Suryawijaya memberanikan diri menatap wajah sang ayah, dalam dadanya ia merasa geram dengan beliau yang masih menolak keras hubungannya dengan Nawangsih. Adik angkatnya.
"Sifat ningrat dan adiluhung sudah berlaku pada diri Tania sejak ia tinggal di sini, Ayahanda. Dia sudah belajar dan mematuhinya. Ayahanda bahkan sudah melihatnya sendiri. Apalagi yang membuat Ayahanda risau?" desak Suryawijaya dengan tidak sabar.Kaysan menatap putranya dengan tatapan datar tak terbantahkan."Tidak perlu menggurui Ayahanda, anakku. Ayahanda lebih memahami apa sifat adiluhung yang kamu pahami." ucapnya disertai kegagahan saat dia menunjukkan garis darahnya yang tinggi dan makmur.Alis Suryawijaya terangkat ketika jawaban ketus sang ayah masih terdengar alot. Suryawijaya mengembuskan napas sambil menunduk."Baiklah Ayahanda, maafkan Suryawijaya sudah lancang." Ia memberi hormat karena percuma melawan ayahnya dengan kata-kata.Kaysan beranjak, meninggalkan calon penerus yang kerap kali menggunakan nada tinggi jika membicarakan kisah asmaranya.“Kamu harus lebih banyak bersabar untuk mendapatkan hasil maksimal.”Suryawijaya menghela napas. Tak menemukan jalan keluar lagi dan lagi dan hanya pada Gusti Allah dan ibunya ia bisa mengadu tentang keluh kesahnya."Mas Surya..." panggil Nawangsih.Gadis yang memakai kebaya berwarna kuning itu mendekatinya, Nawangsih menghaturkan hormat seraya duduk bersimpuh di depan Suryawijaya."Ada apa?" tanya Suryawijaya tanpa ekspresi."Di panggil Ibunda untuk menemui beliau di ruang kerja, Mas Surya." jawab Nawangsih.Suryawijaya beranjak sambil mengulurkan tangan untuk membantu Nawangsih berdiri."Aku akan mendaki gunung, jangan menungguku pulang!" kata Suryawijaya tiba-tiba."Kenapa, Mas?”"Kamu pura-pura tidak tahu atau lupa, Nawangsih? Aku sedang memperjuangkanmu!" celetuk Suryawijaya setengah jengkel.Nawangsih tersenyum samar, ia membungkuk untuk membetulkan letak sendal selop yang hendak Suryawijaya pakai."Terima kasih." Suryawijaya memaksa senyum meski hatinya bergemuruh.Nawangsih mengangguk. Mereka keluar dari pendopo rumah, melewati jalanan konblok di bawah temaram lampu taman.Nawangsih—seorang pelayan, ia harus sigap melayani sang ndoro bei. Tak peduli jika ia adalah anak angkat keluarga bangsawan dan Suryawijaya adalah seseorang yang terikat pada janji ambigu semasa kecil."Harus berapa hari aku menunggumu, Mas?""Untuk apa?""Untuk melihatmu dari jauh." jawab Nawangsih jujur sembari tersenyum."Lima hari!" Suryawijaya mengulum senyum. "Jangan menungguku.""Baiklah, Mas. Biar aku simpan rindu ini selama lima hari!"Suryawijaya melanjutkan langkahnya ke arah pohon angsana tua. Minimnya cahaya lampu taman membuat mereka lebih leluasa untuk saling pandang ketika Nawangsih juga bergeming di depannya.Suryawijaya menghela napas dalam-dalam seraya menatap Nawangsih lekat-lekat."Apa yang kamu tunggu dariku, Nawangsih? Apa kamu tidak lelah menunggu kepastian dariku?""Aku sudah berjanji untuk mengabdikan diri di sini, Mas. Anggap saja sebagai balasan atas kebaikan keluarga besar Ayahanda kepadaku dan ibuku dulu. Iya atau tidak dengan hubungan kita berdua nanti." Nawangsih mengembuskan napas kemudian seolah melepaskan kegagalan dalam bersuara tenang.Suryawijaya berdecak kesal. Bukan pernyataan ini yang aku harapkan dari kamu Tania, tapi kekuatan baru untukku. Sebuah kejujuran rasa, rayuan atau apapun itu tentang perasaan."Terserah." Suryawijaya kembali menapaki konblok demi konblok untuk mendatangi ruang kerja ibunya sementara Nawangsih mengekorinya untuk melihat keinginan apa yang akan ibu mereka sampaikan."Pergilah ke kamarmu, Nia. Biarkan aku dengan Ibunda saja!" Suryawijaya mengusirnya sembari memegang kenop pintu.Nawangsih tersenyum manis sambil menggelengkan kepala. Aku mau di sini, begitu mungkin katanya.Suryawijaya menghela napas panjang sembari mendorong kenop pintu."Ibunda." Suryawijaya menyapa dengan ramah dan datar saat pintu terbentang perlahan.Rinjani mengangguk, meminta keduanya untuk duduk sementara ia masih berkecimpung dengan dunia maya di laptopnya."Ibunda mencariku? Untuk apa?" Suryawijaya duduk di kursi jati."Sebentar!" jawab sang ibu.Suryawijaya mengangguk, tahu kesibukan ibunya yang cukup banyak sekali hingga membuatnya perlu bersabar beberapa saat."Sudah." Rinjani tersenyum sambil menurunkan layar laptopnya seraya menatap kedua anak muda di depannya. Mereka tersenyum sepat."Ibunda meminta kalian untuk datang ke acara syukuran pembukaan sekolah baru. Ibunda tidak bisa hadir karena harus keluar kota.""Hanya akal-akalan Ibunda saja untuk menghiburku!" tukas Suryawijaya, tersenyum samar.Rinjani tersenyum jenaka, ketebak juga rencananya karena tak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu anaknya dalam meluluhkan hati teman hidupnya selain melibatkan keduanya dalam agenda sosial seperti itu."Bagaimana? Tawaran yang cukup menarik, tapi jika tidak mau ya sudah..., Ibunda bisa menyerahkan tugas ini kepada adikmu!"Suryawijaya langsung mengangguk tanpa tedeng aling-aling lagi. "Baik ibu, jam berapa?""Keputusan yang tepat!" seru ibunya, "Pagi jam delapan. Sekalian kencan, sebab kencan juga harus butuh usaha, apalagi harus meluluhkan hati Ayahanda. Usahanya memang lebih susah tapi jangan grusa-grusu." Rinjani menyerahkan berkas yang harus di bawa Suryawijaya besok pagi, berisi alamat, dan uang santunan.Suryawijaya mengangguk setelah memeriksa isi berkas."Selamat malam, Ibunda." Suryawijaya beranjak. "Jangan tidur malam-malam. Ayahanda nampaknya butuh ibu di kamar. " godanya.Rinjani hanya tersenyum sambil mengibaskan tangannya."Baik ibunda." Suryawijaya mengangguk. Nawangsih melihatnya sampai laki-laki itu menghilang dari pandangannya."Kenapa hanya dilihat, kejar saja! Ibunda selesai, tinggal beres-beres berkas lalu ke kamar." kata Rinjani seakan mengerti jeritan hati anak-anaknya.Nawangsih mengatupkan kedua tangannya. Buru-buru ia keluar dari ruang kerja ibunya untuk mengikuti Suryawijaya yang berdiri di belakang pilar.Tak sampai satu menit, Nawangsih berteriak karena kejutan yang Suryawijaya lakukan."Kaget?" goda Suryawijaya, "Aku tunggu besok pagi."Nawangsih menganggukkan kepalanya, ia jadi teringat saat pertama kali bertemu dengan laki-laki itu semasa kecil. Laki-laki yang slalu tersenyum masam jika bertemu dengannya atau diganggu oleh kakak dan adiknya."Aku harus kembali ke kamar. Permisi, Mas. Selamat malam." Nawangsih memberi hormat seraya melangkah lebih dulu meninggalkan Suryawijaya, tapi Suryawijaya mengikuti langkah gadis itu dengan tenang sampai di depan bangunan tua tempat Nawangsih tinggal."Aku bisa di hukum, Mas. Jangan seperti ini. Pulang sana ke rumah utama." Nawangsih mencibir, tapi percuma rasanya, Suryawijaya sudah melakukan itu berulang kali hingga membuatnya kadang risi dan malu.Suryawijaya menyentuh ujung kaki Nawangsih dengan sendal selopnya."Tapi kamu suka, Tania! Kamu suka seperti ini."Pipi Nawangsih langsung merona, jujur saja ia menyukai perhatian kecil yang Suryawijaya berikan."Terima kasih.""Selamat malam, Nia. Jangan rindu, rumahku cuma dekat. Seratus langkah dari sini." Suryawijaya menginjak kaki Nawangsih seraya berbalik.Bukannya terhibur. Di balik pintu berwarna hitam, Nawangsih menyandarkan tubuhnya di daun pintu dengan air muka keruh dan perlahan-lahan tubuh itu luruh ke bawah seakan kehilangan tenaga. Nawangsih tahu dia gadis biasa, melarat, tidak berdarah biru atau minimal spesial, ia hanya pelayan yang harus patuh dengan segala perintah ayah dan ibunya.Jadi, jika cintanya di tentang habis-habisan oleh Kaysan yang mengangkatnya menjadi anak angkat setelah kematian ibu kandungnya, ia masih bisa menjadi selir hati dan tetap menjadi adik Suryawijaya. Tapi Suryawijaya tidak begitu.Suryawijaya laki-laki baik, Nawangsih yakin Suryawijaya akan memperjuangkannya meski dia tahu semua itu harus mereka lewati di jalan yang terjal, curam, berbatuan dan kabut yang membuat pandangan samar-samar.Nawangsih menghela napas lelah. "Sabar.. Kita berjuang sama-sama, Mas!"•••Selamat membaca kisah mas Uya dan Tania.Malam merangkak semakin wening. Suryawijaya menaruh blangkon ke dalam lemari kaca seraya melepas baju kejawennya.Usianya memang belum genap kepala tiga, namun tugasnya sebagai calon penerus usaha keluarga dan abdi budaya sudah berat. Dia kerap mendampingi ayahnya atau mewakili beliau untuk menghadiri acara penting yang berhubungan dengan kenegaraan dan kebudayaan. Namun jika sedang berselisih pendapat dengan beliau, kerap kali dia memilih untuk menepi.Suryawijaya menyelesaikan sepertiga malamnya dengan mengepak pelengkapan pendakian ke dalam tas carrier, ia bertekad untuk mendaki gunung Merbabu setelah menggantikan peran ibunya besok pagi.Selesai mengepak. Suryawijaya merebahkan tubuhnya di ranjang, ia memejamkan mata, namun setiap kali ia menutup mata, ingatan semasa kecil bersama Tania mencuat kembali. Suryawijaya tersenyum, membiarkan dirinya mengenang saat-saat manis itu dalam ingatan.Suara lembut yang malu-malu, tubuh kering kurang gizi dan mata sayu Tania, siapa yang tidak te
"Aku bukan tidak peka, tapi kamu sendiri tahu Ayahanda bagaimana." Suryawijaya menjelaskan ketakutannya setelah mendengar Nawangsih mengomel-omel. "Pakai sabuk pengamannya, biar aman."Nawangsih menarik sudut bibirnya seraya memasang sabuk pengaman dengan kesal. "Mas Surya sih, nggak usah naik gunung. Di rumah aja, ya?" bujuknya dengan nada manis."Lihat nanti. Lagian kamu nggak tau kenapa aku memilih gunung Merbabu, Nia?" goda Suryawijaya sambil menghidupkan mesin mobil.Nawangsih mengendikkan bahu."Itu karena Merbabu adalah Menanti Restu Bapak Ibumu." urai Suryawijaya yang langsung membuat Nawangsih menyunggingkan senyum.•••Perjalanan menuju desa di pinggiran kota membutuhkan waktu dua jam. Mereka keluar dari mobil, di sambut kehebohan warga yang menunggu kedatangan putra Rinjani dengan antusias.Suryawijaya mengangguk ramah sebagai perangai wajib yang umum dilakukan seorang keluarga bangsawan."Selamat pagi semuanya." Suryawijaya menebar senyuman sembari mengatupkan kedua tangann
Mobil melaju dengan kecepatan sedang seperti yang biasanya Suryawijaya lakukan untuk tetap membuat adiknya nyaman. Namun sambil menyetir, benaknya mengingat, ada tiga aturan yang ditanamkan oleh ibunya jika berada di luar rumah bersama Nawangsih :1. Jangan bermesraan.2. Menjadi kakak sejati.3. Jangan ke tempat sepi.Hari ini, Suryawijaya melanggar aturan nomer tiga. Dia membawa Nawangsih ke tempat sepi dan angker di malam hari."Ini seru banget, Mas."Nawangsih memutar tubuhnya di bawah pohon rindang, senyumnya terus merekah ketika Suryawijaya membawanya ke taman Kaliurang."Terima kasih, Mas Surya." ucap Nawangsih tulus. Suryawijaya mengangguk, mematik korek api seraya mengisap rokoknya dalam-dalam."Cari tempat, Tania.""Ya." Nawangsih menatap sekeliling. Dan, tanpa banyak kata, mereka berkeliling di bawah rindangnya pepohonan dan sejuknya udara diiringi suara monyet-monyet liar."Berhentilah merokok, Mas. Kamu merusak udara di sini. Sayang tau oksigen murni harus dibarengi dengan
Nawangsih berkeliling untuk mencari pekerjaan yang bisa dia lakukan setelah melayani Rinjani keesokan harinya."Nawang, sini." Citra melambaikan tangan dari ujung lorong.Nawangsih gegas menghampirinya. "Ada apa, Cit? Mau gosip?" tanyanya dengan nada bercanda seraya mengikutinya pergi ke ruang serbaguna.Citra mengambil gunting bunga dan seember penuh bunga mawar segar agar Nawangsih membantunya menyusun bunga untuk acara nanti malam.Ngeteh ala bangsawan dalam acara formal kekeluargaan."Duduk dulu baru tanya." Citra tersenyum canggung."Ada apa, kenapa wajahmu serius begitu?" Nawangsih heran, tetapi dia meraih gunting bunga seraya mencampakkan daun-daun tua dan durinya.Citra—seorang penari klasik sekaligus pelayan cadangan Ibunya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawangsih.Nawangsih refleks menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi.""Kabarnya memang begitu, Nawang. Nanti malam akan diadakan jamuan makan malam dengan trah keluarga Tirtodiningratan. Kabarny
Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita."Ndomas iseng, aku ngambek."Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja."Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.Suryawijaya me
Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung
Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sek
Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny