Share

Pelayan Hati Sang Pangeran
Pelayan Hati Sang Pangeran
Penulis: Skavivi

Bab 1

Suryawijaya memberanikan diri menatap wajah sang ayah, dalam dadanya ia merasa geram dengan beliau yang masih menolak keras hubungannya dengan Nawangsih. Adik angkatnya.

"Sifat ningrat dan adiluhung sudah berlaku pada diri Tania sejak ia tinggal di sini, Ayahanda. Dia sudah belajar dan mematuhinya. Ayahanda bahkan sudah melihatnya sendiri. Apalagi yang membuat Ayahanda risau?" desak Suryawijaya dengan tidak sabar.

Kaysan menatap putranya dengan tatapan datar tak terbantahkan.

"Tidak perlu menggurui Ayahanda, anakku. Ayahanda lebih memahami apa sifat adiluhung yang kamu pahami." ucapnya disertai kegagahan saat dia menunjukkan garis darahnya yang tinggi dan makmur.

Alis Suryawijaya terangkat ketika jawaban ketus sang ayah masih terdengar alot. Suryawijaya mengembuskan napas sambil menunduk.

"Baiklah Ayahanda, maafkan Suryawijaya sudah lancang." Ia memberi hormat karena percuma melawan ayahnya dengan kata-kata.

Kaysan beranjak, meninggalkan calon penerus yang kerap kali menggunakan nada tinggi jika membicarakan kisah asmaranya.

“Kamu harus lebih banyak bersabar untuk mendapatkan hasil maksimal.”

Suryawijaya menghela napas. Tak menemukan jalan keluar lagi dan lagi dan hanya pada Gusti Allah dan ibunya ia bisa mengadu tentang keluh kesahnya.

"Mas Surya..." panggil Nawangsih.

Gadis yang memakai kebaya berwarna kuning itu mendekatinya, Nawangsih menghaturkan hormat seraya duduk bersimpuh di depan Suryawijaya.

"Ada apa?" tanya Suryawijaya tanpa ekspresi.

"Di panggil Ibunda untuk menemui beliau di ruang kerja, Mas Surya." jawab Nawangsih.

Suryawijaya beranjak sambil mengulurkan tangan untuk membantu Nawangsih berdiri.

"Aku akan mendaki gunung, jangan menungguku pulang!" kata Suryawijaya tiba-tiba.

"Kenapa, Mas?”

"Kamu pura-pura tidak tahu atau lupa, Nawangsih? Aku sedang memperjuangkanmu!" celetuk Suryawijaya setengah jengkel.

Nawangsih tersenyum samar, ia membungkuk untuk membetulkan letak sendal selop yang hendak Suryawijaya pakai.

"Terima kasih." Suryawijaya memaksa senyum meski hatinya bergemuruh.

Nawangsih mengangguk. Mereka keluar dari pendopo rumah, melewati jalanan konblok di bawah temaram lampu taman.

Nawangsih—seorang pelayan, ia harus sigap melayani sang ndoro bei. Tak peduli jika ia adalah anak angkat keluarga bangsawan dan Suryawijaya adalah seseorang yang terikat pada janji ambigu semasa kecil.

"Harus berapa hari aku menunggumu, Mas?"

"Untuk apa?"

"Untuk melihatmu dari jauh." jawab Nawangsih jujur ​​sembari tersenyum.

"Lima hari!" Suryawijaya mengulum senyum. "Jangan menungguku."

"Baiklah, Mas. Biar aku simpan rindu ini selama lima hari!"

Suryawijaya melanjutkan langkahnya ke arah pohon angsana tua. Minimnya cahaya lampu taman membuat mereka lebih leluasa untuk saling pandang ketika Nawangsih juga bergeming di depannya.

Suryawijaya menghela napas dalam-dalam seraya menatap Nawangsih lekat-lekat.

"Apa yang kamu tunggu dariku, Nawangsih? Apa kamu tidak lelah menunggu kepastian dariku?"

"Aku sudah berjanji untuk mengabdikan diri di sini, Mas. Anggap saja sebagai balasan atas kebaikan keluarga besar Ayahanda kepadaku dan ibuku dulu. Iya atau tidak dengan hubungan kita berdua nanti." Nawangsih mengembuskan napas kemudian seolah melepaskan kegagalan dalam bersuara tenang.

Suryawijaya berdecak kesal. Bukan pernyataan ini yang aku harapkan dari kamu Tania, tapi kekuatan baru untukku. Sebuah kejujuran rasa, rayuan atau apapun itu tentang perasaan.

"Terserah." Suryawijaya kembali menapaki konblok demi konblok untuk mendatangi ruang kerja ibunya sementara Nawangsih mengekorinya untuk melihat keinginan apa yang akan ibu mereka sampaikan.

"Pergilah ke kamarmu, Nia. Biarkan aku dengan Ibunda saja!" Suryawijaya mengusirnya sembari memegang kenop pintu.

Nawangsih tersenyum manis sambil menggelengkan kepala. Aku mau di sini, begitu mungkin katanya.

Suryawijaya menghela napas panjang sembari mendorong kenop pintu.

"Ibunda." Suryawijaya menyapa dengan ramah dan datar saat pintu terbentang perlahan.

Rinjani mengangguk, meminta keduanya untuk duduk sementara ia masih berkecimpung dengan dunia maya di laptopnya.

"Ibunda mencariku? Untuk apa?" Suryawijaya duduk di kursi jati.

"Sebentar!" jawab sang ibu.

Suryawijaya mengangguk, tahu kesibukan ibunya yang cukup banyak sekali hingga membuatnya perlu bersabar beberapa saat.

"Sudah." Rinjani tersenyum sambil menurunkan layar laptopnya seraya menatap kedua anak muda di depannya. Mereka tersenyum sepat.

"Ibunda meminta kalian untuk datang ke acara syukuran pembukaan sekolah baru. Ibunda tidak bisa hadir karena harus keluar kota."

"Hanya akal-akalan Ibunda saja untuk menghiburku!" tukas Suryawijaya, tersenyum samar.

Rinjani tersenyum jenaka, ketebak juga rencananya karena tak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu anaknya dalam meluluhkan hati teman hidupnya selain melibatkan keduanya dalam agenda sosial seperti itu.

"Bagaimana? Tawaran yang cukup menarik, tapi jika tidak mau ya sudah..., Ibunda bisa menyerahkan tugas ini kepada adikmu!"

Suryawijaya langsung mengangguk tanpa tedeng aling-aling lagi. "Baik ibu, jam berapa?"

"Keputusan yang tepat!" seru ibunya, "Pagi jam delapan. Sekalian kencan, sebab kencan juga harus butuh usaha, apalagi harus meluluhkan hati Ayahanda. Usahanya memang lebih susah tapi jangan grusa-grusu." Rinjani menyerahkan berkas yang harus di bawa Suryawijaya besok pagi, berisi alamat, dan uang santunan.

Suryawijaya mengangguk setelah memeriksa isi berkas.

"Selamat malam, Ibunda." Suryawijaya beranjak. "Jangan tidur malam-malam. Ayahanda nampaknya butuh ibu di kamar. " godanya.

Rinjani hanya tersenyum sambil mengibaskan tangannya.

"Baik ibunda." Suryawijaya mengangguk. Nawangsih melihatnya sampai laki-laki itu menghilang dari pandangannya.

"Kenapa hanya dilihat, kejar saja! Ibunda selesai, tinggal beres-beres berkas lalu ke kamar." kata Rinjani seakan mengerti jeritan hati anak-anaknya.

Nawangsih mengatupkan kedua tangannya. Buru-buru ia keluar dari ruang kerja ibunya untuk mengikuti Suryawijaya yang berdiri di belakang pilar.

Tak sampai satu menit, Nawangsih berteriak karena kejutan yang Suryawijaya lakukan.

"Kaget?" goda Suryawijaya, "Aku tunggu besok pagi."

Nawangsih menganggukkan kepalanya, ia jadi teringat saat pertama kali bertemu dengan laki-laki itu semasa kecil. Laki-laki yang slalu tersenyum masam jika bertemu dengannya atau diganggu oleh kakak dan adiknya.

"Aku harus kembali ke kamar. Permisi, Mas. Selamat malam." Nawangsih memberi hormat seraya melangkah lebih dulu meninggalkan Suryawijaya, tapi Suryawijaya mengikuti langkah gadis itu dengan tenang sampai di depan bangunan tua tempat Nawangsih tinggal.

"Aku bisa di hukum, Mas. Jangan seperti ini. Pulang sana ke rumah utama." Nawangsih mencibir, tapi percuma rasanya, Suryawijaya sudah melakukan itu berulang kali hingga membuatnya kadang risi dan malu.

Suryawijaya menyentuh ujung kaki Nawangsih dengan sendal selopnya.

"Tapi kamu suka, Tania! Kamu suka seperti ini."

Pipi Nawangsih langsung merona, jujur saja ia menyukai perhatian kecil yang Suryawijaya berikan.

"Terima kasih."

"Selamat malam, Nia. Jangan rindu, rumahku cuma dekat. Seratus langkah dari sini." Suryawijaya menginjak kaki Nawangsih seraya berbalik.

Bukannya terhibur. Di balik pintu berwarna hitam, Nawangsih menyandarkan tubuhnya di daun pintu dengan air muka keruh dan perlahan-lahan tubuh itu luruh ke bawah seakan kehilangan tenaga. Nawangsih tahu dia gadis biasa, melarat, tidak berdarah biru atau minimal spesial, ia hanya pelayan yang harus patuh dengan segala perintah ayah dan ibunya.

Jadi, jika cintanya di tentang habis-habisan oleh Kaysan yang mengangkatnya menjadi anak angkat setelah kematian ibu kandungnya, ia masih bisa menjadi selir hati dan tetap menjadi adik Suryawijaya. Tapi Suryawijaya tidak begitu.

Suryawijaya laki-laki baik, Nawangsih yakin Suryawijaya akan memperjuangkannya meski dia tahu semua itu harus mereka lewati di jalan yang terjal, curam, berbatuan dan kabut yang membuat pandangan samar-samar.

Nawangsih menghela napas lelah. "Sabar.. Kita berjuang sama-sama, Mas!"

•••

Selamat membaca kisah mas Uya dan Tania.

Komen (16)
goodnovel comment avatar
Nuel Grace Fun
semoga selalu langgeng mbak.
goodnovel comment avatar
Cut Siti Nuryani
Baru tau ada novel mba Selvi disini
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
mbak vv.....aq ketinggalan mas surya wijaya... es batu musuh om oyen.... mak e hadir d sini mas surya....kepo kisah panjenengan kalian tania....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status