Tiara dan Frida urung menjalankan rencananya melihat Erick yang tengah duduk bersantai dengan Maria di sebuah meja tepat di depan panggung. "Jadi mau gimana lagi, kita harus menjalankan rencana lainnya, ayo silahkan mba Tiara," kata Frida seraya menunjuk ke arah panggung. Tanpa melihat sedikitpun ke arah mereka Tiara langsung menggebrak panggung. Erick terhenyak menyaksikan Tiara, ia tak menyangka sedikitpun jika kekasihnya itu yang menjadi biduan di live musik cafe malam itu. "Pantas saja Tiara gak mau aku ajak, dia ternyata nyanyi di sini." Erick bergumam. Ia tak dapat menyembunyikan rasa heran di depan Maria, "Erick kamu kok terlihat heran seperti itu, kamu kaget kalau Tiara itu nyanyi di sini?" "Gak, ... Aku cuma kaget saja tiba-tiba bertemu dia di sini," sanggah Erick sedikit ingin menutupi dari Maria, tak terjadi apa-apa di antara Tiara dan dirinya. "Daripada harus membicarakan dia, kita bernostalgia saja dengan kenangan kita, bagaimana?" Rayu Maria. "Nostalgia yang sep
Sebuah hubungan cinta harus berjalan bersama, jika di dalamnya ada tujuan yang berbeda maka ia harus saling memahami dan tebuka, bukan saling menutupi dan saling menyalahkan. Begitu pula yang harus dlakukan oleh Tiara dan Erick, ada sesuatu hal yang tidak berjalan semestinya diantara mereka, membuat hubungannya yang baru saja seumur jagung seakan terombang ambing tak tentu arah. "Memiliki hubungan itu ribet ya," ucap Tiara. "Ribet seperti apa maksud kamu, gak juga kok kalau kamu dan Erick saling memahami, dan mau saling terbuka," sahut Frida. "Aku?, ... Apa yang aku tutupi darinya Frid?, apa aku saja yang harus memahaminya sementara dia?" sahut Tiara. Frida terdiam mendengar Tiara mulai tersulut emosi, ia biasanya akan menenangkan jika sahabatnya itu mulai meninggikan nada suaranya. Mobil mereka melaju membelah jalan kota, suasana sudah mulai tampak lengang, tak banyak lagi kendaraan yang berseliweran seperti biasanya di jam-jam itu. Sementara Erick dan Maria serta teman-temann
"Sampai kapan engkau akan terus seperti itu merebahkan tubuhmu seakan engkau sedang letih, seolah kau tidak berdaya bangkitlah engkau dari kemalasanmu." "Lihatlah keluar Mahasurya yang cerah itu mengejekmu, setiap hari ia membangunkanmu tapi kau seakan tidak peduli." "Ia mengejekmu bahkan kau tidak pernah berani berjalan di bawah sinarnya." "Bangunlah sampai kapan kau terus mengutuk nasibmu?" "Hahh ... ya Tuhan, aku mimpi lagi!?" Tiara menggumam dalam hatinya, mengapa mimpi itu selalu saja datang seakan sudah menjadi teman dalam tidurnya. Matahari sudah meninggi sinarnya begitu terik, terdengar teriakan ibunya, "Tiara bangun sekarang sudah jam berapa!?" Seketika teriakan ibunya membuat buyar mimpinya dan menghilangkan rasa kantuknya. "Ayo bantu belikan Ibu minyak goreng ke warung!" Sahut ibu Tiara dari dapur yang masih tengah sibuk menyiapkan hidangan siang untuk mereka. Tiara meregangkan kedua tangannya membuang rasa malas yang setia menemaninya beberapa tahun belakangan ini
Setelah tangisnya sedikit reda Tiara bersiap-siap ke rumah bukde Mayang yang berjanji akan mengantarkan Tiara ke rumah adiknya, pimpinan organ tunggal itu. Rambutnya yang sebahu di biarkan saja terurai menambah kesan perempuan banget dalam dirinya, hari itu sudah beranjak sore matahari perlahan menuju ke peraduannya. Tiara dan bukde Mayang baru saja sampai ke rumah adiknya, rumah itu begitu luas di teras samping rumah terlihat begitu banyak peralatan panggung, sound sistem serta beberapa peralatan lainnya terlihat oleh Tiara di sana. "Ayo masuk Tiara." ucap bukde Mayang yang melihat Tiara sedang memperhatikan peralatan musik itu satu-persatu. Di dalam rumah masih banyak juga peralatan panggung yang tersusun rapi, sepertinya adik bukde Mayang adalah pemimpin organ tunggal yang sudah besar dan terkenal. Bukde Mayang mengenalkannya pada Erwin adiknya, pimpinan organ tunggal yang akan menjadi bos Tiara. Dan melihat Tiara, Erwin tak hentinya memandangi wajah gadis cantik itu matanya
Tiara kembali menyiapkan semua peralatan riasnya didalam tas yang akan dibawanya saat manggung. Hari itu ia akan mengisi satu acara lagi, biduan baru seperti dirinya belum mendapat banyak Job di bandingkan dengan biduan yang sudah lama atau senior. Penghasilan dan honornya pun juga berbeda, kecuali menemukan penonton sawer. Di antara waktu sela, menunggu giliran naik panggung Tiara tengah asyik mengobrol dengan salah satu biduan di sampingnya. "Mba sudah lama jadi biduan?" Tanya Tiara kepada temannya sesama biduan. Ia mengenakan pakaian yang sangat minim dan terbuka di banding Tiara yang biasa saja, belahan ke dua bukit kembarnya menyembul jelas, membangkitkan birahi siapa saja pria berotak mesum yang melihatnya. "Iya sekitar dua tahun semenjak saya berpisah dengan suami saya." "Maaf ya mba, mba sering dapat sawer dari penonton?" tanya Tiara lagi yang ingin tahu lebih banyak tentang biduan. "Sering 'sih lumayan untuk tambahan honor. kita." "Biduan dengan goyangan yang erotis d
"Tiara dua hari lagi kita ada panggilan manggung diluar kota ya, siapkan perlengkapan kamu kita mungkin akan menginap semalam disana, dua hari lagi aku kabari kembali," ucap Erwin pada Tiara melalui telepon. "Iya bang tapi saya harus ijin dulu ke Ibu saya." "Ibumu pasti mengijinkan kamu, honornya besar Loh." "Orang ini kepedean banget!" Gumam Tiara dalam hati. Sebenarnya hati Tiara tengah bimbang, apakah ia harus menolak tawaran manggung itu atau kah ikut saja, ibunya pasti tidak memberinya ijin, apalagi ia tahu kalau itu di luar kota. Di selimuti kebimbangan Tiara ingin mengabari Dewi perihal job manggung itu, bagaimanapun juga jika Dewi yang sudah dikenalnya ikut dalam job itu ia bisa sedikit lega. "Selamat pagi mba, mba Dewi ikut 'kan job manggung di luar kota itu?""Selamat pagi Tiara.""Saya belum dapat kabar dari Erwin soal job itu, 'kok aku 'gak tahu ya?""Iya Mba katanya sih dua hari lagi, ok ya mba aku mau kasih tahu itu saja ke mba." Tiara menutup panggilan teleponnya.
Tubuh Tiara bergidik mengingat kejadian di panggung malam itu, hampir saja kokohnya bukit kembar miliknya ternodai pria mesum. Tak bisa dibantah dua buah bukit kembar miliknya memang sangat menarik di mata lelaki manapun termasuk pria yang mabuk malam itu. Obrolannya kemarin dengan Mba Dewi akhirnya terjadi padanya, persepsi orang-orang tentang biduan memang tidak sepenuhnya benar tetapi juga tidak salah bahwa mereka menjadi objek mesum pria pencari hiburan dan kenikmatan sesaat. Ditengah rasa jenuh dirumah, panggung biduan menjadi pelampiasan mata yang haus dengan tubuh molek mereka. Tiara yang tengah memikirkan kejadian itu dikejutkan ibunya, "Tiara, dengan kejadian yang kau alami kemarin, apakah tidak sebaiknya kamu berhenti dan mencari pekerjaan lain saja?" "Aku harus bekerja apa Bu, mencari pekerjaan situasi sekarang ini susah." "Malah banyak orang orang yang bekerja di PHK dan tidak dipekerjakan lagi." "Bukankah almarhum Ayah pernah bilang, 'kendatipun terjal kita harus m
Sudah beberapa hari Tiara hanya mengurung diri di rumah, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya bernyanyi. Dikepalanya terus terngiang ucapan bukde Mayang, "kalau menjadi biduan itu repot, apalagi omongan-omongan orang terhadapnya." Dewi entah sudah beberapa hari ini datang berkunjung, sekedar ngobrol bersama dan menghiburnya, Dewi dan Tiara sudah merasa semakin akrab sejak kejadian malam itu, Dewi sangat tahu bagaimana yang dirasakan Tiara sekarang. "Tiara kamu yang sabar ya sayang, mereka itu hanya merasa iri sama kamu, apa kamu 'gak pernah kepikiran untuk kembali bernyanyi?" "Saya masih mau bernyanyi sih, tapi bagaimana saya harus kembali ketempat yang seperti itu mba?, aku merasa tidak cocok di sana, dengan suasana yang seperti itu," ungkap Tiara. "Iya sih, kamu masih muda Tiara perjalanan kamu masih panjang kalau aku sih bisanya hanya bernyanyi saja." "Iya mba, terima kasih sudah begitu perhatian dengan saya." Tiara senang dengan pekerjaannya sebagai biduan tapi ia