Share

Bab 4 Ramalan

Dalam kondisi terikat, dan semua pengepung merasa menang, tampak seulas senyum terlintas di bibir Amon. Pemuda itu kemudian mengambil napas. Dan dengan satu suitan, pedang buntung di tangannya melesat ke atas, lepas dari lilitan benang tak terlihat. Pedang terhenti di udara, lalu menukik ke bawah dan siap menghantam tubuh Amon. 

Amon menarik napas kembali, sebelum membuat lesakan untuk melenting dengan tubuh penuh ikatan. Lima orang bercadar kaget karena tubuh mereka terbetot ke depan akibat gerakan Amon yang tiba-tiba. 

Kaki Amon bergerak, menendang ujung pedang buntungnya yang sudah siap sampai ke bawah. Pedang itu berubah arah akibat tendangan Amon, bergerak menyerang dengan cepat ke salah satu orang bercadar. Melihat kilau pedang yang melesat mengarah langsung, satu penyerang Amon panik. 

Dia segera memutar tangannya untuk menghalau pedang. Benang yang dipegangnya bergerak tidak teratur dan pegangan merenggang. Amon segera mengerahkan tenaga dalamnya, benang terlepas, putus oleh tenaga dalam. Keempat orang yang masih berkonsentrasi pada benang langsung terdorong ke belakang karena ledakan kecil akibat imdok Amon. Salah satu orang bercadar yang diserang pedang Amon berhasil menghindar, pedang menghantam pohon dan menancap dengan dalam. 

Amon melompat dengan cepat. para penyerang Amon segera memperbaiki posisi.

“Serang!” perintah satu suara di kegelapan.

 Siulan terdengar lagi, dan ke empat orang yang tersisa menyerang Amon.

Amon bergerak menangkis dengan kaki dan tangannya. Sambil menangkis, Amon mengambil jarak, melompat untuk mendekati pedangnya. Orang kelima ikut bergabung. Benang berseliweran ke mana-mana, Amon menghindar dengan manis, dan satu tangannya menarik pedang miliknya yang tertancap di pohon. Pedang berhasil ditarik, dengan cepat Amon memotong benang yang menyerangnya. Benang-benang itu segera putus. 

Amon segera melenting dengan lebih cepat, membabat para penyerangnya, lalu pedang buntungnya membelah perut mereka. Cepat, tak terlihat. Darah bertebaran ditengah kegelapan malam.

Amon melenting lagi, kali ini menjauh dan mendarat dengan ringan, pedang penuh darah, dan kelima orang tersebut roboh.

“Amatiran!” Amon meludah ke tanah. berjalan mengambil sarung pedang dan menyarungkannya. Kinan dan Limey mau tidak mau tercengang melihat pertempuran tersebut.

“L! Bocah, kemari!” Amon memanggil dengan nada seenaknya. Kinan merasa geram, tapi juga takjub. Sebelumnya dia sudah melihat kehebatan Amon, tapi membunuh lima orang dengan sekejab, itu luar biasa.

Limey dan Kinan mendekat, Amon berjalan mengambil butelan miliknya, melempar pada Diana. Limey menangkap dan mundur karena kaget.

“Kita pergi secepatnya dari sini!” seru Amon, “Bisa jadi komplotan mereka masih ada, repot bila menghadapi yang seperti ini terus menerus!”

Limey dan Kinan berpandangan. 

“Cepat! kalian lamban sekali sih!” Amon sudah berteriak tidak sabar. Kinan dan Limey terpaksa mengejar Amon dalam kegelapan. Mereka takut juga harus berada dalam tempat gelap dan hanya berdua saja, bisa saja yang datang orang jahat, atau paling buruk hewan buas.

**

Keluar dari hutan hari sudah menjelang fajar. Warna langit sudah mulai terlihat menyala dan berwarna biru tua. Amon mendesah, lega namun juga merasa lelah. Semalaman ketiganya menempuh perjalanan ditengah malam.

 

Akhirnya mereka bertemu desa setelah hari mulai terlihat semakin terang. Tempat tersebut terlihat ramai, sepertinya itu adalah hari pasar di desa tersebut. 

“Ramai sekali.” Ucap Kinan terpesona.

“Mungkin ini hari pasar tempat ini.” jawab Amon, “kebetulan, kita membutuhkan beberapa barang. Terutama untuk kalian berdua. Kalian perlu memakai baju baru.” Ucap Amon yang kemudian celingukan mencari satu stan khusus yang menjual pakaian.

Kedua gadis tersebut mengekori Amon di belakang. Namun, mata Kinan tampak belanja di sekitarnya. Melihat kiri dan kanan dan terpesona oleh beberapa hal yang menarik. Buah yang dijajakan, barang pecah belah, kursi dan rotan. Bahkan senjata pun diperdagangkan. Karena tertarik, Kinan menarik tangan Limey untuk ikut melihat kiri dan kanan. Mereka berdua berjalan lamban-lamban dan sedikit berjarak dari Amon.

Amon tampak berdiri di satu stan pakaian, matanya jelalatan memandang pakaian wanita aneka warna, mencari kira-kira pakaian yang pantas untuk kedua perempuan yang ikut dengannya, kalau bisa barangnya harus murah.  Lalu, matanya tertumbuk pada dua potong pakaian, dengan warna norak dan tertarik. Dia lalu menawar empat potong pakaian wanita.

“1000 Zeni, aku tidak mau membayar lebih dari itu!” seru Amon.

“1200, kalau tuan tidak mau, silahkan cari ditempat lain!” si pedagang ngotot. Amon kesal, lalu kemudian mengeluarkan uangnya, “1100 Zeni, enggak kurang-enggak lebih!”

Kini Kinan dan Limey sudah berdiri disamping Amon, memandang ke arah Amon yang tampak alot menawar dagangan si penjual pakaian.

Si pedagang sewot, tapi diambil juga uang yang dilempar Amon. “Baiklah, penglaris!” serunya dan Amon mengambil empat potong baju tersebut, lalu memberikan pada Kinan dan Limey. Kedua gadis itu saling berpandangan. Kinan merasa baju berwarna ungu tersebut norak sekali.

“Apa nggak ada warna lain?” tanya Kinan sambil mematut baju tersebut pada tubuhnya, lalu merasa konyol sekali bila dia mengenakan pakaian tersebut.

“Cerewet, pakai saja. baju lain mahal!” seru Amon sambil berjalan cepat melihat tempat lain.

Kinan manyun, lalu kemudian menoleh ke arah adiknya yang berjalan di dekatnya, dengan berbisik Kinan mengeluh, “Padahal waktu pertama kali ketemu, ramahnya minta ampun….menyebalkan, sepertinya dia Cuma ramah sama yang kantongnya tebal!!”

Limey tersenyum tipis, dan memilih untuk tidak menanggapi keluhan kakaknya.

Pasar itu ramai. Ada penjual hewan, buah, daging, pakaian, pernak pernik, pedang, tombak, peramal, makanan dan pedagang manusia.

“Lihat tombak ini hebat, bisa menembus tameng apa pun!” seru penjual tombak.

“Ayo bu, buahnya, segar….silahkan, cuma 150 Zeni 1 kilo.” Teriak penjual yang lain.

Limey dan Kinan berjalan mengikuti Amon yang tidak menengok ke belakang. Mendadak tangan Limey disentuh seseorang. Limey terhenyak, dia menoleh dan melihat seorang tua memegang tangannya.

“Indahnya tangan ini! Mari nona, aku akan meramalmu!” seru pak tua tersebut.

“Maaf, tidak usah,” Limey mencoba menolak, tapi tangannya tetap dipegang laki-laki tua itu.

“Tidak mahal nona, Cuma 50 Zeni sekali ramal!” pak tua itu memaksa.

“Maaf…aku,” belum selesai berbicara, mendadak Amon berbalik dan segera menarik lengan Limey hingga pegangan pak tua tersebut terlepas. Amon memandang galak ke arah Pak Tua tersebut.

“Jangan macam-macam dengan budakku, pak Tua!” kecam Amon. Kinan yang ikut bergerak di dekat Amon kaget mendengar ucapan ‘budak’ pada Limey, air muka Kinan berubah tidak suka.

“Nona ini budak? Sungguh benarkah? Sayang sekali kalau begitu.” Pak tua tersebut melepaskan pegangan pada Limey lalu berucap lagi, “Nona, kamu punya takdir yang luar biasa.” Ucap Pak tua tersebut. Ucapannya membuat Limey mengerutkan kening. 

“Maksud bapak?” tanya Limey.

“Garis wajahmu, ah, aku juga harus melihat garis tanganmu Nona. Tapi wajahmu menunjukkan kamu akan menemukan banyak hal-hal besar dalam hidupmu.”

Amon menepis dengan tangannya terlihat kesal, “Jangan dengarkan omongan bapak ini. dia Cuma pengen uangmu,” ucap Amon berbisik, “dan kalian tidak punya uang.” Pungkasnya.

Lelaki tua itu terlihat mengusap-usap janggutnya, lantas kemudian memandang ke arah Amon, “Dan tuan juga, saya meramalkan, kamu dan Nona, kelak kalian berdua akan mengalami hal-hal besar yang membuat kalian berada dalam pilihan sulit.”

Wajah Amon berubah, matanya menunjukkan perasaan tidak suka akan ucapan lelaki tua itu, dengan kasar, diiringi kemarahan sesaat, Amon kemudian menarik kerah laki-laki tua itu, “Jangan ngomong sembarangan pak tua!” kecam Amon mengancam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status