tidak kuat berdiri. “Dudukkan dia!” ucap Amon yang segera dipatuhi Limey. Kinan di dudukkan dan disandarkan pada sebatang pohon. Amon memeriksa luka Kinan dan terutama kakinya yang bengkak, biru dan patah. Beberapa saat kemudian meraba kaki Kinan dan menariknya sehingga Kinan menjerit. Terdengar bunyi krak! Amon mengangguk. “Tulangnya sudah tersambung lagi. tinggal pendarahan dalam saja. Dengan obat, memarnya akan hilang beberapa hari. Tapi….” Amon memeriksa nadi
Limey tersenyum, “Saya tahu, maka itu saya akan membayarnya dengan sesuatu yang jauh lebih menguntungkan buat anda?” tawar gadis bermata biru itu. Amon tersenyum, agak mengejek, “Apa? kamu akan membayar dengan tubuhmu?” tanya Amon setengah mengejek. “Kau!!” Kinan hampir berdiri, tapi Limey yang ada di dekatnya mencegah dengan gerakan tangannya. “Jangan halangi aku Mei, dia sudah bicara kurang ajar sama kamu!!” “KAK!” mendadak Limey menyebut kata kakak yang membuat gerakan Kinan lagi-lagi terkunci. “tapi Mei….” Limey mengeleng, “Tenang…..” ucapnya perlahan. Amon memperhatian hal tersebut, tersenyum. Hebat juga, pikir Amon. Ketenangan Limey ketika diejek tidak menghilangkan kewarasan otaknya. Amon semakin tertarik dengan kedua bersaudari tersebut. “Memangnya kau mau membayarku dengan apa?” tanya Amon lagi dengan angkuh.
“Salah satu pulau di wilayah sini.” Jawab Kinan segera. Mendadak Amon menghentikan lagi langkahnya, dan kemudian memutar tubuhnya kembali menghadap ke arah dua saudara tersebut, matanya menyipit tidak suka. “Kamu anggap aku bodoh ya? Mau coba-coba berbohong padaku!” Amon mendelik, “sekedar pemberitahuan, itu—“ tunjuk Amon pada mata Limey, Limey mengerutkan keningnya, bingung. “Memangnya ada manusia yang punya mata berwarna seperti itu? Apa kalian monster, atau jangan-jangan penghuni hutan ini?” Kinan tidak suka sebutan terakhir yang diucapkan Amon, dia merasa sebutan itu seakan mengejek tentang Limey. Limey menghela napas, “Apa benar tidak pernah ada orang yang bermata sepertiku?” tanyanya dengan heran. “Begitulah…” Limey melirik ke arah Kinan sekilas, lalu tersenyum simpul, “Mungkin tuan benar, saya adalah siluman yang tersesat di hutan ini.” &n
“Itu masalahnya…” Limey menghela napas, “Karena itu, kita tidak bisa pulang, kak.” Kinan sekali lagi mengacak rambutnya, “AAARG, tahu begitu tadi harusnya aku ambil lagi kuncinya!!!” Limey tersenyum, merasa geli melihat gaya kesal Kinan. “Tapi itu nggak mungkin kak. Mana kita sempat kepikiran akan seperti ini jadinya. Aku malah sempat berpikir akan mati kebakar.” “Sialan! Kalau saja enggak ada kebakaran itu?! kalau aja nggak ada ledakan brengsek itu, kita pasti udah senang-senang!!!” Kinan segera bangkit, mengepal tangannya dengan emosi. Mendadak pintu menjeblak terbuka. Amon masuk dengan tampang senang. “Kita ada kerjaan!” seru Amon. “Kerjaan?” Limey bertanya heran. “Ya, kerjaan, dan latihan buatmu bocah!” “Jangan panggil aku bocah!!” Amon mendekat ke arah Kinan, lalu mengacak-a