Malam merangkak semakin wening. Suryawijaya menaruh blangkon ke dalam lemari kaca seraya melepas baju kejawennya.
Usianya memang belum genap kepala tiga, namun tugasnya sebagai calon penerus usaha keluarga dan abdi budaya sudah berat. Dia kerap mendampingi ayahnya atau mewakili beliau untuk menghadiri acara penting yang berhubungan dengan kenegaraan dan kebudayaan. Namun jika sedang berselisih pendapat dengan beliau, kerap kali dia memilih untuk menepi.Suryawijaya menyelesaikan sepertiga malamnya dengan mengepak pelengkapan pendakian ke dalam tas carrier, ia bertekad untuk mendaki gunung Merbabu setelah menggantikan peran ibunya besok pagi.Selesai mengepak. Suryawijaya merebahkan tubuhnya di ranjang, ia memejamkan mata, namun setiap kali ia menutup mata, ingatan semasa kecil bersama Tania mencuat kembali. Suryawijaya tersenyum, membiarkan dirinya mengenang saat-saat manis itu dalam ingatan.Suara lembut yang malu-malu, tubuh kering kurang gizi dan mata sayu Tania, siapa yang tidak tergerak nalurinya untuk menjaganya.•••Tepat pukul setengah lima pagi, Suryawijaya selesai membersihkan diri sebelum menghabiskan waktu di kamar untuk memeriksa tugas kuliah yang menumpuk dengan serius. "Ini kalau sampai tidak selesai-selesai, kepalamu sudah penuh.”Satu jam kemudian, ia menunggu Nawangsih di bangku taman yang tak jauh dari bangunan tua tempat Nawangsih berada."Selamat pagi, Mas Surya." Nawangsih membungkukkan badannya membuat seulas senyum terbit dari bibir Suryawijaya."Pagi, Tania. Sepertinya kamu lupa membawa teh tawar pesananku" pintanya dengan sengaja.Nawangsih mengangguk lantas pergi ke dapur. Tak perlu waktu lama, ia membawa satu poci teh hangat dan dua buah cangkir teh kecil."Silakan di minum. Tapi setelah ini, aku harus mengganti bunga di kamar Ibunda!" Nawangsih meminta izin setelah menuangkan teh untuknya.Suryawijaya menepuk sebelah kiri tempat duduknya. "Duduklah, temani aku dulu!"Nawangsih mengangguk, hanya itu yang mampu ia lakukan sebagai adik yang tidak dapat membatah kakaknya. Sedari kecil, Suryawijaya slalu menjadi si tukang perintah yang enggan di bantah.Suryawijaya mengulum senyum seraya menyesap teh sambil menatap serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para pelayan rumah tangga tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada gadis di sampingnya.Dan, lama kelamaan, Nawangsih duduk semakin gelisah. "Mas Surya, apa aku boleh permisi?" tanyanya, banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan.Suryawijaya yang telah menangkap maksud Nawangsih, bangkit dari tempat duduknya. "Mari sarapan bersama dengan Ibunda." ajaknya dengan riang.Nawangsih menggeleng perlahan, ia memang sudah lama menjadi anak angkat ndoro bei, namun acap kali ia masih takut menjadi bagian dari keluarga inti."Tidak menurut itu artinya kamu membangkang perintahku, Tania!""Mas Surya!” pekik Nawangsih dengan suara tertahan. Demi apa pun, ia memang tunduk kepada ndoro bei dan semua antek-anteknya. Tapi Suryawijaya?Lihatlah... dia meringis, sengaja mengerjai gadis itu karena ketakutannya kepada ayahnya."Ayahanda tidak akan marah di hadapan Ibunda! Tenanglah, sudah ada pawangnya." ucap Suryawijaya sembari tersenyum lebar.Nawangsih semakin bingung, Rinjani adalah wanita yang sangat penting baginya, bukan hanya karena perlindungan yang beliau berikan kepadanya. Tapi juga kasih sayangnya yang tak memandang kasta, tahta dan strata sosial lainnya."Aku harus mengganti bunga di kamar Ibunda, Mas. Saya permisi, tunggu saja nanti.” elaknya."Baik, Tania. Aku tunggu." Suryawijaya mengibaskan tangannya, dan Nawangsih segera berlalu menuju ruangan yang menyimpan persediaan bunga-bunga."Ibu..."Wanita yang memakai kebaya kutu baru itu mengangguk dan tersenyum saat Nawangsih masuk ke dalam kamarnya."Selamat pagi, Tania." sapa Rinjani.Nawangsih tersenyum ramah seraya menaruh bunga setaman dan bunga sedap malam di tempat biasanya.Rinjani melambaikan tangan saat Nawangsih sudah menyelesaikan tugasnya. "Kemarilah, duduk di dekat Ibu!"Nawangsih mengangguk, dengan malu-malu ia mendekati ibu angkatnya."Ada apa, Ibu?”"Duduk cah ayu!" Wanita itu tersenyum hangat. Nawangsih menurut. Rinjani lantas meraih tangan Nawangsih dan mengelus punggung tangannya penuh kasih sayang."Ayahanda tidak di rumah. Pergilah dengan Suryawijaya, piknik atau kemana gitu seperti anak muda lainnya." Sang ibu menyarankan.Nawangsih membalas tatapan itu sama hangatnya, tapi ia malah mengendikkan bahu. "Takut, Ibunda!" ucapnya kalem, namun buru-buru ia mengangguk patuh karena perlu diketahui, sudah lama Nawangsih mendengarkan petuah bijak dari Rinjani tentang perjuangan kisah asmaranya dulu bersama Kaysan. Dan, sebelum ia memberi wejangan dan nasihat yang panjang lebar sampai berbusa-busa, Nawangsih memilih menurut."Selagi ada kesempatan gunakan sebaik-baiknya. Mari sarapan!" ajak Rinjani dengan lembut.Nawangsih membantu mengaitkan kalung emas di leher Rinjani seraya mengekori beliau ke ruang makan.Di sana, Suryawijaya dan Pandu Mahendra duduk bersama."Selamat pagi, Ibundaku yang cantik!" Pandu tersenyum lebar, seraya menarik kursi untuk ibunya duduki."Selamat pagi, anakku lanang. Terima kasih."Pandu melirik Nawangsih yang dulu sewaktu kecil kerap ia jahili."Selamat pagi, adik. Sepertinya cuaca hari ini panas. Enaknya jalan-jalan kemana, ya? Ke puncak gunung?" guraunya dengan riang dan sudah biasa Nawangsih telan bulat-bulat."Selamat pagi semuanya." balas Nawangsih seraya mengambil tempat di samping Pandu Mahendra. Sekilas tatapannya tertuju pada Suryawijaya yang diam saja tanpa menyapanya.‘Tumben aneh kelakuannya.'Perbincangan hangat berlanjut sekejap hingga sarapan pagi mereka tersaji di meja makan."Jadi bagaimana, apakah kalian butuh bala bantuan?" tanya Rinjani kepada Suryawijaya dan Nawangsih setelah sarapan selesai."Kami berdua sudah cukup, Ibunda. Aku harus siap-siap di kamar. Permisi."Rinjani mengangguk, segera Suryawijaya meninggalkan ruang makan di ikuti oleh Nawangsih."Mereka berdua itu cinta. Tapi apa daya restu dari Ayahanda tidak turun-turun juga. Kasian, kasian!" keluh Pandu dengan nada iba.Rinjani hanya tersenyum lebar mendengar anak bungsunya berkomentar."Andai restu bisa turun seperti hujan, pasti mas Surya bakal teriak... HUJAN BISAKAH AKU MEMINTA RESTU?""Ngomong apa kamu?" sergah Suryawijaya tiba-tiba.Pandu refleks menunduk sambil menahan tawa ketika Suryawijaya meraih ponselnya yang tertinggal di meja makan dengan raut wajah kesal."Awas kamu ngomong ngawur lagi!" ancam Suryawijaya.Pandu cengengesan, ia mengatupkan kedua tangannya seraya pergi untuk menghindari tatapan Suryawijaya yang dingin dan serius."Selamet, selamet!" celoteh Pandu sambil mengelus dadanya. "Bisa gawat kalau tadi kang mas marah, makin seram wajahnya!"Di ruang makan, Suryawijaya mengeraskan rahang mendapati ibunya juga menahan tawa."Ibunda!"Rinjani mengibaskan tangan tanpa memandang wajah anak keduanya yang kesal dengan celotehan Pandu."Seperti tidak mengenal adikmu saja, Le! Sudah sana pergi, Nawangsih sudah siap."Suryawijaya mencium punggung tangan ibunya seraya pergi ke kamarnya lagi.Sementara itu, Nawangsih sudah cantik dengan balutan dress batik modern. Rambutnya dibiarkan tergerai indah di depan cermin."Begini lebih bagus sepertinya." Nawangsih memasang jepitan rambut.Selesai mematut diri di cermin, Nawangsih menarik tas selempangnya seraya menuju pelataran parkir."Mas... Kenapa bawa tas carrier?" tanya Nawangsih penasaran sembari mempercepat langkahnya. "Jadi pergi ke gunung Merbabu?" imbuhnya manakala Suryawijaya hanya diam sambil membuka bagasi mobil."Mas Surya!"Brak.Pintu bagasi tertutup, Suryawijaya berbalik untuk memandanginya."Rencanaku tidak ada yang berubah."Nawangsih mendengus. "Padahal aku tadi di suruh Ibunda jalan-jalan kemana gitu pumpung Ayahanda pergi! Tapi Mas Surya malah pergi sendiri. Nggak seru, padahal ini kesempatan langka!"Suryawijaya mencondongkan tubuhnya seraya berkata lembut. "Iya, jalan-jalan dulu baru naik gunung! Boleh?" tawarnya.Gadis itu tersenyum sambil menggeleng kuat-kuat. Harap di catat! Merayu gadis tidak semudah itu Suryawijaya, pikir Nawangsih seraya masuk ke dalam mobil."Kesempatan bagus ini, bisa-bisanya milih naik gunung! Ah, Mas Surya, kapan lumernya sih?""Aku bukan tidak peka, tapi kamu sendiri tahu Ayahanda bagaimana." Suryawijaya menjelaskan ketakutannya setelah mendengar Nawangsih mengomel-omel. "Pakai sabuk pengamannya, biar aman."Nawangsih menarik sudut bibirnya seraya memasang sabuk pengaman dengan kesal. "Mas Surya sih, nggak usah naik gunung. Di rumah aja, ya?" bujuknya dengan nada manis."Lihat nanti. Lagian kamu nggak tau kenapa aku memilih gunung Merbabu, Nia?" goda Suryawijaya sambil menghidupkan mesin mobil.Nawangsih mengendikkan bahu."Itu karena Merbabu adalah Menanti Restu Bapak Ibumu." urai Suryawijaya yang langsung membuat Nawangsih menyunggingkan senyum.•••Perjalanan menuju desa di pinggiran kota membutuhkan waktu dua jam. Mereka keluar dari mobil, di sambut kehebohan warga yang menunggu kedatangan putra Rinjani dengan antusias.Suryawijaya mengangguk ramah sebagai perangai wajib yang umum dilakukan seorang keluarga bangsawan."Selamat pagi semuanya." Suryawijaya menebar senyuman sembari mengatupkan kedua tangann
Mobil melaju dengan kecepatan sedang seperti yang biasanya Suryawijaya lakukan untuk tetap membuat adiknya nyaman. Namun sambil menyetir, benaknya mengingat, ada tiga aturan yang ditanamkan oleh ibunya jika berada di luar rumah bersama Nawangsih :1. Jangan bermesraan.2. Menjadi kakak sejati.3. Jangan ke tempat sepi.Hari ini, Suryawijaya melanggar aturan nomer tiga. Dia membawa Nawangsih ke tempat sepi dan angker di malam hari."Ini seru banget, Mas."Nawangsih memutar tubuhnya di bawah pohon rindang, senyumnya terus merekah ketika Suryawijaya membawanya ke taman Kaliurang."Terima kasih, Mas Surya." ucap Nawangsih tulus. Suryawijaya mengangguk, mematik korek api seraya mengisap rokoknya dalam-dalam."Cari tempat, Tania.""Ya." Nawangsih menatap sekeliling. Dan, tanpa banyak kata, mereka berkeliling di bawah rindangnya pepohonan dan sejuknya udara diiringi suara monyet-monyet liar."Berhentilah merokok, Mas. Kamu merusak udara di sini. Sayang tau oksigen murni harus dibarengi dengan
Nawangsih berkeliling untuk mencari pekerjaan yang bisa dia lakukan setelah melayani Rinjani keesokan harinya."Nawang, sini." Citra melambaikan tangan dari ujung lorong.Nawangsih gegas menghampirinya. "Ada apa, Cit? Mau gosip?" tanyanya dengan nada bercanda seraya mengikutinya pergi ke ruang serbaguna.Citra mengambil gunting bunga dan seember penuh bunga mawar segar agar Nawangsih membantunya menyusun bunga untuk acara nanti malam.Ngeteh ala bangsawan dalam acara formal kekeluargaan."Duduk dulu baru tanya." Citra tersenyum canggung."Ada apa, kenapa wajahmu serius begitu?" Nawangsih heran, tetapi dia meraih gunting bunga seraya mencampakkan daun-daun tua dan durinya.Citra—seorang penari klasik sekaligus pelayan cadangan Ibunya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawangsih.Nawangsih refleks menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi.""Kabarnya memang begitu, Nawang. Nanti malam akan diadakan jamuan makan malam dengan trah keluarga Tirtodiningratan. Kabarny
Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita."Ndomas iseng, aku ngambek."Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja."Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.Suryawijaya me
Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung
Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sek
Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny
Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya