"Aku bukan tidak peka, tapi kamu sendiri tahu Ayahanda bagaimana." Suryawijaya menjelaskan ketakutannya setelah mendengar Nawangsih mengomel-omel. "Pakai sabuk pengamannya, biar aman."
Nawangsih menarik sudut bibirnya seraya memasang sabuk pengaman dengan kesal. "Mas Surya sih, nggak usah naik gunung. Di rumah aja, ya?" bujuknya dengan nada manis."Lihat nanti. Lagian kamu nggak tau kenapa aku memilih gunung Merbabu, Nia?" goda Suryawijaya sambil menghidupkan mesin mobil.Nawangsih mengendikkan bahu."Itu karena Merbabu adalah Menanti Restu Bapak Ibumu." urai Suryawijaya yang langsung membuat Nawangsih menyunggingkan senyum.•••Perjalanan menuju desa di pinggiran kota membutuhkan waktu dua jam. Mereka keluar dari mobil, di sambut kehebohan warga yang menunggu kedatangan putra Rinjani dengan antusias.Suryawijaya mengangguk ramah sebagai perangai wajib yang umum dilakukan seorang keluarga bangsawan."Selamat pagi semuanya." Suryawijaya menebar senyuman sembari mengatupkan kedua tangannya."Selamat pagi Mas Suryawijaya. Silakan duduk." ucap kepala desa.Suryawijaya menekuk lututnya seraya duduk bersila diikuti para warga hingga membentuk lingkaran bermusyawarah.Suryawijaya mengucapkan salam pembuka yang diakhiri dengan doa- doa baik kepada Sang Pencipta.Nawangsih tersenyum, mengamati Suryawijaya dengan saksama saat pujaan hatinya meresmikan sekolah gratis yang di bangun oleh keluarganya.Suryawijaya menghindari tatapan itu, tatapan yang kian menawan nama Nawangsih di hatinya lengkap dengan perasaan yang kian menyala-nyala.Acara selesai. Suryawijaya dengan sabar melayani swafoto dengan perangkat desa dan warga setempat sebelum berpamitan pulang. Sementara Nawangsih yang juga selesai membagi-bagikan alat tulis kepada anak-anak kecil setempat menghampiri Suryawijaya di parkiran."Kenapa lihat-lihat?" Suryawijaya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lantas menatap adik angkatnya setenang mungkin."Mas Surya yang kenapa buang muka!" cibir Nawangsih. "Aku hanya ingin lihat Mas kok tadi, nggak boleh?"Nawangsih mengerucutkan bibirnya, kesal diabaikan oleh Suryawijaya yang kadang menjelma menjadi orang terkasihnya."Jangan merasa sungkan untuk memukul kakakmu sendiri kalau sebal!" kata Suryawijaya. Terdengar seperti gurauan tapi masih berwajah datar.Tak alang kepalang, Nawangsih benar-benar memukul lengan Suryawijaya."Mas jahat!" Nawangsih membuka pintu mobil dan menghempaskan tubuhnya dengan cepat. "Mas Surya gak sadar-sadar, nggak pernah peka denganku."Laki-laki itu meringis sebelum ikut masuk ke mobil, ia menoleh sembari bertanya. "Katakan saja, mau jalan-jalan kemana? Aku akan menurutinya."Nawangsih berpikir. Mereka memang tidak terikat hubungan darah. Tapi hubungan mereka teramat kental seperti darah yang mengikat tali persaudaraan. Meski sempat gamang harus bertingkah bagaimana saat orang tua mereka menjadikan Tania sebagai anak angkat, keduanya bisa menjaga hubungan itu tetap sebagai kakak adik tanpa perasaan yang menggebu-gebu sampai mereka mengenal cinta dan segala printilannya."Ikut ke gunung!" jawab Nawangsih lugas.Suryawijaya terkena tinju tak kasat mata sambil mengerutkan keningnya."Permintaan konyol." serunya. Mana mungkin Nawangsih benar-benar menginginkan mendaki gunung bersamaku. Pulang-pulang nanti, ibu bakal mencak-mencak, ngomel-ngomel sepanjang hari karena membahayakan Nawangsih, dan pasti ayahanda akan menyalahkan aku karena menyalahgunakan kesempatan untuk berduaan."Kamu tidak bisa mendaki gunung tanpa persiapan, Nawang. Berbahaya." ucap Suryawijaya serius. "Butuh prepare dan kekuatan fisik, sedangkan kamu, lihat... pakai gaun batik, sepatu flatshoes. Gak masuk akal. Lagian nanti kalo kepleset, jatuh, dan kamu terluka. Siapa yang sedih dan kena marah?"Nawangsih merasa kecewa, dan menyadari betapa anehnya permintaan itu setelah dipikir-pikir lagi."Mas..."Suryawijaya menghentikan mobilnya di bahu jalan yang jauh dari pemukiman penduduk. Keduanya saling membalas tatapan yang sama. Tatapan penuh harap."Ada kata yang sebaiknya tak diucapkan, Nawangsih! Dan ada rasa yang sebaiknya tak diungkapkan saat ini.""Kenapa, Mas? Salah?"Suryawijaya mengulum senyum. "Hal itu hanya merusak keadaan! Aku tahu bagaimana hubungan ini, namun aku belum bisa memberikan kepastian. Aku harus memantaskan diri dan menjadi pekerja keras untuk bisa memperjuangkanmu."Terlatih menjadi penurut, Nawangsih mengangguk. Ia pun memiliki sudut pandang yang sama kejamnya dengan Suryawijaya. Padahal ia hanya penasaran dengan hubungan apa yang mereka jalani.Sepasang kekasih? Orang awam pun bisa melihat keduanya hanya seperti kakak-adik. Tapi mau di anggap seperti kakak-adik pun hubungan itu terlampau mesra bagi keduanya. Sungguh, benang kusut yang susah diuraikan."Ya sudah, pulang saja. Biar aku di rumah saja." Nawangsih tersenyum pahit dan kenyataannya tambah pahit. Suryawijaya mengiyakan seraya membawa Nawangsih pulang."Benar-benar pulang." Nawangsih bergumam, ia melirik Suryawijaya dengan raut wajah kecewa. "Benar-benar tidak peka." gerutunya seraya keluar dan berdiri di depan mobil, ia menatap Suryawijaya yang menatapnya datar dengan bibir cemberut."Maaf."Mesin mobil menderu, mobil bergerak mundur membuat jarak antara keduanya semakin panjang.Nawangsih berdecak, ia menghirup napas dalam-dalam sambil menatap mobil Suryawijaya yang kian jauh dari pandangannya."Bertahun lamanya aku menanti, Mas. Walaupun aku tahu kita hanya akan menjadi abu-abu. Tapi aku percaya, cinta akan terus menjadi bahan bakar untuk hubungan kita."Nawangsih berjalan ke dalam megahnya sebuah bangunan jaman dahulu. Alunan gamelan mengiringi setiap langkahnya yang anggun ke dalam kamar."Tapi aku yakin, Mas Surya juga menantiku."•••Dalam perjalanan menuju gunung Merbabu. Suryawijaya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tangannya mencengkram erat kemudi sampai buku-buku jarinya memutih.Tak ada kuasa yang ia miliki untuk melawan ayahnya sendiri hingga kadang membuatnya geram sendiri. Rasanya susah dan begitu sulit seperti trek letter E dalam perjalanan menuju gunung Rinjani. Batas antara mengejar mimpi dan rasa ingin menyerah itu setipis kertas."Sebaiknya aku jemput Nawangsih, paling tidak bersamanya aku lebih tenang."Suryawijaya membanting stir, balik arah.•••"Ada apa, Mas?" tanya Nawangsih, ia keheranan melihat Suryawijaya yang sudah kembali datang sebelum lima hari ia genap mengumpulkan rindu."Tidak jadi mendaki gunung?" imbuhnya sambil meronce bunga melati."Ganti bajumu." titah Suryawijaya sembari nyengir kecil."Mas Surya cerita dulu kenapa? Bukan salah Nawangsih kan jadi pulang cepat-cepat?"Alis Suryawijaya terangkat tinggi-tinggi. "Memang salah kamu! Siapa lagi yang mampu menggoyahkan hatiku." sahutnya gemas.Nawangsih tersenyum malu seraya meletakkan melati ronce sebelum beranjak."Kamu mau tidak?" tanya Suryawijaya.Setelah menimbang-nimbang pikirannya sendiri, Nawangsih mengangguk."Aku ganti baju dulu...”Suryawijaya mengibaskan tangannya, meminta Nawangsih untuk segera bergegas.Sepuluh menit kemudian, Nawangsih kembali berada di dalam mobil bersama Suryawijaya."Sebutkan keinginanmu, Nawang? Kamu mau jalan-jalan ke mana?"Nawangsih mengetuk-ngetuk dagunya, berpikir. Tak segera menemukan tempat tujuannya, Nawangsih menggeleng perlahan."Terserah, Mas Surya. Aku nurut!" jawab Nawangsih pasrah."Ya sudah, turun dari mobil kalau gitu!"Nawangsih dengan cepat memelototinya, memberi teguran sebanyak yang berani ia tunjukkan tanpa membahayakan posisinya."Pengungkapan yang blak-blakan, Nawangsih." Suryawijaya tersenyum jahil dan ingin sekali ia mencubit hidung gadis itu, tapi ada daya. Tangannya hanya bisa meremas stir mobil dengan erat-erat.Tunggu saja Nawangsih, aku akan mencubit wajahmu dengan bebas! Tunggu saja, entah kapan!Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku