Share

Bab 4

Author: Skavivi
last update Last Updated: 2022-01-23 16:41:14

Mobil melaju dengan kecepatan sedang seperti yang biasanya Suryawijaya lakukan untuk tetap membuat adiknya nyaman. Namun sambil menyetir, benaknya mengingat, ada tiga aturan yang ditanamkan oleh ibunya jika berada di luar rumah bersama Nawangsih :

1. Jangan bermesraan.

2. Menjadi kakak sejati.

3. Jangan ke tempat sepi.

Hari ini, Suryawijaya melanggar aturan nomer tiga. Dia membawa Nawangsih ke tempat sepi dan angker di malam hari.

"Ini seru banget, Mas."

Nawangsih memutar tubuhnya di bawah pohon rindang, senyumnya terus merekah ketika Suryawijaya membawanya ke taman Kaliurang.

"Terima kasih, Mas Surya." ucap Nawangsih tulus. Suryawijaya mengangguk, mematik korek api seraya mengisap rokoknya dalam-dalam.

"Cari tempat, Tania."

"Ya." Nawangsih menatap sekeliling. Dan, tanpa banyak kata, mereka berkeliling di bawah rindangnya pepohonan dan sejuknya udara diiringi suara monyet-monyet liar.

"Berhentilah merokok, Mas. Kamu merusak udara di sini. Sayang tau oksigen murni harus dibarengi dengan asap rokok. Ish..." Nawangsih mengomel sambil mengibaskan tangannya di depan wajah.

Suryawijaya refleks membuang rokoknya dengan raut wajah kesal.

"Ini kenikmatan, Nawang." gerutunya dalam hati seraya duduk di atas bebatuan.

Suryawijaya mengeluarkan ponselnya, mencari fitur kamera.

"Berdirilah di depan air terjun, Nawang. Biar jadi bukti bahwa aku sudah mengajakmu jalan-jalan!"

Nawangsih menggeleng cepat, dia menunjuk seekor monyet ekor panjang bertubuh gemuk yang sedang minum di tepi kolam.

"Tidak berani?" tukas Suryawijaya seraya menepuk batu di sebelahnya. "Duduklah, berikan aku minum yang kamu beli tadi."

"Itu lebih baik." Nawangsih meringis dan mendaratkan tubuh di sampingnya sebelum mengeluarkan kantong plastik berisi makanan dan minuman dari dalam tas ranselnya.

"Mas, apa Ayahanda tidak marah kita pergi berdua?" tanya Nawangsih seraya memberikan botol air mineral untuk Suryawijaya.

Suryawijaya meneguknya beberapa kali seraya menggeleng. "Aku juga tidak tahu pasti. Tapi kalaupun Ayahanda marah, aku akan berkata jalan-jalan untuk melihat-lihat monyet. Tidak aneh-aneh, masih menjaga kesopanan dan melakukannya atas titah Ibunda.”

Suryawijaya tersenyum. Tapi apakah Kaysan bisa menerima alasan itu? Mengingat belakang ini cukup banyak masalah yang terjadi. Termasuk ketegangan di antara mereka berdua yang belum ada jalan keluarnya.

Nawangsih mendesah lelah. "Aku cuma takut Ayahanda dan Mas Surya berdebat lagi." ucapnya sembari membuka keripik, dan kunyahan itu terdengar menggiurkan bagi monyet-monyet liar hingga membuat Nawangsih panik ketika satu persatu monyet-monyet liar itu mendatanginya dengan lincah.

"Mas Surya." Nawangsih merapatkan tubuhnya di samping Suryawijaya. "Mas..., tolong di usir mereka." katanya panik dan menaruh keripiknya sejauh mungkin dari jangkauan monyet.

Suryawijaya tertawa, hanya pada gadis itu dia bisa mengubah sifatnya dari sekaku balok kayu menjadi selunak tahu sutra.

"Monyet-monyet di sini memang sudah biasa mendapatkan makanan dari wisatawan, Nawangsih. Beberapa kasus yang pernah terjadi mereka juga mengambil dagangan di warung warga. Tidak bagus. Tapi sudah kebiasaan." Suryawijaya meraih kantong plastik yang diulurkan Nawangsih.

"Ayo pulang saja." Nawangsih meminta.

"Sebentar." Laki-laki itu mengulur waktu dengan menghamburkan keripiknya ke tanah untuk monyet-monyet liar yang semakin lama semakin banyak.

"Biar kita tidak di kejar."

Nawangsih merinding, jemarinya menarik-narik ujung kemeja Suryawijaya agar menghentikan kegiatannya.

"Mas, ayo." pintanya risau dan Nawangsih nyaris menangis ketika seekor monyet bergeming di sampingnya sambil mengunyah.

Suryawijaya meringis. "Astaga, Tania! Mereka tidak menggigit." ucapnya seraya menatap manik mata berair itu. "Kamu cengeng, Nia."

Nawangsih mengusap matanya. "Orang takut kok gak boleh nangis! Itu wajar, Mas! Lagian, Mas dulu juga pernah nangis waktu sunat."

Suryawijaya mendelik. Sungguh kacau bila gadis ini terus membicarakan masa kecilnya. Lebih-lebih dia malu, sunat kok dibicarakan lagi ketika mereka sudah dewasa, frekuensinya jelas sudah beda. Fungsinya apalagi.

Jangan konyol, Nia.

"Ya sudah ayo pulang, sebentar lagi sore." Suryawijaya beranjak dan Nawangsih gegas memegangi lengannya dengan erat.

"Jangan jauh-jauh. Monyet-monyet itu masih mengikut kita!"

Suryawijaya tertawa lirih. Dia tahu persoalan cinta yang akan dia hadapi akan rumit, iya atau tidak dengan Nawangsih karena persoalan bibit, bebet dan bobot masih menjadi syarat memilih pendamping hidup. Tapi bukan persoalan itu saja yang menjadi pertimbangan Suryawijaya. Masalah weton, konflik internal dan macam-macam masalah yang pernah terjadi akan memanas lagi jika dia dan Nawangsih benar-benar meresmikan hubungan mereka.

"Aku slalu di sampingmu, Tania." kata Suryawijaya. "Ini akan menyenangkan sampai kita di parkiran."

Suryawijaya mengajaknya setengah berlari untuk melewati jalan dan undakan panjang hingga mereka sampai di parkiran.

Nawangsih terengah-engah namun senyumnya terlihat merekah.

Suryawijaya mengelus pipinya yang lembap.

"Masuk, kita istirahat sekalian di mobil.”

Nawangsih segera menyembunyikan tubuhnya di dalam sana. Menyeka keringatnya seraya menggembungkan pipi.

"Tidak perlu sok imut. Sudah jangan lihat aku seperti itu."

Nawangsih segera menurunkan jendela mobil, membiarkan sisa-sisa udara segar menemaninya selagi mobil melaju ke arah selatan, melintasi jalanan berkelok dan landai yang kanan kirinya terdapat hotel kelas melati sebelum meninggalkan lokasi itu dan berhenti di sebuah rumah makan tempoe doeloe.

"Mas Bimo bilang mangut lele di sini enak. Kamu mau mencobanya, Tania?"

"Boleh, kan kita juga sudah di sini. Nggak baik aku menolaknya."

Nawangsih meringis seraya menarik sepiring mangut lele yang baru saja di sajikan pelayan.

"Selamat makan."

Di bawah langit sore yang cerah, Nawangsih dan Suryawijaya menikmati makan sore mereka di atas tikar. Sesekali keduanya tersenyum malu, menunduk atau membuang muka ketika tatapan mereka beradu.

"Mas Surya jangan gitu." seru Nawangsih ketika lelaki itu memelotot.

Suryawijaya tersenyum lebar. Bagaimana mungkin dia tidak menyayangi seseorang dari masa kecilnya, apalagi sekarang gadis kecil ingusan itu menjadi gadis cantik yang memiliki dua gigi gingsul yang membuat senyumnya terlihat lucu.

"Cinta masa kecilku!" Suryawijaya berusaha menahan senyuman yang justru semakin merekah sebab ingatannya tentang kisah cinta mereka.

"Mas Surya kenapa?" Nawangsih mengernyit.

Suryawijaya mengeluarkan rokoknya, matanya mengerling sebelum beranjak. "Sebentar."

•••

"Mas Surya?"

"Apa?"

"Apa hubungan kita akan sia-sia?"

Suryawijaya mengendikkan bahu. Sekilas dia menatap Nawangsih yang mengerucutkan bibir. Entah berapa lama lagi waktu yang harus dia tunggu untuk menikmati setiap detail wajah Nawangsih dari dekat, tanpa dosa, tanpa merusak citranya sebagai seorang kakak yang harus menjaga sikap dan menghormati perempuan.

"Tidak akan sia-sia!" Suryawijaya menjawab dalam perjalanan pulang. Sedang Nawangsih nyaris hanya diam. Memikirkan bagaimana nanti jika Kaysan melihat keduanya keluar dari mobil dengan raut wajah bahagia dan menciderai sabdanya.

Kini... benaknya berucap kalimat-kalimat keraguan yang meresahkan jiwa saat mobil berhenti di pelataran rumah.

"Langsung ke kamar, keluarlah nanti saat makan malam!" perintah Suryawijaya setelah mendapati mobil ayahnya sudah berada di garasi.

"Terima kasih untuk hari ini."Nawangsih mengangkat jari kelingkingnya. "Janji dulu tidak bertengkar terus dengan Ayahanda, aku sedih Mas Surya, aku terus merasa bersalah karena cinta ini."

Suryawijaya menghela napas. Bahkan ketika dia mengiyakan, justru air mata mengalir di pipi Nawangsih.

"Jangan sedih, Nia. Jangan menangis di depanku."

Suryawijaya mengulurkan tisu kepadanya.

"Hapus sendiri air matamu!"

Nawangsih mendesis tajam seraya menundukkan kepalanya. "Ini karena kakimu nginjak kakiku, Mas."

Suryawijaya segera mengangkat kakinya dan nyengir.

"Nggak sengaja. Maaf."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Ria Fella
duh, jadi tambah gak romantis gara-gara ingus, sroooottt, ahahaha
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
kisah rinjani terulang lagi.... versi mas uya...
goodnovel comment avatar
Melati A3
berat....berat....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 120

    Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 119

    Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 118

    Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 117

    Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 116

    Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 115

    Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status