Share

Bab 7

Penulis: Skavivi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-26 16:49:25

Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.

Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.

Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.

Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung banyak orang. Gemerlap lampu gantung dan harumnya bunga sedap malam yang bermekaran menyambut kedatangan mereka. Ayahanda Kaysan beramah-tamah dengan tamu agung sebelum duduk di kursi klasik untuk melihat pertunjukan tarian sebagai hiburan

"Di pilih, di pilih!" seloroh Pandu yang berupa bisikan, menggoda Suryawijaya sembari melihat gadis-gadis yang duduk tak jauh dari mereka.

Gadis-gadis yang berjumlah lima orang itu menunduk santun, walau sesekali tatapan mencuri pandang ke arah Suryawijaya yang menjadi primadona kerajaan.

"Apa ada masalah?" Suryawijaya berbicara dengan datar. Duduk tegap penuh wibawa. Tatapannya sejak tadi hanya tertuju pada Nawangsih yang berbaur dengan tamu agung lainnya. Sesekali gadis itu melayani mereka dengan menuangkan teh hangat khas istana, yang wangi dan manis seperti gadis pelayan itu.

"Yang ada tai lalatnya di dekat hidung lumayan, mas!" ucap Pandu, pangeran yang satu ini jelas beda dengan Suryawijaya. Ia suka bercanda.

"Yang pakai kebaya ungu juga ayu, lumayan itu mas, dadanya besar!"

Suryawijaya menoleh, terlihat syok dengan ucapan Pandu yang membicarakan fisik wanita persembahan dari trah keluarga Tirtodiningratan.

"Apa? Aku sudah dewasa, mas! Jangan terus menganggapku sebagai anak kecil!"

"Jaga etika, cukup kamu batin saja untuk perkara seperti itu! Memalukan."

Pandu menepuk-nepuk pundak Suryawijaya saat pelayan kesayangan ayahnya menghaturkan sembah dan memintanya untuk bergabung dengan ndoro bei.

"Semoga beruntung mas!"

Dalam hati Pandu tertawa senang dan bersenandung. "Cintaku ini hanya cinta milik manusia biasaaa!"

•••

Suryawijaya yang begitu enggan dan marah memberi hormat seraya duduk di depan Adhiwiryo Tirtodiningratan.

"Alangkah baiknya gadis-gadis itu dipingit saja lalu menunggu waktu untuk layak diperistri, Romo. Dua diantara mereka masih SMA!" kata Suryawijaya sambil mengusap bibir cangkir.

Pemimpin yang membawa putri-putrinya untuk di persembahkan kepada Suryawijaya mengangkat tatapannya.

Adhiwijoyo meragukan pernyataan Suryawijaya, tapi mau apa dikata, tunduk kepada seorang Pangeran yang akan mewarisi takhta kerajaan adalah harga mati.

"Apakah itu yang Raden inginkan?"

Suryawijaya mengangguk tegas. "Siapapun yang akan mendampingku tidak perlu repot-repot mencariku, cukup menunggu di istana dan belajar menjadi calon pendamping yang baik!"

Suryawijaya menghentakkan cangkirnya hingga memancing Ayahanda Kaysan menajamkan mata sebagai peringatan etika sopan santun dalam jamuan makan malam.

"Pendekatan dulu akan lebih bagus, Romo. Biar akrab!" Adhiwiryo menyarankan dengan amat sabar. "Seluruh putri saya berpendidikan tinggi, terdidik dengan moral bangsa dan agama yang akan patuh dengan Raden!"

Suryawijaya mengerti, ia memperhatikan gadis-gadis yang menikmati jamuan makan malam bersama Ibunda Rinjani dan Nawangsih dengan teliti. Matanya terpaku pada gadis yang Pandu kagumi tadi.

Gadis bertubuh sintal, seksi dan memiliki dagu runcing. Ayu sekali untuk membuat Nawangsih cemburu. Suryawijaya tersenyum samar.

"Siapa nama gadis berkebaya ungu?"

Ayahanda Kaysan menyunggingkan senyum. "Pilihan yang tepat, putraku."

Suryawijaya mendengus tak kentara, tidak tertarik untuk berdebat dengan ayahnya sekarang. Ia hanya ingin cepat-cepat mengakhiri pertemuan Royal Highness Tea and Talk ini karena tujuan acara ini hanya untuk memilih salah satu dari gadis-gadis itu.

"Aku hanya menanyakan namanya, Ayah."

Adhiwiryo berdecap puas. "Gadis idaman. Namanya Keneswari Syalindri, putri pertama dari istri kedua."

"Lalu siapa yang memiliki andeng-andeng di dekat hidung?" lanjut Suryawijaya.

Ayahanda Kaysan dan Adhiwiryo saling pandang.

"Apa mungkin putraku menginginkan dua putri sekaligus?" Ayahanda Kaysan menyimpulkan.

Suryawijaya menghela napas dengan berat bagai martir seraya memandang marah ayahnya lantas tersenyum misterius.

"Kalau bisa dua kenapa tidak! Bukankah itu cukup bagus untuk membuat Romo Adhiwiryo senang?" Suryawijaya membatin, tidak akan ada dua. Cukup satu wanitaku. Nawangsih.

Adhiwiryo bangkit dengan ekspresi terluka. "Apakah Raden bermaksud untuk mengatakan bahwa saya menjual putriku demi bantuan dari kangmas Kaysan?"

Adhiwiryo berjeda. "Saya tidak mengharapkannya jika Raden memang tidak menginginkan!" urainya tampak muram ketika memberi hormat kepada birokasi tertinggi di istana itu dan Suryawijaya.

Suryawijaya menggeleng cepat-cepat. "Saya hanya mengatakan bahwa itu akan membuat panjenengan senang, bukankah begitu? Harusnya begitu karena keduanya bisa bersanding denganku. Tapi maaf, aku tidak tamak, aku hanya akan memilih salah satunya jika sanggup."

Ganti Ayahanda Kaysan dan Adhiwiryo terperangah. Lebih-lebih Adhiwiryo, ia menyunggingkan senyum dengan terpaksa.

"Baiklah, Raden. Maaf saya terbawa suasana." Adhiwiryo tersenyum sedih.

Suryawijaya bangkit, ia sudah terlalu sabar untuk menghadapi situasi yang kian malam kian kusut dan panas. Hatinya pun tidak tenang manakala Nawangsih terus mencuri perhatiannya dengan tatapan harap-harap cemas.

"Saya akan menunggu kedatangan mereka besok pagi!" Suryawijaya membungkuk hormat seraya berlalu meninggalkan ruang tamu untuk menyendiri di dalam kamar.

•••

Nawangsih mengetuk pintu kamar sang pangeran. Raut wajahnya terlihat lelah. Apalagi, sepanjang acara tadi ia dapat melihat ketegangan di raut wajah Suryawijaya sekaligus hatinya tergerus manakala ia mendengar pujian dari putri-putri Tirtodiningratan untuk Suryawijaya.

Tok, Tok, Tok.

Nawangsih menunggu dengan resah, ia bersikeras ingin tahu apakah ada yang menarik perhatian Suryawijaya karena baginya gadis-gadis tadi mirip bunga-bunga yang sedap di pandang dan memaniskan sudut mata Suryawijaya.

"Ndomas."

Pintu terbuka. Suryawijaya yang masih mengenakan ageman lengkap menaikkan alisnya.

"Acara belum selesai, kenapa kamu ada disini?"

Suryawijaya bersandar di kusen pintu, menatap Nawangsih dengan pandangan bertanya.

"Ndomas kenapa pergi?" Nawangsih ikut bersandar di kusen satunya, ia meninggalkan acara ngeteh itu dengan dalih kebelet BAB sesaat setelah Suryawijaya menghilang dari pandangannya.

"Sudah ada kesepakatan! Jadi untuk apa berlama-lama disana, membosankan."

"Maksudnya, ndomas sudah mengambil keputusan?"

Ekspresi Nawangsih berubah menjadi was-was, posisinya mulai terancam. Ia mulai berpikir untuk mengatur strategi untuk mempertahankan Suryawijaya, tapi boro-boro mengatur strategi baru, ia mecucu dan kecewa saat Suryawijaya mengiyakannya.

"Aku kira, aku singgah. Ternyata aku cuma cadangan!"

Nawangsih berjalan dengan gontai meninggalkan Suryawijaya yang puas menikmati keterperangahan itu.

Nawangsih jelas syok tanpa bisa menyembunyikan lagi ekspresinya.

Sepasang matanya lalu menghangat, sulit rasanya menahan tangis saat semuanya sudah luluh lantak. Nawangsih berhenti di belakang rumah utama, memandangi dari jauh ruang tamu yang masih menyala penuh binar bahagia.

Suryawijaya mengikutinya diam-diam, ia menyaksikan gadis itu menunduk dalam, gadis itu menangis sendiri di antara mereka yang baru menerima kesepakatan ambigu yang ia berikan.

"Maafkan aku, Nawangsih! Seandainya ada pilihan lain. Aku akan memilihnya daripada kehilanganmu." gumam Suryawijaya lirih dalam kegelapan yang menikam keresahan yang tidak dapat di prediksi lagi kapan selesainya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
nawangsih....sabar.itu baru kesepakatan, mudah2an ndomas Surya tidak memilih salah satu diantara putri2 itu
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
saling memaafkan adalah hati yang bersih
goodnovel comment avatar
Elok Fatimah
jadi ikut sedih, lihat nawangsih nangis. aahh, kbur ga bisa, ktmu tmbh perkara....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 120

    Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 119

    Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 118

    Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 117

    Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 116

    Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 115

    Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status