Alya, gadis sederhana yang terpaksa bekerja demi membayar utang keluarganya, tak pernah menyangka akan menjadi asisten pribadi dari seorang CEO muda yang dikenal dingin dan tak tersentuh—Erick Alvaro. Hari-harinya berubah drastis sejak berada di bawah tekanan pria perfeksionis itu. Setiap kata Erick terasa seperti perintah militer, setiap tatapannya membekukan udara. Tapi di balik sikapnya yang kaku dan keras, Alya mulai menemukan celah—luka lama yang tersembunyi, dan sisi lembut yang tak pernah diperlihatkan siapa pun. Saat batas antara profesional dan perasaan mulai kabur, Alya dihadapkan pada pilihan: melindungi hatinya, atau menerima kenyataan bahwa ia telah jatuh cinta pada pria yang tak percaya cinta. Namun, masa lalu Erick yang kelam dan rahasia besar yang mengikat keduanya membuat hubungan itu jauh dari kata sederhana. Bisakah seorang asisten menjinakkan hati sang bos dingin? Atau justru ia akan hancur karena perasaan yang tak seharusnya tumbuh?
Lihat lebih banyakLangkah kaki Alya menggema pelan di lobi gedung pencakar langit yang menjulang angkuh di jantung kota Jakarta. Gedung itu bagaikan monster baja dan kaca yang siap menelan siapa saja yang tak cukup kuat berdiri di dalamnya. Ia berdiri sejenak, memandangi pantulan dirinya di dinding kaca blouse putih sederhana, rok hitam formal, dan sepatu pinjaman dari sepupunya yang dua nomor lebih besar.
Telapak tangannya dingin. Nafasnya pendek-pendek. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur detak jantung yang tak beraturan. “Hari ini dimulai, Alya. Jangan bodoh.” Suara hatinya terdengar keras, tapi tubuhnya tetap kaku saat menaiki lift ke lantai 32 lantai eksekutif. Pintu lift terbuka dan aroma ruang ber-AC menyambut tajam. Lorong itu sunyi, mewah, dan intimidatif. Marmer mengilap memantulkan cahaya lampu gantung kristal, dan setiap sudut ruangan dipenuhi elemen minimalis bernuansa gelap yang terasa dingin. Ia berjalan pelan menuju meja resepsionis. Seorang wanita muda berwajah seperti model menatapnya sekilas dari atas ke bawah. "Nama?" tanyanya dingin tanpa senyum. "Alya Putri. Saya… asisten pribadi baru." Wanita itu mengangguk singkat. "Kamu sudah ditunggu. Ruang CEO di ujung kanan." Alya sedikit gemetar ia menelan ludah. Kakinya terasa berat, tapi ia melangkah juga. Suara langkah sepatunya beradu dengan lantai, bergema seperti detik bom waktu yang menghitung mundur. Pintu kaca otomatis terbuka. Udara dingin langsung menyergap dari dalam ruangan yang luas, elegan, dan asing. Tidak ada suara selain deru halus pendingin ruangan. Di balik jendela setinggi langit-langit, matahari pagi Jakarta memantul pada kaca gedung lain. Dan di tengah ruangan itu berdiri seorang pria. Erick Alvaro. CEO. Legenda di dunia korporat. Dikenal luas karena kejeniusannya dalam ekspansi bisnis… dan ketidaksabarannya terhadap kebodohan. Ia berdiri membelakangi pintu, jas hitam membingkai tubuh tegapnya. Saat berbalik, tatapan matanya langsung menangkap Alya seperti radar. Wajah itu dingin, rahang tegas, dan sorot mata yang tajam seperti sedang membaca kelemahan musuh. "Kenapa kamu diam di sana? Mulai bekerja," ucapnya datar, tanpa sapaan atau basa-basi. Alya terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk cepat. “Siap, Pak.” Erick tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Ia menunjuk meja di sudut ruangan. “Di sana ada file agenda minggu ini. Pelajari semuanya. Dalam satu jam, pastikan kamu tahu isi rapat dan nama-nama klien.” “Baik, Pak.” Tanpa bertanya lagi, Alya langsung menuju meja tersebut. Jantungnya berdebar kencang, tapi tangannya cepat membuka dokumen. Deretan nama asing, tanggal, dan catatan singkat membuat kepalanya pening. Tapi ia menelan panik itu dalam-dalam dan mulai mencatat. Lima belas menit kemudian, telepon di meja Erick berdering. Ia mengangkatnya singkat, lalu menoleh ke arah Alya. “Kopi hitam. Dua sendok gula. Tanpa susu. Bawa ke ruang rapat. Lima menit lagi.” “Baik, Pak.” Alya buru-buru bergegas ke pantry. Tangannya sedikit gemetar saat menuang air panas ke dalam gelas, mengaduk perlahan tapi hati-hati. Ia terus mengingat: dua gula, tidak lebih, tidak kurang. Saat kembali, ruang rapat sudah terisi oleh beberapa pria berjas dan wanita dengan tablet digital di tangan. Ia melangkah cepat, meletakkan kopi di hadapan Erick dengan penuh kehati-hatian. Tapi tetap saja, sedikit tumpahan menetes ke tepi meja. Alya terdiam seketika. Erick tidak berkata sepatah kata pun. Hanya melirik dengan tajam-tajam seperti pisau yang tak perlu menggores untuk membuat lawan gemetar. Ia tidak menyeka tumpahan itu. Ia hanya menatapnya. Alya menunduk, wajahnya panas karena malu. --- Lift turun perlahan. Di dalamnya hanya ada Erick dan Alya. Keheningan menggantung di antara mereka. "Kamu gugup?" tanyanya, masih tanpa ekspresi. Alya nyaris tak bisa bicara. “Iya, Pak. Maaf.” Erick tidak melihat ke arah Alya, matanya tertuju pada panel lift. Suaranya tetap tenang, tapi penuh tekanan. "Kalau kamu ingin bertahan, pelajari ritme kerja saya. Jangan lambat. Dan jangan buat kesalahan lagi." Kalimat itu terdengar ringan, tapi menghantam keras. Seolah waktu diberi sedikit untuk membuktikan kelayakan, lalu langsung dicampakkan jika gagal. Alya menarik napas, mencoba menahan diri. "Siap, Pak. Saya akan usahakan sebaik mungkin." Erick melirik sejenak dari sudut matanya, seolah menilai seberapa besar kemungkinan gadis itu akan tumbang di hari kedua. "Berusaha saja tidak cukup. Saya ingin hasil." --- Sore menjelang. Lampu-lampu kantor mulai dimatikan. Suasana sunyi, hanya tinggal suara ketikan cepat dari meja Alya. Ia masih sibuk membaca ulang file, mencatat istilah-istilah asing yang belum sempat ia pahami tadi pagi. Erick keluar dari ruangannya. Jaket hitam tergantung di lengannya. Ia hendak melangkah ke arah lift, namun pandangannya singgah sejenak pada Alya yang masih duduk menunduk dengan pulpen dan kertas di tangan. “Kamu belum pulang?” “Saya masih ingin mempelajari file ini, Pak. Supaya besok bisa lebih siap.” Untuk beberapa detik, tidak ada respons. Erick hanya memandanginya. Lalu sebuah kalimat meluncur dingin, tapi tidak setajam biasanya. “Jangan paksakan diri. Asisten yang tumbang tidak berguna.” Alya mengangguk, bibirnya tersenyum tipis meski matanya sudah pedih karena lelah. “Baik, Pak.” Ia tidak yakin. Tapi mungkin sekilas ia melihat sudut bibir Erick bergerak sedikit. Bukan senyum. Hanya kilatan reaksi kecil yang entah nyata atau hanya ilusi akibat kantuk yang mulai menyerang. Namun bagi Alya, itu cukup. Hari pertamanya berakhir… dan ia masih berdiri. Itu saja sudah terasa seperti kemenangan. ---Hari itu, suasana kantor terasa mencekam. Isu mengenai proyek merger besar yang dijalankan oleh perusahaan Erick mulai bocor ke media. Tuduhan kolusi dan manipulasi data keuangan mencuat, mengguncang kepercayaan publik dan para investor. Alya menyaksikan langsung bagaimana wajah Erick semakin tegang dari jam ke jam, matanya menajam seperti singa yang siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalannya. Meski tidak dilibatkan dalam urusan eksekutif, Alya bisa merasakan tekanan yang berat di pundak Erick. Dan anehnya, ia ikut merasa sesak. Sepulang kerja, saat sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, Alya masih menunggu di depan ruang kerja Erick dengan membawa secangkir kopi panas. Ia tahu, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah tetap ada. “Masuk,” suara bariton itu terdengar ketika Alya mengetuk pintu. Erick duduk di belakang mejanya, jasnya sudah dilepas, dasi sedikit longgar, dan lengan kemejanya tergulung. Wajahnya kusut, tapi masih memancarkan kharisma yang membua
Alya menatap layar laptop di hadapannya dengan pandangan kosong. Matanya terasa panas, bukan karena kantuk atau lelah, tapi karena tekanan yang perlahan mulai menggerogoti dirinya dari dalam. Selama beberapa minggu terakhir, ritme pekerjaannya sebagai asisten pribadi Erick Alvaro semakin menggila. Jadwal rapat yang padat, revisi dokumen yang tak berkesudahan, hingga pertemuan dengan klien yang berubah-ubah menit terakhir—semuanya membuatnya nyaris kehilangan napas. Tapi bukan itu yang membuat jantung Alya berdegup lebih cepat hari ini. Bukan soal kerjaan yang menumpuk, melainkan desas-desus yang mulai beredar di kantor. "Alya itu bisa dekat sama Pak Erick pasti karena ada hubungan pribadi..." "Ssst, jangan ngomong gitu. Tapi emang aneh sih, biasanya Pak Erick tuh susah banget deket sama orang." "Dia tuh bukan siapa-siapa, cuma lulusan biasa... Kok bisa sih jadi asisten langsung CEO?" Bisikan-bisikan itu—yang awalnya hanya sayup di lorong pantry—kini semakin keras, bahkan menyusu
Alya memandangi layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Sejak insiden makan malam dengan Erick dan kemunculan Tania yang mengejutkan, perasaannya tak karuan. Erick memang sudah menegaskan bahwa hubungannya dengan Tania telah lama berakhir, namun entah mengapa, bayangan wanita itu masih mengganggu. Hari-hari berlalu, dan Erick tetap menjadi dirinya yang dingin dan perfeksionis. Tapi Alya tak bisa membohongi diri. Perhatiannya kini selalu tertuju pada pria itu. Ia menangkap hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia sadari—seperti cara Erick memperhatikan detil pekerjaannya, atau diam-diam membawakan kopi tanpa berkata sepatah kata pun saat dia lembur malam-malam. Namun, perasaan itu ia simpan rapat. Batas profesionalitas masih membentang jelas di antara mereka. Lagipula, Erick tak pernah memberi tanda bahwa ia menginginkan hubungan lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Suatu sore, saat hujan mengguyur kota, Alya mendapati dirinya sendirian di kantor. Hampir semua kar
Alya menatap liontin perak itu dalam diam. Huruf A kecil yang terukir di sana seperti menandakan sesuatu yang belum sempat diucapkan Erick secara langsung. Entah itu tanda terima kasih, atau… lebih dari itu.Pagi harinya, ia mengenakan liontin itu di balik kemejanya. Tak mencolok, namun cukup membuat hatinya terasa hangat. Entah bagaimana, itu menjadi pengingat bahwa hatinya bukan satu arah. Ada balasan, meski Erick belum sepenuhnya mengatakannya.---Hari itu, kantor kembali sibuk. Erick dijadwalkan menghadiri pertemuan penting dengan mitra internasional yang berpotensi membuka peluang besar. Alya, tentu saja, kembali menjadi bayang-bayangnya—sang asisten yang mengatur jadwal, dokumen, dan segala kebutuhan sang bos.Namun ada yang berbeda dari Erick hari ini. Tatapannya tak setajam kemarin. Beberapa kali mata mereka bertemu, dan Erick tersenyum—sedikit, tapi cukup membuat pipi Alya merona.“Alya,” panggil Erick saat mereka berada di mobil menuju hotel tempat pertemuan.Alya menoleh c
Hubungan Alya dan Erick seperti benang tipis yang mulai kusut. Setelah Tania muncul kembali, Erick berubah—tak lagi mudah didekati, suaranya kembali tajam, dan ekspresi dingin itu… kembali mendominasi hari-hari Alya di kantor.Tapi yang paling menyakitkan bukanlah kemarahan Erick, melainkan sikap acuhnya.---“Kopi hitam tanpa gula,” Alya menyodorkan cangkir kepada pria itu pagi ini, seperti biasa.Erick hanya mengangguk, tidak berkata sepatah pun. Tatapannya tertuju pada layar laptopnya, dan tangannya sibuk membolak-balik laporan.Alya berdiri sejenak, berharap akan ada percakapan kecil seperti sebelumnya. Tapi harapan itu hanya menjadi diam yang menggantung di udara.“Kalau begitu, saya ke meja saya dulu, Pak.”Tidak ada jawaban.Langkah Alya pelan-pelan menjauh, tapi di dalam hatinya, guncangan itu terasa seperti badai kecil. Ia tidak tahu apakah ia melakukan kesalahan, atau memang hanya karena kehadiran Tania yang telah mengembalikan Erick ke tembok-tembok masa lalunya.---Di rua
Sejak malam itu, Alya merasa ada yang berubah. Bukan hanya dari cara Erick berbicara padanya, tapi juga caranya memandang dunia. Tatapan pria itu tidak lagi semata-mata penuh tuntutan. Ada kelam yang tak terucap, dan ia tahu... ia sudah menyentuh sisi yang selama ini dijaga rapat.Namun semakin ia mengenal sisi manusiawi Erick, semakin Alya menyadari bahwa pria itu menyimpan lebih dari sekadar trauma keluarga.---Hari Senin pagi, kantor kembali sibuk. Bunyi sepatu beradu di lantai marmer, printer berdengung, dan telepon terus berdering. Alya menyambut pagi dengan dua cangkir kopi—satu untuknya, satu untuk Erick.“Jangan terlalu manis,” ucap Erick saat menerima cangkirnya.Alya tersenyum kecil. “Saya sudah mulai hafal, Pak.”Erick duduk sambil membuka laptopnya. Tapi sebelum ia mulai bekerja, ia melirik Alya. “Kamu selalu datang lima belas menit sebelum jam kantor. Kenapa?”Alya terdiam sesaat. Ia tak menduga pertanyaan itu.“Karena saya tidak suka terburu-buru. Dan... saya butuh wakt
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen