Nawangsih berkeliling untuk mencari pekerjaan yang bisa dia lakukan setelah melayani Rinjani keesokan harinya.
"Nawang, sini." Citra melambaikan tangan dari ujung lorong.Nawangsih gegas menghampirinya. "Ada apa, Cit? Mau gosip?" tanyanya dengan nada bercanda seraya mengikutinya pergi ke ruang serbaguna.Citra mengambil gunting bunga dan seember penuh bunga mawar segar agar Nawangsih membantunya menyusun bunga untuk acara nanti malam.Ngeteh ala bangsawan dalam acara formal kekeluargaan."Duduk dulu baru tanya." Citra tersenyum canggung."Ada apa, kenapa wajahmu serius begitu?" Nawangsih heran, tetapi dia meraih gunting bunga seraya mencampakkan daun-daun tua dan durinya.Citra—seorang penari klasik sekaligus pelayan cadangan Ibunya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawangsih.Nawangsih refleks menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi.""Kabarnya memang begitu, Nawang. Nanti malam akan diadakan jamuan makan malam dengan trah keluarga Tirtodiningratan. Kabarnya lagi, kakakmu itu mau dijodohkan.""Nggak, aku nggak percaya." Nawangsih menggeleng kuat-kuat sementara detak jantungnya berpacu dengan cepat. Dia tidak menyangka jika desas-desus yang selama ini dia anggap sebagai angin lalu menjadi badai seketika."Pasti bercanda, ya? Keluarga tidak ada yang memberitahuku."Citra merangkul bahunya sembari menggelengkan kepala. "Semua yang ada di depanmu ini nyata, Nawang. Nggak ada yang bercanda dan tidak ada yang mau memberitahumu jauh-jauh hari karena untuk menjaga perasaanmu. Jangan nangis."Nawangsih menaruh gunting dan menyelipkan mawar merah ke dalam vas. Matanya yang menghangatkan membuatnya perlu mengusap wajah sesaat."Ternyata waktu nggak bisa menghentikan gejolak itu tapi kenapa secepat ini Ayahanda? Kenapa Ayahanda tidak melihat ketulusan cintaku untuk Mas Suryawijaya? Kenapa, Ayahanda?"Nawangsih mengusap wajahnya sebelum air mata menetes lagi di pipinya dan menatap Citra."Yang ikhlas, Nawangsih!" Citra memeluk Nawangsih, menguatkannya. "Kamu ini orang pilihan, dan menjadi anak angkat keluarga besar ini adalah keistimewaan tersendiri. Kamu harus bersyukur. Ayo, jangan sedih. Biar Mas Suryawijaya tidak ikut sedih melihatmu begini." hiburnya sembari mengelus-elus punggungnya.Nawangsih menghela napas. "Tapi aku mau Mas Surya juga sedih, Citra! Dia mencintaiku. Dia tidak bisa bersama orang yang tidak dia cintai, kamu tahu kan Mas Surya gimana?"Citra meringis. Barang siapa yang ingin berurusan dengan Mas Suryawijaya harus siap dengan segala risikonya. Dicueki dan nyaris tidak dianggap apalagi jika lawan bicaranya perempuan. Naas bagi perempuan itu, pulang-pulang langsung kecewa.Dia pernah merasakannya, jadi dia bisa membayangkan bagaimana perempuan yang akan dijodohkan dengan Suryawijaya nanti. Makan hati setiap hari!Citra jadi meringis. "Jadi apa yang kamu takutkan, Nawangsih. Bagus kan? Nanti perang mulu, cerai dan kembali kepadamu.""Hush!" sergah pelayan sepuh, "jaga bicaramu cah ayu!" katanya dengan tegas.Nawangsih dan Citra menunduk sambil tersenyum formal. Beruntung yang diintrupsi hanya tawa mereka, bukan apa yang mereka bicarakan."Pantas semalam aku mimpi buruk, Cit! Mas tidak memberitahu apa-apa soal itu. Dia juga sudah pergi ke kampus pagi-pagi sekali. Dia pasti sengaja menghindar!" tukas Nawangsih dengan suara serak.Citra mengangguk. "Kalau begitu kamu nanti dandan yang cantik, biar kakak kesayanganmu itu tidak berpaling. Oke? Aku bantu dandan nanti!"Nawangsih mengiyakan karena patah hati butuh teman, apalagi Citra teman seperjuangannya.•••Beberapa jam menyendiri dan melahirkan sejuta pikiran yang membuatnya sakit hati. Nawangsih pergi ke ruang tamu, dia ikut merapikan ruangan yang akan menjadi saksi patah hatinya nanti malam.Citra yang membawa bunga-bunga bermekaran dan tersusun rapi di dalam vas klasik menyapa Nawangsih."Istirahat saja Nawang atau luluran dulu biar shining bright like diamond." guraunya sambil menaruh vas di meja. "Aku ke belakang lagi, masih banyak yang harus di bawa."Nawangsih mengiyakan sebelum seseorang memanggilnya."Nawangsih, di cari Ibu, di suruh segera menemui beliau di ruangannya."Nawangsih mengangguk, dia bergegas ke ruang kerja Rinjani.Dari ambang pintu yang dibiarkan terbuka, dia menyapa dengan santun. "Selamat siang, Ibunda. Ibu memanggilku?"Rinjani tersenyum hangat. "Kemarilah, cah ayu.""Ibunda sudah pulang sejak tadi?" Nawangsih mencium punggung tangan ibunya seraya duduk di sebelahnya."Baru saja, cah ayu. Kebetulan memang ibu sudah selesai kerja." Rinjani meraih tas belanja berisi kebaya modern dari desainer langganannya. "Pakailah ini untuk nanti malam."Mendadak, Nawangsih merasa lemas. Betapa kecewanya dia padahal baru kemarin dia merasa memiliki Suryawijaya.Nawangsih menyandarkan kepala di lengan ibunya. Ternyata, beliau pun sudah menyiapkan kebaya untuk acara Royal Highness Tea and Talk nanti malam, kebaya putih yang akan membuat Nawangsih cantik dan elegan."Temani ibu, ya." pinta Rinjani.Nawangsih mengerucutkan bibir seraya menatap ibunya dengan sendu bagai anak ayam yang takut kehilangan induknya.Rinjani tersenyum geli sembari merapikan anak rambut Nawangsih sebelum mengecup keningnya."Mana bisa putraku jauh-jauh darimu, Nawangsih. Dia amat mencintaimu, tapi cobalah memahami situasi sekarang, ini berat bagi Suryawijaya, bagi keluarga kita juga."Nawangsih tersenyum kecil saat menerima cubitan gemas di hidungnya."Apa ada masalah yang tidak Nawangsih ketahui, Ibu?" tanya gadis itu sebab tak dipungkiri bahwa ia tahu beberapa konflik internal yang disembunyikan oleh orang tuanya dari khayalak umum. Dia tidak yakin apa itu istilahnya, yang dia tahu, masalahnya cukup besar sampai-sampai bernapas pun terasa sukar."Bisa jadi nanti malam akan menjadi jawabannya, Nawangsih. Tapi semoga saja Ayahanda berubah pikiran dan tidak perlu melestarikan tradisi kolot ini. Iya to?"Nawangsih mengangguk setuju. Perjodohan itu sudah kuno, sudah ditinggalkan sejak era kepemimpinan ayahnya saat ini. Lagipula, ia tidak mau menjadi Anarkali di dunia modern, cukup Anarkali dari dinasti Mughal yang menjadi budak dan pelacur untuk sang putra mahkota hingga akhirnya berakhir tragis. Aku jangan, batin Nawangsih."Ibunda ada di pihak siapa?" tanya Nawangsih polos.Ibunya yang masih memakai kebaya lengkap tertawa kecil, lengannya memeluk Nawangsih erat-erat."Ibunda tidak bisa memihak siapapun, Nawangsih. Karena kamu mengerti, perempuan di sini hanya seperti pelengkap. Opininya kadang di dengarkan, kadang tidak. Tidak masalah, wanita akan slalu menjadi yang terbelakang soal ini, tapi wanita jauh lebih kuat daripada pria sebab mereka lemah karena cinta, dan wanita kuat karena cinta! Mengerti sayang?""Aku mengerti, Ibu." Nawangsih menyunggingkan senyum, membalas pelukan ibunya yang sehangat sinar matahari."Temui Suryawijaya, sepertinya dia sudah pulang dari kampus.""Ayahanda?""Ayahanda sedang kunjungan diplomatik. Tenanglah."Nawangsih mencium punggung tangan ibunya seraya membawa tas belanjanya tadi. "Terima kasih, Ibu." ucapnya sembari membungkuk hormat. Entah sudah berapa kali dalam sehari ia mengucapkan kalimat itu. Karena hanya itulah yang mampu Nawangsih ucapkan untuk membalas semua kebaikan yang dia peroleh dari keluarga itu. Begitupun sembah baktinya yang mungkin akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri suatu saat nanti.•••"Mas Surya."Suryawijaya menaikkan pandangannya dari layar laptop, bibirnya tersenyum melihat Nawangsih membawa kopi hitam dan cemilan kesukaannya."Ada apa, Nawangsih? Mau ngomel-ngomel soal nanti malam?" tebak Suryawijaya.Nawangsih berdehem sebelum tersenyum hangat."Di minum, Mas. Ini spesial buatan Nawangsih. Tidak ada duanya." ucapnya percaya diri meski sebenarnya dia merasa akan terintimidasi oleh putri-putri dari keluarga Tirtodiningratan.Sepanjang hari ini saja Nawangsih sudah cemas, belum acara nanti malam, makin tak karuan hatinya. Makin banyak pikirannya. Stress jadinya."Terima kasih, adikku. Kamu tahu keinginanku sekarang." Suryawijaya berkata serius.Nawangsih ternganga. Baru juga kemarin saling berbagi cerita dan menghabiskan waktu berdua selayaknya muda-mudi yang sedang kencan pertama. Sekarang, laki-laki ini menganggapnya adik di saat yang tidak tepat pula.Nawangsih cemberut. "Jangan anggapku adik, Mas!" protesnya."Lalu apa? Kakak? Mbak Lilah akan marah kalau posisi kamu ambil alih!" goda Suryawijaya."Soulmate gitu, masa adik!" Nawangsih mendesah kesal, tapi justru terdengar manja di telinga Suryawijaya."Iya, iya. Terserah apa mau kamu, Nia. Asal jangan menjadikan aku orang lain di hatimu. Setuju?"Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku