Share

4. Diculik

Mobil Kijang biru tua yang dikemudikan Lek Dirman merayap menembus malam pekat dan kabut yang dingin keluar dari kota Purworejo menuju arah timur.

Pak Bima sudah bertekad akan pergi sejauh mungkin agar Seno tidak bisa menemukan mereka. Terutama Alena, gadis itu harus disembunyikan.

Di bagian bangku jok belakang, Alena dan Ibunya duduk meringkuk berpelukan. Sedang Arman duduk sendiri di bangku tengah dengan pandangan kosong melihat pemandangan luar yang gelap dan penuh kabut.

Pukul tiga pagi kendaraan mereka memasuki kota Yogyakarta. Masuk kota ini, jalan sudah mulai ada aktifitas meski masih pagi buta. 

 Bima memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan sambil membeli sarapan nasi gudeg. Mereka duduk berjejer sambil menikmati suasana jalan raya yang masih lengang.

Tidak ada tawa maupun senda gurau antara mereka. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing dan kesedihan karena harus meninggalkan rumah yang sudah belasan tahun mereka tinggali.

Mereka melanjutkan perjalanan kembali menuju arah timur dan mulai masuk kota Klaten.

"Yah, kok sepertinya Arman merasa sejak kita makan tadi seperti ada yang mengawasi ya? Itu mobil sedan putih dibelakang kita, seperti mengikuti dari tadi."  Arman menunjuk sebuah mobil yang melaju tidak jauh dibelakang kendaraan mereka.

"Mungkin mereka juga mau ke arah Solo, Mas Arman," sahut Lek Dirman mencoba menenangkan anak majikannya, meski ia sendiri juga terlihat ragu dan sesekali melirik spion.

Alena yang mendengar pembicaraan itu segera menoleh ke belakang untuk memastikan. 

"Plat Jakarta ...," gumamnya dengan perasaan waspada. Arman yang mendengar gumaman adiknya ikut menoleh ke belakang. 

"Yah, plat Jakarta," ulang Arman memberitahu ayahnya.

"Coba tambah kecepatan, Man. Atau belok di depan itu ada jalan ke kanan. Kita lihat, masih mengikuti tidak mobil itu," perintah Pak Bima.

Dirman segera memberi tanda sein ke kanan untuk berbelok. Mereka masuk dalam area persawahan yang luas dan sepi. Sesekali ada pengendara sepeda ontel khas petani membawa rumput.

Tapi mobil putih itu masih berada dibelakang mereka. Seakan memang sengaja membuntuti dan semakin menambah kecepatan.

"Mereka pasti suruhan Om Seno, Yah!" seru Arman panik.

Tanpa disuruh, Dirman segera tancap gas dan mencoba menghindari mobil dibelakang. Kejar-kejaran pun tidak bisa  dihindari. Dan mobil sedan putih di belakang semakin melaju dengan kencang dan berkali berusaha menyenggol badan mobil yang dikendarai Lek Dirman. Mobil berguncang dan semua yang di dalam, berpegangan dengan was-was.

Tiba-tiba ada sebuah mobil jeep hitam dari belakang yang melaju dengan kencang dan menyalip mobil Pak Bima dari samping. 

Dirman yang tidak siap, membanting stir ke kiri. Tapi nahas, mobil hilang kendali dan meluncur masuk ke dalam sawah.

Bruk! 

Bug!

Kegaduhan terjadi di dalam mobil. Meski kedalaman sawah tidak begitu dalam, tapi tetap saja membuat mereka merasakan sakit di badan. Satu-persatu keluarga Bima keluar dari mobil tua itu.

Dirman yang keluar pertama membantu Arman kemudian Lena juga ibunya.

Mereka tertatih keluar dari pematang sawah yang berlumpur, bersamaan dengan mentari yang keluar dari peraduannya dengan malu-malu dari ufuk timur. Mereka naik dengan perlahan ke atas tanah yang lebih tinggi, mobil sedan putih dan jeep hitam telah terparkir manis di depan mereka bersama beberapa orang berbadan kekar yang sengaja menunggu keluarga Bima.

Bima tampak meneguk ludah dan mengusap muka, cemas. Sedang Arman langsung waspada dan bersiap menyerang.

Lima orang berbadan kekar itu mulai maju. Mereka mengeroyok Arman yang terlihat paling depan dan seakan menantang mereka. Perkelahian tidak seimbang pun terjadi. Dalam waktu singkat, para preman berhasil meringkus  Bima, Arman beserta Lek Dirman. Mereka mengikat tangan ke tiganya dengan tali.

Bu Marini memeluk erat putrinya dengan gemetar. Ia ketakutan melihat suami dan anak laki-lakinya tidak berdaya.

Seorang lelaki dengan tato di leher menghampiri mereka dan menarik gadis itu dengan paksa. Seperti apapun sang Ibu mempertahankan, ia tetap kalah dengan lelaki itu. Bahkan, Marini terdorong hingga jatuh terjerembab.

"Lepaskan anakku. Katakan pada Seno, kami harus menebus dengan apa agar Lena tidak kalian ambil?" teriak wanita setengah baya itu histeris.

Orang-orang itu tidak peduli dengan teriakan histeris keluarga Bima. Karena mereka hanya menurut pada satu perintah yang harus membawa gadis cantik itu dari keluarganya.

"Brengsek kalian! Lepaskan aku. Ayo lawan aku satu-satu, jangan seperti pengecut." Arman berusaha melepaskan ikatan tangannya dan mencoba menendang mereka. Alena terisak tak berdaya melihat keluarganya.

Teriakan sumpah serapah di pagi itu hanya bagai angin lalu yang tiada guna. Karena mereka hanya menginginkan Alena.

Dengan kasar mereka mendorong tubuh Alena agar masuk ke dalam mobil putih. Tiba-tiba Arman datang dengan tangan masih terikat dan menendang salah seorang preman hingga jatuh tertelungkup.

Perbuatan Arman membuat mereka murka dan menghajarnya tanpa ampun. Teriakan dan jeritan keluarga  Bima tidak membuat mereka berhenti, malah semakin menambah kalap.

Setelah puas, mereka meninggalkan mereka dengan Arman yang terluka parah.

Alena hanya bisa menangis melihat semua itu dari dalam mobil yang semakin menjauh meninggalkan keluarganya. Ia masih sempat melihat Ibunya yang jatuh pingsan sebelum pandangannya juga kabur dan gelap.

 "Le-Lena ...." Bima luruh di tanah dengan tergugu. Ia tidak bisa menyelamatkan putrinya. Bahkan Arman, putranya tergeletak bersimbah darah dan tak sadarkan diri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Machel Malayeka
Kasihan Alena
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status