Hampir satu setengah jam aku menunggu di teras rumah Mas Ilham. Tapi dia belum pulang juga. Aku ingin mengambil jaket tebalku dan sneaker. Daripada beli lagi, aku pergi cuma tiga hari. Lagian barang-barang itu masih baru semua. Sayang kalau tidak dipakai.
Aku memang sengaja tidak meneleponnya lebih dulu. Aku sampai sana setengah jam sebelum dia pulang kantor. Tapi ini sudah lewat biasa dia pulang. Mendung gelap juga bergelayut manja di angkasa. Seperti tidak sabar untuk mengguyur bumi.
Mungkin setelah aku tidak lagi tinggal bersamanya, dia lebih bebas melakukan apa saja.
Saat aku hendak menelepon taksi online, mobil Mas Ilham memasuki garasi. Dia tersenyum saat turun dari kendaraan.
"Sudah lama menunggu?" tanya Mas Ilham sambil mendekat.
"Lumayan lama. Aku ingin mengambil jaket dan sneaker."
"Memangnya kamu mau ke mana?"
Aku menahan dada Mas Ilham dengan kedua tangan. Membuat jarak di antara kami. Ini penolakan pertama yang kulakukan secara terang-terangan tanpa alasan syar'i. Berdosa? Sudah pasti. Dia masih suamiku, yang telah berusaha meminta maaf dan belum pernah menjatuhkan talaknya. Dia masih punya hak 'memilikiku' kapan pun dia mau. Kami saling pandang. "Kenapa?" Dia bertanya. "Jangan sekarang." Aku mendorong tubuhnya perlahan. Kami sama-sama duduk. Kurapikan rambutku dengan jemari. Ada kekecewaan tampak jelas di wajahnya. Harapan untuk merayakan anniversary kami malam ini kupatahkan begitu saja. "Apa yang Mas lakukan dengan Nura, ketika diam-diam berkencan di belakangku?" Pertanyaan pelan itu membuat Mas Ilham kaget dan menoleh. "Kami tidak melakukan apa-apa." Aku tersenyum getir.&nb
"Assalamu'alaikum, Bu." "W*'alaikumsalam, Nduk. Sudah Salat Maghrib apa belum?" "Baru selesai ini. Syifa nakal enggak hari ini, Bu?" "Enggak, ya nanya biasa saja. Sekarang lagi nemeni Budhe Surti bikin kue bolu. Besok ada pesanan mendadak." "Maaf, aku enggak bisa bantu malah nyusahin ibu saja." "Jangan berpikir seperti itu. Ibu hanya ingin kamu baik-baik saja." "Ternyata aku enggak sehebat, Ibu. Aku rapuh karena butuh lari untuk menenangkan diri." "Dari merasakan jatuh itu yang akan membuatmu kuat, Vi." Ibu berhenti sejenak. Terdengar embus halus napasnya. Ibu, beliau tidak hanya tersakiti oleh masa lalunya dengan ayah. Namun oleh masalahku juga. Maafkan aku, Bu. "Vi." Suara Ibu sudah berganti dengan suara berat Mas Ilham. "Sekarang kamu di mana, kasih tahu
Ilham's POV Aku terbangun saat jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Vi sudah tidak ada di sampingku. Tergesa aku keluar kamar. Hening. Dugaan mungkin Vi sedang sibuk di dapur ternyata salah. Dia tidak ada di seluruh penjuru rumah. Semua pintu pun masih tertutup rapat. Perasaanku tidak enak, hingga aku kembali masuk ke kamar. Meraih ponsel yang di sebelahnya tergeletak hadiah yang kuberikan untuk Vi tadi malam. Sebuah pesan masuk membuatku terkejut sepagi itu. Dia mengirimkan satu jam yang lalu. "Happy wedding anniversary, suamiku tersayang. Terima kasih untuk lima tahun kebersamaan kita. Mulai sekarang kita akan menempuh jalan yang berbeda. Semoga Mas suka dengan hadiahku tadi malam. I love you, Sayang." Kalimat perpisahan yang ditulis secara samar beserta fotoku dengan Nura saat kami kelelahan dan tertidur di sofa kantor, beberapa bulan yang lalu. &nbs
lham's POV Malam itu aku kembali pergi ke rumah Ibu. Pas kebetulan Vi sedang menelepon. Ibu mertua yang baik ini paham bagaimana perasaan menantunya. Diberikan ponsel padaku. Sayangnya Vi tidak mau memberitahu keberadaannya. Dia benar-benar menutup diri dan ingin sendirian. Andai dia memberitahu, malam ini juga aku berangkat menyusulnya. Aku berdiri, meninggalkan Syifa yang sedang belajar mewarnai. Aku duduk di kursi teras. "Kenapa nomernya tidak aktif, Mas sudah menelepon berkali-kali." "Nomerku yang kemarin sudah enggak aku aktifkan. Aku takut orang itu akan mengirimkan gambar yang lebih parah lagi, makanya buru-buru aku nonaktifkan saja." "Mas tidak pernah melakukan hubungan intim yang kamu khawatirkan itu, Vi. Mas memang salah karena telah menyakitimu. Tapi sumpah, Mas ...." "Apa Mas berani bersump
Mbak, ada kiriman bunga?" Sarti menghampiriku yang duduk di kursi kasir, sambil memberikan buket kecil bunga mawar putih dan pink. Kuterima buket itu. "Dari siapa?" tanyaku heran. "Pak Alex," kata Sarti sambil tersenyum lantas melangkah ke belakang. Kuletakkan buket di atas meja, kemudian kembali memeriksa pembukuan bulan ini. Biasanya Surti yang mengerjakannya, aku tinggal memeriksanya. Ada-ada saja orang ini. Padahal dia tahu kalau aku masih menjadi istri rekannya. Nekat juga mengirimkan bunga. Waktu aku liburan hari itu, malah mengirimkan cokelat. "Vi, kamu kok belum siap-siap. Ini sudah jam sembilan, lho!" Ibu yang muncul dari belakang menegurku. "Iya, sebentar lagi aku ganti baju, Bu." "Nanti keburu-buru. Udah tinggal saja itu," kata Ibu lagi. Lantas beliau memeriksa dua tas kresek besar berisi pesanan yang akan di anta
Pertemuan pertama yang direncanakan hanya satu jam, kini hampir dua jam lebih. Kebetulan Ibu Aisyah tidak ada janji dengan klien lain. Aku meluahkan kekecewaan secara gamblang di sana. Aku bisa bebas bercerita, tidak seperti saat berhadapan dengan keluarga, yang mana sebagian masih aku tutupi. Kuceritakan saat kedua orang tuaku bercerai karena perselingkuhan ayah, rasa kecewa yang berkelanjutan hingga luka hati yang ditorehkan oleh Mas Ilham. Menambah daftar kelam pandanganku terhadap seorang laki-laki. Sesi pertemuan pertama selesai. Belum ada penyelesaian permasalahan di antara kami. Ibu Aisyah memberi peluang untuk pertemuan sesi kedua, lalu berlanjut hingga sesi keempat. 🌺🌺🌺 Hari Rabu pagi Mas Ilham menjemputku lagi untuk sesi konseling yang keempat. Aku sebenarnya lelah menjalani ini. Hati yang terlanjur sakit tidak semudah itu luluh dengan berbagai pandan
Kumasukkan ponsel ke dalam tas. Entah harus kupedulikan apa tidak pesan yang dikirim orang tak di kenal itu. Semoga keputusanku untuk mempertahankan pernikahan ini bukan keputusan yang salah. Angin berembus sangat kencang, menerbangkan dedaunan kering di padang ilalang depan sana. Mas Ilham melangkah cepat menuju mobil, yang lain juga melakukan hal yang sama. Sebab sudah waktunya jam makan siang. "Kita makan siang dulu," ucapnya setelah duduk di belakang kemudi. "Kayaknya, Mas, sibuk banget ya. Apa aku pulang naik taksi saja." "Jangan! Tidak apa-apa ikut Mas. Nanti sekalian kita pulang bareng." Mobil melaju di belakang ketiga mobil yang telah mendahului. Mereka masuk area parkir Rumah Makan Lumayan. Rumah makan lesehan yang berdampingan dengan tambak di bagian belakang. Jadi menu ikan ya
Seperti biasa, setelah Syifa berangkat sekolah, aku langsung membantu di toko. Hari ini ada pesanan beberapa jenis kue basah dan roti yang jumlahnya tidak sedikit. Pesanan dari orang yang sedang hajatan, menikahkan putrinya. "Ti, sudah genap, 'kan, bika ambonnya? Kata Ibu tadi kurang tiga puluh lagi," kataku pada Surti yang sibuk menata kue lemper di loyang. "Sudah, Mbak. Tadi sudah aku tambahi." "Ya, sudah." Aku memasukkan kue pukis ke dalam kotak sedang. "Ti," panggilku lagi pada gadis di sebelah. "Ya, Mbak." "Minggu depan Mbak sudah enggak tinggal di sini lagi. Menurutmu apa perlu tambah karyawan lagi untuk jaga toko. Menemani kamu dan Tarjo?" "Loh, memangnya Mbak mau ke mana?" "Mbak dan Syifa akan pulang ke rumah Mas Ilham, Ti." Sarti menghentikan peker