ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN

ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-06-15
Oleh:  XykyutBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
9Bab
3Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Alya, gadis sederhana yang terpaksa bekerja demi membayar utang keluarganya, tak pernah menyangka akan menjadi asisten pribadi dari seorang CEO muda yang dikenal dingin dan tak tersentuh—Erick Alvaro. Hari-harinya berubah drastis sejak berada di bawah tekanan pria perfeksionis itu. Setiap kata Erick terasa seperti perintah militer, setiap tatapannya membekukan udara. Tapi di balik sikapnya yang kaku dan keras, Alya mulai menemukan celah—luka lama yang tersembunyi, dan sisi lembut yang tak pernah diperlihatkan siapa pun. Saat batas antara profesional dan perasaan mulai kabur, Alya dihadapkan pada pilihan: melindungi hatinya, atau menerima kenyataan bahwa ia telah jatuh cinta pada pria yang tak percaya cinta. Namun, masa lalu Erick yang kelam dan rahasia besar yang mengikat keduanya membuat hubungan itu jauh dari kata sederhana. Bisakah seorang asisten menjinakkan hati sang bos dingin? Atau justru ia akan hancur karena perasaan yang tak seharusnya tumbuh?

Lihat lebih banyak

Bab 1

BAB 1 Hari Pertama di Sarang Singa

Langkah kaki Alya menggema pelan di lobi gedung pencakar langit yang menjulang angkuh di jantung kota Jakarta. Gedung itu bagaikan monster baja dan kaca yang siap menelan siapa saja yang tak cukup kuat berdiri di dalamnya. Ia berdiri sejenak, memandangi pantulan dirinya di dinding kaca blouse putih sederhana, rok hitam formal, dan sepatu pinjaman dari sepupunya yang dua nomor lebih besar.

Telapak tangannya dingin. Nafasnya pendek-pendek. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur detak jantung yang tak beraturan.

“Hari ini dimulai, Alya. Jangan bodoh.”

Suara hatinya terdengar keras, tapi tubuhnya tetap kaku saat menaiki lift ke lantai 32 lantai eksekutif.

Pintu lift terbuka dan aroma ruang ber-AC menyambut tajam. Lorong itu sunyi, mewah, dan intimidatif. Marmer mengilap memantulkan cahaya lampu gantung kristal, dan setiap sudut ruangan dipenuhi elemen minimalis bernuansa gelap yang terasa dingin.

Ia berjalan pelan menuju meja resepsionis. Seorang wanita muda berwajah seperti model menatapnya sekilas dari atas ke bawah.

"Nama?" tanyanya dingin tanpa senyum.

"Alya Putri. Saya… asisten pribadi baru."

Wanita itu mengangguk singkat. "Kamu sudah ditunggu. Ruang CEO di ujung kanan."

Alya sedikit gemetar ia menelan ludah. Kakinya terasa berat, tapi ia melangkah juga. Suara langkah sepatunya beradu dengan lantai, bergema seperti detik bom waktu yang menghitung mundur.

Pintu kaca otomatis terbuka. Udara dingin langsung menyergap dari dalam ruangan yang luas, elegan, dan asing. Tidak ada suara selain deru halus pendingin ruangan. Di balik jendela setinggi langit-langit, matahari pagi Jakarta memantul pada kaca gedung lain.

Dan di tengah ruangan itu berdiri seorang pria.

Erick Alvaro. CEO. Legenda di dunia korporat. Dikenal luas karena kejeniusannya dalam ekspansi bisnis… dan ketidaksabarannya terhadap kebodohan.

Ia berdiri membelakangi pintu, jas hitam membingkai tubuh tegapnya. Saat berbalik, tatapan matanya langsung menangkap Alya seperti radar. Wajah itu dingin, rahang tegas, dan sorot mata yang tajam seperti sedang membaca kelemahan musuh.

"Kenapa kamu diam di sana? Mulai bekerja," ucapnya datar, tanpa sapaan atau basa-basi.

Alya terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk cepat. “Siap, Pak.”

Erick tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Ia menunjuk meja di sudut ruangan. “Di sana ada file agenda minggu ini. Pelajari semuanya. Dalam satu jam, pastikan kamu tahu isi rapat dan nama-nama klien.”

“Baik, Pak.”

Tanpa bertanya lagi, Alya langsung menuju meja tersebut. Jantungnya berdebar kencang, tapi tangannya cepat membuka dokumen. Deretan nama asing, tanggal, dan catatan singkat membuat kepalanya pening. Tapi ia menelan panik itu dalam-dalam dan mulai mencatat.

Lima belas menit kemudian, telepon di meja Erick berdering. Ia mengangkatnya singkat, lalu menoleh ke arah Alya.

“Kopi hitam. Dua sendok gula. Tanpa susu. Bawa ke ruang rapat. Lima menit lagi.”

“Baik, Pak.”

Alya buru-buru bergegas ke pantry. Tangannya sedikit gemetar saat menuang air panas ke dalam gelas, mengaduk perlahan tapi hati-hati. Ia terus mengingat: dua gula, tidak lebih, tidak kurang.

Saat kembali, ruang rapat sudah terisi oleh beberapa pria berjas dan wanita dengan tablet digital di tangan. Ia melangkah cepat, meletakkan kopi di hadapan Erick dengan penuh kehati-hatian.

Tapi tetap saja, sedikit tumpahan menetes ke tepi meja. Alya terdiam seketika.

Erick tidak berkata sepatah kata pun. Hanya melirik dengan tajam-tajam seperti pisau yang tak perlu menggores untuk membuat lawan gemetar. Ia tidak menyeka tumpahan itu. Ia hanya menatapnya.

Alya menunduk, wajahnya panas karena malu.

---

Lift turun perlahan. Di dalamnya hanya ada Erick dan Alya. Keheningan menggantung di antara mereka.

"Kamu gugup?" tanyanya, masih tanpa ekspresi.

Alya nyaris tak bisa bicara. “Iya, Pak. Maaf.”

Erick tidak melihat ke arah Alya, matanya tertuju pada panel lift. Suaranya tetap tenang, tapi penuh tekanan.

"Kalau kamu ingin bertahan, pelajari ritme kerja saya. Jangan lambat. Dan jangan buat kesalahan lagi."

Kalimat itu terdengar ringan, tapi menghantam keras. Seolah waktu diberi sedikit untuk membuktikan kelayakan, lalu langsung dicampakkan jika gagal.

Alya menarik napas, mencoba menahan diri.

"Siap, Pak. Saya akan usahakan sebaik mungkin."

Erick melirik sejenak dari sudut matanya, seolah menilai seberapa besar kemungkinan gadis itu akan tumbang di hari kedua.

"Berusaha saja tidak cukup. Saya ingin hasil."

---

Sore menjelang. Lampu-lampu kantor mulai dimatikan. Suasana sunyi, hanya tinggal suara ketikan cepat dari meja Alya. Ia masih sibuk membaca ulang file, mencatat istilah-istilah asing yang belum sempat ia pahami tadi pagi.

Erick keluar dari ruangannya. Jaket hitam tergantung di lengannya. Ia hendak melangkah ke arah lift, namun pandangannya singgah sejenak pada Alya yang masih duduk menunduk dengan pulpen dan kertas di tangan.

“Kamu belum pulang?”

“Saya masih ingin mempelajari file ini, Pak. Supaya besok bisa lebih siap.”

Untuk beberapa detik, tidak ada respons. Erick hanya memandanginya. Lalu sebuah kalimat meluncur dingin, tapi tidak setajam biasanya.

“Jangan paksakan diri. Asisten yang tumbang tidak berguna.”

Alya mengangguk, bibirnya tersenyum tipis meski matanya sudah pedih karena lelah.

“Baik, Pak.”

Ia tidak yakin. Tapi mungkin sekilas ia melihat sudut bibir Erick bergerak sedikit. Bukan senyum. Hanya kilatan reaksi kecil yang entah nyata atau hanya ilusi akibat kantuk yang mulai menyerang.

Namun bagi Alya, itu cukup. Hari pertamanya berakhir… dan ia masih berdiri.

Itu saja sudah terasa seperti kemenangan.

---

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
9 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status