Share

Bab 2

Malam merangkak semakin wening. Suryawijaya menaruh blangkon ke dalam lemari kaca seraya melepas baju kejawennya.

Usianya memang belum genap kepala tiga, namun tugasnya sebagai calon penerus usaha keluarga dan abdi budaya sudah berat. Dia kerap mendampingi ayahnya atau mewakili beliau untuk menghadiri acara penting yang berhubungan dengan kenegaraan dan kebudayaan. Namun jika sedang berselisih pendapat dengan beliau, kerap kali dia memilih untuk menepi.

Suryawijaya menyelesaikan sepertiga malamnya dengan mengepak pelengkapan pendakian ke dalam tas carrier, ia bertekad untuk mendaki gunung Merbabu setelah menggantikan peran ibunya besok pagi.

Selesai mengepak. Suryawijaya merebahkan tubuhnya di ranjang, ia memejamkan mata, namun setiap kali ia menutup mata, ingatan semasa kecil bersama Tania mencuat kembali. Suryawijaya tersenyum, membiarkan dirinya mengenang saat-saat manis itu dalam ingatan.

Suara lembut yang malu-malu, tubuh kering kurang gizi dan mata sayu Tania, siapa yang tidak tergerak nalurinya untuk menjaganya.

•••

Tepat pukul setengah lima pagi, Suryawijaya selesai membersihkan diri sebelum menghabiskan waktu di kamar untuk memeriksa tugas kuliah yang menumpuk dengan serius. "Ini kalau sampai tidak selesai-selesai, kepalamu sudah penuh.”

Satu jam kemudian, ia menunggu Nawangsih di bangku taman yang tak jauh dari bangunan tua tempat Nawangsih berada.

"Selamat pagi, Mas Surya." Nawangsih membungkukkan badannya membuat seulas senyum terbit dari bibir Suryawijaya.

"Pagi, Tania. Sepertinya kamu lupa membawa teh tawar pesananku" pintanya dengan sengaja.

Nawangsih mengangguk lantas pergi ke dapur. Tak perlu waktu lama, ia membawa satu poci teh hangat dan dua buah cangkir teh kecil.

"Silakan di minum. Tapi setelah ini, aku harus mengganti bunga di kamar Ibunda!" Nawangsih meminta izin setelah menuangkan teh untuknya.

Suryawijaya menepuk sebelah kiri tempat duduknya. "Duduklah, temani aku dulu!"

Nawangsih mengangguk, hanya itu yang mampu ia lakukan sebagai adik yang tidak dapat membatah kakaknya. Sedari kecil, Suryawijaya slalu menjadi si tukang perintah yang enggan di bantah.

Suryawijaya mengulum senyum seraya menyesap teh sambil menatap serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para pelayan rumah tangga tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada gadis di sampingnya.

Dan, lama kelamaan, Nawangsih duduk semakin gelisah. "Mas Surya, apa aku boleh permisi?" tanyanya, banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan.

Suryawijaya yang telah menangkap maksud Nawangsih, bangkit dari tempat duduknya. "Mari sarapan bersama dengan Ibunda." ajaknya dengan riang.

Nawangsih menggeleng perlahan, ia memang sudah lama menjadi anak angkat ndoro bei, namun acap kali ia masih takut menjadi bagian dari keluarga inti.

"Tidak menurut itu artinya kamu membangkang perintahku, Tania!"

"Mas Surya!” pekik Nawangsih dengan suara tertahan. Demi apa pun, ia memang tunduk kepada ndoro bei dan semua antek-anteknya. Tapi Suryawijaya?

Lihatlah... dia meringis, sengaja mengerjai gadis itu karena ketakutannya kepada ayahnya.

"Ayahanda tidak akan marah di hadapan Ibunda! Tenanglah, sudah ada pawangnya." ucap Suryawijaya sembari tersenyum lebar.

Nawangsih semakin bingung, Rinjani adalah wanita yang sangat penting baginya, bukan hanya karena perlindungan yang beliau berikan kepadanya. Tapi juga kasih sayangnya yang tak memandang kasta, tahta dan strata sosial lainnya.

"Aku harus mengganti bunga di kamar Ibunda, Mas. Saya permisi, tunggu saja nanti.” elaknya.

"Baik, Tania. Aku tunggu." Suryawijaya mengibaskan tangannya, dan Nawangsih segera berlalu menuju ruangan yang menyimpan persediaan bunga-bunga.

"Ibu..."

Wanita yang memakai kebaya kutu baru itu mengangguk dan tersenyum saat Nawangsih masuk ke dalam kamarnya.

"Selamat pagi, Tania." sapa Rinjani.

Nawangsih tersenyum ramah seraya menaruh bunga setaman dan bunga sedap malam di tempat biasanya.

Rinjani melambaikan tangan saat Nawangsih sudah menyelesaikan tugasnya. "Kemarilah, duduk di dekat Ibu!"

Nawangsih mengangguk, dengan malu-malu ia mendekati ibu angkatnya.

"Ada apa, Ibu?”

"Duduk cah ayu!" Wanita itu tersenyum hangat. Nawangsih menurut. Rinjani lantas meraih tangan Nawangsih dan mengelus punggung tangannya penuh kasih sayang.

"Ayahanda tidak di rumah. Pergilah dengan Suryawijaya, piknik atau kemana gitu seperti anak muda lainnya." Sang ibu menyarankan.

Nawangsih membalas tatapan itu sama hangatnya, tapi ia malah mengendikkan bahu. "Takut, Ibunda!" ucapnya kalem, namun buru-buru ia mengangguk patuh karena perlu diketahui, sudah lama Nawangsih mendengarkan petuah bijak dari Rinjani tentang perjuangan kisah asmaranya dulu bersama Kaysan. Dan, sebelum ia memberi wejangan dan nasihat yang panjang lebar sampai berbusa-busa, Nawangsih memilih menurut.

"Selagi ada kesempatan gunakan sebaik-baiknya. Mari sarapan!" ajak Rinjani dengan lembut.

Nawangsih membantu mengaitkan kalung emas di leher Rinjani seraya mengekori beliau ke ruang makan.

Di sana, Suryawijaya dan Pandu Mahendra duduk bersama.

"Selamat pagi, Ibundaku yang cantik!" Pandu tersenyum lebar, seraya menarik kursi untuk ibunya duduki.

"Selamat pagi, anakku lanang. Terima kasih."

Pandu melirik Nawangsih yang dulu sewaktu kecil kerap ia jahili.

"Selamat pagi, adik. Sepertinya cuaca hari ini panas. Enaknya jalan-jalan kemana, ya? Ke puncak gunung?" guraunya dengan riang dan sudah biasa Nawangsih telan bulat-bulat.

"Selamat pagi semuanya." balas Nawangsih seraya mengambil tempat di samping Pandu Mahendra. Sekilas tatapannya tertuju pada Suryawijaya yang diam saja tanpa menyapanya.

‘Tumben aneh kelakuannya.'

Perbincangan hangat berlanjut sekejap hingga sarapan pagi mereka tersaji di meja makan.

"Jadi bagaimana, apakah kalian butuh bala bantuan?" tanya Rinjani kepada Suryawijaya dan Nawangsih setelah sarapan selesai.

"Kami berdua sudah cukup, Ibunda. Aku harus siap-siap di kamar. Permisi."

Rinjani mengangguk, segera Suryawijaya meninggalkan ruang makan di ikuti oleh Nawangsih.

"Mereka berdua itu cinta. Tapi apa daya restu dari Ayahanda tidak turun-turun juga. Kasian, kasian!" keluh Pandu dengan nada iba.

Rinjani hanya tersenyum lebar mendengar anak bungsunya berkomentar.

"Andai restu bisa turun seperti hujan, pasti mas Surya bakal teriak... HUJAN BISAKAH AKU MEMINTA RESTU?"

"Ngomong apa kamu?" sergah Suryawijaya tiba-tiba.

Pandu refleks menunduk sambil menahan tawa ketika Suryawijaya meraih ponselnya yang tertinggal di meja makan dengan raut wajah kesal.

"Awas kamu ngomong ngawur lagi!" ancam Suryawijaya.

Pandu cengengesan, ia mengatupkan kedua tangannya seraya pergi untuk menghindari tatapan Suryawijaya yang dingin dan serius.

"Selamet, selamet!" celoteh Pandu sambil mengelus dadanya. "Bisa gawat kalau tadi kang mas marah, makin seram wajahnya!"

Di ruang makan, Suryawijaya mengeraskan rahang mendapati ibunya juga menahan tawa.

"Ibunda!"

Rinjani mengibaskan tangan tanpa memandang wajah anak keduanya yang kesal dengan celotehan Pandu.

"Seperti tidak mengenal adikmu saja, Le! Sudah sana pergi, Nawangsih sudah siap."

Suryawijaya mencium punggung tangan ibunya seraya pergi ke kamarnya lagi.

Sementara itu, Nawangsih sudah cantik dengan balutan dress batik modern. Rambutnya dibiarkan tergerai indah di depan cermin.

"Begini lebih bagus sepertinya." Nawangsih memasang jepitan rambut.

Selesai mematut diri di cermin, Nawangsih menarik tas selempangnya seraya menuju pelataran parkir.

"Mas... Kenapa bawa tas carrier?" tanya Nawangsih penasaran sembari mempercepat langkahnya. "Jadi pergi ke gunung Merbabu?" imbuhnya manakala Suryawijaya hanya diam sambil membuka bagasi mobil.

"Mas Surya!"

Brak.

Pintu bagasi tertutup, Suryawijaya berbalik untuk memandanginya.

"Rencanaku tidak ada yang berubah."

Nawangsih mendengus. "Padahal aku tadi di suruh Ibunda jalan-jalan kemana gitu pumpung Ayahanda pergi! Tapi Mas Surya malah pergi sendiri. Nggak seru, padahal ini kesempatan langka!"

Suryawijaya mencondongkan tubuhnya seraya berkata lembut. "Iya, jalan-jalan dulu baru naik gunung! Boleh?" tawarnya.

Gadis itu tersenyum sambil menggeleng kuat-kuat. Harap di catat! Merayu gadis tidak semudah itu Suryawijaya, pikir Nawangsih seraya masuk ke dalam mobil.

"Kesempatan bagus ini, bisa-bisanya milih naik gunung! Ah, Mas Surya, kapan lumernya sih?"

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
perjuangkan ayahanda dlu jg ga kalah keras... jangan menyerah mas surya... apalagi d dukung ibunda ratu...maju terus............
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
kangen c jail...ndomas pandu...plek ketiplek sama ibunda rinjani aahhh terobati d sini kangen ku...makasih mba vv
goodnovel comment avatar
Melati A3
perjuangan mas uya lebih berat.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status