Part 6 Kehilangan
"Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan.
"Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran.
"Orangnya masih di depan."
Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana.
"Assalamu'alaikum," sapaku.
Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam."
"Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya.
"Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?"
"Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku."
"Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan
Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku. Perlahan tangan kutarik. Mas Ilham tersenyum meski matanya memerah. "Sejak kapan, Mas, di sini?" "Kira-kira setengah jam yang lalu. Mas kaget waktu dikabari sama Miya. Kenapa enggak ngasih tahu Mas kalau kamu hamil, Vi?" Benar saja, pasti Miya yang memberitahunya. "Enggak apa-apa," jawabku singkat. Padahal aku sendiri tidak tahu kalau tengah mengandung. Aku berusaha bangun dan duduk. Kubiarkan Mas Ilham membantuku. Rasa nyeri dan lemas masih terasa. Lagi-lagi dalam kondisi kecewa begini, aku masih membutuhkannya. "Maafkan Mas." Digenggamnya kedua tanganku. Netranya menatap lekat. "Karena keegoisan Mas, kita kehilangan calo
Dokter wanita berperawakan sedang itu tersenyum saat masuk ruang perawatanku. Di belakangnya ada suster yang mengikuti."Selamat pagi, Bu Vi Ananda. Selamat pagi Pak Ilham," sapanya ramah."Pagi, Dok," jawabku hampir bersamaan dengan Mas Ilham."Sudah lebih baik, 'kan, sekarang? Jangan lupa di minum obatnya, Bu. Biar cepat pulih dan lekas dapat dedek lagi."Aku tersenyum menanggapi doa dokter setengah baya itu.Hanya sebentar dokter itu visit, karena kondisiku secara medis sudah membaik. Tentang hati? Hanya aku yang tahu. Dokter dan perawat itu pasti menilai kegundahan kami hanya karena baru saja kehilangan calon anak.Mas Ilham keluar untuk membereskan pembayaran. Ponselnya yang tertinggal di meja berpendar. Aku menahan diri untuk tidak melihat siapa yang menelepon. Cukuplah, aku tidak harus tahu lagi.Aku membenahi jilbab milik Miya yang dibawakan kemarin. Mas Ilham menunggu sambil duduk di depanku."Mas, enggak
Part 8 Pertemuan Tak Sengaja Kadang aku tidak tahu apa yang diinginkan hatiku selain berpisah dengan damai. Sesekali mengamuk misalnya, menemui perempuan itu dan menjambak rambut atau sekedar memaki. Aku justru pergi dan memberi kesempatan kepada suami untuk berkomunikasi. Ketika perempuan itu menghubungi. Ternyata aku bisa selandai ini. Aku membuat teh di dapur, Mas Ilham menyusul dan berdiri di sebelah. Sepertinya dia tidak menerima panggilan itu. "Mas masih ada pekerjaan dengannya. Setelah proyek ini selesai, Mas akan meminta pihak PT Adi Tama untuk mengirim orang lain mengurus pekerjaan dengan kami." "Ini tehnya, Mas." Aku menggeser gelas teh di hadapan Mas Ilham. Tanpa menanggapi dengan apa yang baru saja dikatakannya. Terserah. Bukan apa-apa, misalnya aku tidak mengambil sikap begini. Bisa jadi dia masih terlena dengan
Part 9 Pasca Keguguran Setelah pulih dari keguguran, aku mulai bangkit. Membahagiakan diriku sendiri dan orang-orang yang tiap hari berinteraksi denganku di rumah dan toko. Tubuhku mulai pulih. Aku sempatkan olahraga tiap pagi, meski hanya beberapa menit saja. Aku juga sering mengantar pesanan bersama Pak Nardi. Dari seorang ibu rumah tangga, sekarang aku mulai berperan penting di toko kue ibu. Kenalan juga bertambah, terutama para pelanggan yang kebanyakan dari orang kantoran. Bahkan ada yang menawarkan pekerjaan kantor, setelah mereka tahu aku seorang sarjana ekonomi. Namun, aku lebih menikmati peranku sekarang. Sebagai ibu yang bisa bekerja sambil mengawasi anak. Tiap hari ada saja jadwalku ikut mengantar pesanan sekaligus mengantar Syifa sekolah. Mas Ilham masih seperti biasa, datang seminggu dua kali ke rumah. Kami berbincang seperlunya, karena aku memang memilih s
Part 9 Dua Pria Dua pria itu saling memandang tajam. Sikap mereka tidak seperti rekan kerja, melainkan seperti dua orang yang saling bermusuhan. Entah karena ada aku di antara mereka atau mengenai pekerjaan. Mas Ilham mendekat dan berdiri tepat di depanku. "Mau pulang sekarang?" "Ya." Pak Alex memanggil resepsionis yang duduk di belakang meja sedang heran memandang kami. Dia meminta wanita itu untuk menyelesaikan pembayaran denganku. Setelah semua beres, Pak Alex meminta wanita itu pergi sebentar. Tinggallah kami bertiga. "Sayang banget berlian sebaik ini kamu tukar dengan kerikil di pinggir jalan. Aku saja yang pernah liar bisa membedakan mana permata mana kaca," bisik Pak Alex lirih pada Mas Ilham. Rahang Mas Ilham tampak mengeras, dia memandang tajam pada Pak Alex. Untung saja para karyawan yang baru saja selesai istirahat dan makan
Mobil masuk halaman rumah Mama dan langsung menuju garasi. Tampak lampu di ruang tamu masih menyala. Tidak lama kemudian beliau membuka pintu. Mas Ilham membopong Syifa dan kuikuti dari belakang. Mama memelukku erat. Beliau tampak berbinar melihatku lagi setelah dua bulan tidak bertemu. Kuberikan titipan Ibu pada beliau. "Ham, tidurkan Syifa di kamar Mama saja. Mama kangen pengen memeluknya," kata Mama pada Mas Ilham. Aku hanya memandang suamiku yang melangkah masuk langsung ke kamar belakang. "Apa kabar, Ma?" tanyaku saat kami duduk di sofa ruang tamu. "Baik, bagaimana toko ibumu, makin rame?" "Alhamdulillah, iya, Ma. Banyak pesanan akhir-akhir ini." "Syukurlah!" "Kata Ilham, kamu habis keguguran?" Aku mengangguk. "Ilham baru c
Kami duduk berhadapan di sebuah kafe. Aku pesan jus melon sedangkan Nura memilih jus jambu. Dini sedang melihat YouTube di bangku depan sendirian. Nura yang memintanya ke sana agar tidak mendengar apa yang kami bicarakan. Tadi bocah perempuan itu menanyakan Syifa. Kami memang sudah lama tidak pernah liburan bareng, sejak kucium gelagat kecurangan suami dan mantan kekasihnya itu. Padahal dulu kami sering melakukan apa pun bersama-sama ketika bertemu di rumah Mama. "Enggak kerja, ya, hari ini?" tanyaku membuka percakapan. Tanpa panggilan 'Mbak' seperti biasa aku memanggilnya. Usia kami selisih lima tahun. "Aku ngambil cuti tahunanku, karena ngantar Dini periksa ke dokter gigi." Hening. Nura minum jus jambunya. "Maaf, Vi. Jika hubungan kita akhirnya memburuk seperti ini." Nura membuka suara. Aku tersenyum tipis sambil mengaduk jus di gelas. Kalau bol
Hampir satu setengah jam aku menunggu di teras rumah Mas Ilham. Tapi dia belum pulang juga. Aku ingin mengambil jaket tebalku dan sneaker. Daripada beli lagi, aku pergi cuma tiga hari. Lagian barang-barang itu masih baru semua. Sayang kalau tidak dipakai. Aku memang sengaja tidak meneleponnya lebih dulu. Aku sampai sana setengah jam sebelum dia pulang kantor. Tapi ini sudah lewat biasa dia pulang. Mendung gelap juga bergelayut manja di angkasa. Seperti tidak sabar untuk mengguyur bumi. Mungkin setelah aku tidak lagi tinggal bersamanya, dia lebih bebas melakukan apa saja. Saat aku hendak menelepon taksi online, mobil Mas Ilham memasuki garasi. Dia tersenyum saat turun dari kendaraan. "Sudah lama menunggu?" tanya Mas Ilham sambil mendekat. "Lumayan lama. Aku ingin mengambil jaket dan sneaker." "Memangnya kamu mau ke mana?"