Share

8. Pulang

“Permisi, Mbak. Saya mau ambil sabun cuci muka,” ucap pelanggan supermarket yang merasa kesulitan karena terhalang Brie yang berdiri menutupi deretan sabun muka pria.

Sedikit kaget, Brie bergeser lalu mengambil posisi duduk berpura-pura melihat produk di rak bawah yang berisi alat cukur dan minyak rambut. Ada perasaan malu yang menyelimuti, karena telah menyangka Edwin yang sudah menegurnya.

“Mau cukuran?”

“Ah, nggak..” ucap Brie sambil segera berdiri mendengar ada yang menegurnya lagi. Namun, matanya terbelalak dan seketika membeku.

“Cuma mau ambil dompet Sherly,” tukas Edwin yang ternyata sudah di depan Brie. Bahkan, aroma woody dari parfum Edwin dapat menyusup masuk ke hidung Brie.

Brie salah tingkah mengambil dompet Sherly yang ada di keranjang belanjanya, sikap kikuknya membuatnya lebih ceroboh sehingga dompet itu jatuh ke lantai. Dengan gelagapan ia langsung menunduk mengambil dompet itu, namun ternyata tangan Edwin lebih dulu sampai menyentuh dompet berwarna merah marun itu. Sedangkan, tangan Brie menyentuh punggung tangan Edwin.

Otak Brie seperti membeku, ia tak langsung menarik tangannya tapi malah terdiam. Hingga, Edwin yang menarik tangannya sendiri dan berdiri.

“Makasih, ya. Aku balik dulu,” ucap Edwin dengan senyum ramah dan kemudian meninggalkan Brie yang masih kikuk.

Mata Brie memandang punggung Edwin hingga sosok itu menghilang menuju pintu keluar. Brie tersadar.

“Aih, dasar menyebalkan.” Brie merutuki dirinya sendiri. Rasa marah yang sebelumnya timbul berubah menjadi rasa malu yang sangat besar.

                                                                            ***

Siang yang panas, akhirnya Brie memutuskan untuk berhenti di warung es dekat kos. Segelas es kelapa muda dapat memuaskan kerongkongan yang kering dan mendinginkan emosi Brie.

Hanya butuh kurang dari semenit, Brie menenggak setengah gelas es kelapa mudanya. Tidak hanya cuaca yang panas, tapi hatinya juga panas.

“Hariku yang indah, menjadi menyebalkan kalau ada si Manusia Gorila itu.” Brie bersungut-sungut sambil membuka bungkus biskuit coklat yang tadi ia beli.

Baru saja biskuit coklatnya masuk mulut, ponselnya berbunyi. Terpampang nama Anita, adik Brie.

[Halo, Mbak.]

“Iya, kenapa, An?”

[Kapan pulang, Mbak?]

“Emang kenapa?” tanya Brie penasaran dengan adiknya yang tiba-tiba bertanya.

[Hmm.. ibuk sakit, Mbak. Uda tiga hari lemes, tadi nanyain kamu.]

“Hah?! Sakit apa, An?” Brie terbelalak mendengar kabar dari Anita, sehingga biskuit yang sudah masuk mulut langsung ia lepeh.

[Pokoknya cepet pulang, Mbak.]

“Jawab dulu, udah ke dokter?”

[Uda, cepet pulang] sambungan telepon langsung diputus oleh Anita.

Beberapa kali Brie mencoba menghubungi Anita namun tidak diangkat.

[Ibuk udah mendingan, kata dokter ibuk kena asam lambung] Anita membalas melalui pesan.

[Tapi kamu tetep pulang ya, Mbak] Anita kembali mengirimkan pesan dengan nada memohon.

Raga Brie disergap kecemasan. Pikirannya tiba-tiba kacau dan berkeringat. Segera ia memesan tiket kereta untuk pulang sore nanti. Rasa cemas itu semakin menjadi, mengingat Anita sangat jarang menghubunginya, sehingga ketika Anita memintanya pulang dengan alasan kondisi ibunya, Brie merasa sangat kacau dan berpikiran buruk.

                                                               ***

Hari bahagia yang telah Brie rencanakan menjadi hari yang sedikit kacau. Bertemu dengan Edwin si Manusia Gorila dan kabar ibunya sakit. Sesuai dengan kata orang, sebaik-sebaiknya manusia membuat rencana, tetap Tuhan yang mengaturnya.

Pukul tiga sore Brie sudah di dalam kereta menuju kampung ibunya. Membutuhkan perjalanan sekitar 8 jam, jadi hampir tengah malam ia akan sampai tujuan. Sepanjang jalan ia tak bisa berhenti memikirkan ibunya, jantungnya berdebar tiap mencoba menghubungi Anita, namun sama sekali tidak ada respon. Terlebih ia tak tahu siapa yang akan menjemputnya di stasiun.

“Ibu, kita mau kemana?” Anak kecil yang duduk di depan Brie bertanya pada ibunya yang sedang melamun memandang keluar jendela.

“Hmm.. Kita ke rumah mbah ya,” ujar wanita berusia kisaran 25 tahun.

“Kok Ayah nggak ikut kita?” Anak itu kembali bertanya pada ibunya.

“Ayah lagi sibuk, Sayang.” Ibu muda itu mengecup kening anaknya, kemudian memperlihatkan pemandangan persawahan di luar jendela.

Brie tertegun melihat ibu dan anak tersebut, mata ibu muda itu sembab seperti telah melewati hari-hari penuh tangis. Ia teringat masa kecilnya dulu, mata ibunya sering sembab dan Ayah jarang di rumah sampai akhirnya benar-benar menghilang.

Sebuah kenangan pahit tentang orangtuanya saat Brie kecil masih tersimpan pada otaknya. Usianya saat itu masih empat tahun dan adiknya masih bayi. Ibunya mengamuk dan melempar barang-barang di dapur.

“Tega kamu sama aku dan anak-anak?” Tangis ibunya meledak.

“Kamu sendiri yang membuatku seperti ini!” Bentak Ayah Brie.

Dilihatnya sang Ibu terduduk menangis dengan menahan suara dan tangan yang terus memukul-mukul dirinya sendiri, sedangkan Ayah Brie, pria yang kala itu berusia 31 tahun membuang muka enggan melihat istrinya yang kacau balau.

“Ibuk kenapa. Yah?” Tanya Brie hati-hati dengan tangan mungilnya menyentuh tangan ayahnya yang sedari tadi mengepal dengan keras.

“Ssst.. masuk kamar lagi ya. Ibumu sedang gila,” ujar Pria itu sambil melirik tajam ke arah istrinya.

                                                                     ***

Himmalelie

Hai, selamat lebaran!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status