Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.
Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sekuat baja, dan setangguh benteng kerajaan!" ucapnya penuh tekad seraya berdandan.Ketukan pintu membuat Nawangsih menoleh, ia menutup wadah bedak seraya menyemprotkan kolonye dan membuka pintu."Rara Nawangsih.""Nggih."Nawangsih membungkuk hormat kepada Eyang Ningrum, pinisepuh sekaligus guru yang membantunya belajar menjadi ningrat yang bermartabat.•••Di ruang keluarga. Suryawijaya menunggu kedatangan dua putri Tirtodiningratan tanpa ekspresi menggebu-gebu atau penasaran. Ia terlihat biasa saja, nyaris boring dan tak berselera."Bagaimana, Nawangsih?" tanyanya kepada Iwan.Iwan membungkuk hormat. "Rara Nawangsih sedang belajar bersama Eyang Ningrum." jawabnya sopan."Bagaimana keadaannya?" ulangnya lagi.Iwan kontan menatap sang pangeran."Bagaimana keadaannya?" Iwan membeo, Suryawijaya mengangguk tegas."Keadaannya patah hati!"Plengeh. Iwan memberi hormat. Mohon ampun, nyaris nyembah-nyembah saat Suryawijaya berdehem galak."Apa dia masih menangis?" tanyanya dengan suara yang dipaksa untuk terdengar gagah.Sekali lagi Iwan mendongkak, haruskah ia mengatakan semua yang dialami Nawangsih tadi malam.Bagaimanapun Iwan juga tidak tahu pasti, ia hanya mendapatkan informasi tentang Nawangsih dari Citra jika gadis itu semalam menangis di kamar sambil curhat."Sudah pasti, lha wong namanya patah hati, Raden! Rara Nawangsih pasti menangis, semalaman!" tegasnya di akhir kalimat yang kontan membuat riuh suasana hati Suryawijaya."Pastikan dia tetap berada di dalam keputren sampai kedua perempuan nanti pergi!" titah Suryawijaya. Iwan patuh. Tapi, dia tahu urusannya tidak semudah itu, ia harus mencari Citra, membujuknya untuk mengunci Nawangsih di kamar dan segera bergegas bersamaan dengan pintu yang terbuka.Keneswari Syalindri dan Dyah Kinasih memberi hormat kepada Suryawijaya di ambang pintu.Suryawijaya mengangguk, ia mempersilahkan kedua tamunya duduk."Raden, ini ada titipan dari Ayah. Mohon maaf beliau tidak bisa ikut hadir pagi ini." Keneswari tersenyum rikuh seraya menyerahkan kotak kayu jati berukuran tiga puluh centimeter."Tidak masalah, kalian bukan anak-anak yang harus di jaga oleh orang tua!"Suryawijaya membuka kotak yang berisi keris pusaka, salah satu keris kesayangan Adhiwiryo. Ia membolak-balik kerisnya, meneliti dengan saksama, menyentuh ukirannya dan berlagak menilai kerisnya, padahal ia hanya menguji kedua gadis ini apakah sabar atau tidak menghadapi keanehannya.Keneswari dan Dyah saling melempar pandang. Mereka mengernyit, Suryawijaya tidak mengatakan apapun. Laki-laki itu asyik dengan kerisnya. Hanya napas yang terdengar darinya sebagai tanda laki-laki itu bukan patung gupolo."Jika bukan karena Ayah, aku enggan menghadapi pangeran ini. Tidak tersentuh dan harga dirinya kelewat besar!"Keneswari mengubah posisinya duduk."Mau sampai kapan dia akan seperti itu!" cibirnya dalam hati.Keneswari yang menjadi kandidat nomer satu putri persembahan menghela napas, profesinya sebagai model dan influencer seharusnya tidak perlu melakoni perjodohan terkutuk ini, apalagi menjadi pengemis cinta. Keneswari mahir mencari pria yang akan mengagungkannya sebagai seorang putri. Tapi demi Adhiwiryo dan trah Tirtodiningratan yang sedang mengalami krisis keuangan mengharuskannya membuat keputusan besar.Suryawijaya tersenyum. "Keris asli dan sangat berisi." ucapnya seraya mengembalikan keris tersebut ke dalam kotak kayu. "Ucapkan terima kasih kepada Romo Adhiwiryo atas keris ini, saya menyukainya!"Senyum hangat yang sempat Dyah lihat membuatnya tersipu. "Raden." ucapnya keceplosan."Ya! Siapa namamu?" balas Suryawijaya lembut."Dyah Kinasih, Raden!"Suryawijaya mengangguk. Meneliti dua gadis di depannya yang memiliki paras yang berbeda. Yang satu ayu dan pandai merawat diri. Yang satu polos dan manis, mirip Nawangsih."Apa bakat kalian? Selain menari atau apapun yang berkaitan dengan tradisi kerajaan." tegas Suryawijaya bertanya.Bakat diperlukan sebagai bentuk harga diri wanitanya nanti terlepas dari gelar kebangsawanan mereka.Keneswari dan Dyah bertatapan."Saya seorang model, Raden!" jawab Keneswari, tak perlu ada kebohongan karena percuma laki-laki itu akan mencari informasi sedetail mungkin dari orang suruhannya. Iwan. Pria yang sudah mengabdikan diri kepada Suryawijaya selama satu dekade."Baik. Lalu bagaimana dengan Dyah?"Dyah gelagapan, masih salah tingkah dengan pesona Suryawijaya. Lagi, dan lagi pipinya bersemu merah."Jawab, Dy!" sahut Keneswari.Dyah menatap Suryawijaya, seperti terhipnotis gadis ini justru diam, kehabisan kata-kata.Suryawijaya menghirup napas dalam-dalam. Dipandangnya gadis itu sekejap saja. "Saya pastikan kamu masih kuliah, benar?"Dyah mengangguk cepat. "Jurusan arsitektur, Raden. Susah banget gambarnya, saya sampai pusing bikin skripsinya! Ditolak terus." urai Dyah dengan polos hingga Suryawijaya tersenyum lebar."Selesaikan skripsimu jika ingin menikah, tapi tidak perlu buru-buru karena saya juga harus menyelesaikan S2 saya."Dyah mengangguk cepat. Mulutnya yang hendak menjawab lagi kontan terkatup rapat saat Suryawijaya kembali berkata dengan nada lugas."Perjodohan ini tidak akan terjadi begitu saja. Kalian bisa menikmati waktu kalian seperti biasanya."Keneswari mendengus dingin."Perjodohan ini tidak akan membuahkan hasil maksimal jika kita tidak saling mengenal, Raden! Lagipula ini bukan soal perjodohan saja, ini soal tanggung jawab sesama abdi budaya!"Suryawijaya tergelak dengan penuturan gadis itu. "Tanggung jawab bersama? Bagaimana dengan masalah internal keluarga Tirtodiningratan? Kenapa harus menagih janjinya sekarang? Kenapa? Sudah diperbaiki apa hanya dibiarkan berlarut-larut?" Alis Suryawijaya terangkat tinggi-tinggi.Keneswari merasa tersudut, untuk urusan internal keluarganya yang seabrek tidak ia ketahui pasti akar masalahnya, jelas gadis ini harus pandai bersilat lidah, ia harus mencari alasan yang pas agar mudah meluluhkan hati Suryawijaya. Dan yang paling penting adalah mendapatkan gelar Kanjeng Ratu dan memiliki bagian tertinggi dari kerajaan ini."Kita lihat nanti, Raden. Bagaimana cinta akan bekerja karena saya rasa hutang tetaplah hutang yang harus di lunasi dengan sungguh-sungguh." jawab Keneswari.Suryawijaya menegakkan tubuhnya dengan jumawa."Hutang memanglah tetap hutang, Keneswari. Tapi jangan lupakan satu hal ini, hutang bisa di bayar dengan cara lain dan jika semesta ikut andil dalam urusan ini. Hutang bisa lunas dengan cara itu!" urainya dengan percaya diri sembari tersenyum lebar.Pasti bisa lunas, pasti. Ibunda dan Ayahanda tidak akan tinggal diam.Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku