Share

AKU MEMBUNUH IPARKU
AKU MEMBUNUH IPARKU
Penulis: Lailatun H

BAB 1 PERTENGKARAN

  Suamiku berasal dari sebuah keluarga besar. Ia lelaki satu-satunya. Enam lainnya perempuan. Dua orang dari mereka sudah menikah, Rara dan Naura namanya. Rara memiliki enam anak lelaki, satu perempuan.

Empat Iparku yang lain belum menikah. Usia mereka delapan hingga duabelas tahun diatasku. Ada juga yang sebaya denganku, Rossy, adik suamiku. Sedangkan Nandean, suamiku, anak ke enam.

Dari keenam iparku, dua orang membenciku. Sebabnya? aku tidak tahu. Mereka menunjukkan ketidaksukaannya sejak pertama bertemu. Terutama Marry, dia terang-terangan menunjukkan kebenciannya dengan cara yang vulgar.

Sedangkan Lily, lebih pada munafik. Di depanku ia baik, di belakangku ia mempengaruhi Marry agar bersikap jahat padaku.

Nandean selalu meminta kesabaranku dalam menghadapi saudara-saudaranya. Itu sebabnya aku tetap bersikap baik, meski tak selalu dibalas baik.

Tetap menyapa dengan sopan, meski sapaanku seperti angin yang tak diperhitungkan.

Berbeda dengan iparku, kedua mertuaku sangat baik. Mungkin itu juga penyebab mereka benci padaku, karena iri. Semakin baik mertua memperlakukan aku, mereka semakin benci dan jahat padaku.

Mertuaku tak punya asisten rumah tangga. Segala sesuatu dikerjakan sendiri oleh Mama. Memasak, beres-beres, bersih-bersih. Iparku hanya membantu saat mereka libur. Itu pun tidak dilakukan secara rutin.

Dengan alasan libur adalah waktu istirahat, maka hari libur mereka gunakan untuk bermalas-malasan atau jalan-jalan seharian. Praktis aku lah yang sering membantu Mama mengurus rumah. Aku kasihan dan tak sampai hati melihatnya kerepotan sendiri.

Subuh-subuh aku sudah bangun, menyiapkan teh dan sarapan untuk mertuaku. Sehingga Mama bisa agak santai sholat subuh dan memperpanjang dzikir. Aku membereskan piring kotor bekas mereka makan malam, membersihkan dapur dan menyapu halaman. 

Suara sapu lidi bersentuhan dengan tanah dan kerikil menjadi alasan bagi Marry untuk memakiku. Kepalanya muncul di jendela kamar dan berujar: "Iblis, pagi-pagi ganggu orang tidur.." matanya membelalak.

Aku pura-pura tidak melihat dan mendengar. Aku membereskan sampah-sampah daun mangga dan nangka yang berguguran.

Saat aku kembali ke belakang, dia sudah ada di ruang makan. Berdiri di samping meja. Melihatku masuk dari pintu samping, dia langsung berucap:

 "setan, cari muka... " lalu dia membanting sendok teh yang tadi kuletakkan di sisi gelas teh Bapak.

Aku diam saja.

"Apa sih, nak..? pagi-pagi kok sudah ngomong gak karuan.." Mama keluar dari kamar, selesai dzikir.

"Mama minum teh yang sudah didukunin sama setan itu, makanya nurut.." kata Marry.

Aku terkejut.

"Astaghfirullahal'adziem... jaga mulutmu, Marry.. tak baik bicara seperti itu.." kata Mama.

Tapi Marry sudah melengos, masuk kamar sambil membanting pintu.

"Sabar ya, Naya.." bisik mama kepadaku.

Aku cuma tersenyum. 

Sedih rasanya setiap pagi mengalami hal seperti ini. Selalu saja ada alasan Marry untuk memakiku.

Tak lama Bapak mertuaku pulang jalan pagi, ia membawa bungkusan makanan. 

"Untuk Naya.." katanya kepada Mama. 

Sambil tersenyum mama memberikannya padaku.

"Terimakasih ya, pak.." sambutku.

Kubuka bungkusan itu, ada bubur kacang hijau dan kue lupis. Kuhidangkan di meja sarapan, bersamaan dengan nasi goreng yang sudah kusiapkan.

"Makanlah berdua mamamu, aku makan nasi goreng saja.." kata Bapak.

"Mana si Nandean..?" Tanyanya lagi.

Aku memanggil suamiku. Kami sarapan bersama. 

Iparku, Lily, keluar kamar.

"Banyak amat sarapan ini..? Boros mama ini.." gerutunya.

"Bapakmu yang beli.." mama berkata pelan dan halus.

"Kenapa kau pusing..? Uangku yang kupakai.." kata bapak.

"Untuk siapa bapak beli bubur itu..?" Tiba-tiba Marry sudah berdiri di samping Lily.

"Terserah aku untuk siapa.." jawab Bapak.

"Anak orang bapak beliin, anak sendiri gak bapak pikirin.." gerutu Marry.

Nandean berdiri. 

"Kau mau bubur ini..? Nih, ambil.." katanya pada Marry.

"Haram aku makan makanan yang sudah diberikan pada setan.." Jawab Marry sambil melangkah pergi.

"Astaghfirullahal'adziem... " Mama istighfar.

"Yah.. apa boleh buat.. begitulah iparmu, Naya.. banyak-banyaklah kau bersabar.." kata bapak.

Aku diam saja. Menurut Nandean, tingkat kecerdasan marry dibawah normal. Itu sebabnya kami semua harus memaklumi.

Begitulah drama yang kulalui setiap pagi.

Hingga aku melahirkan Leang, putraku. Kami masih tinggal disana. Alasan klise, suamiku anak lelaki satu-satunya. 

Kebahagiaan Mama dan Bapak bertambah dengan hadirnya Leang, sementara kebencian Lily dan Marry semakin tebal. Mereka kian sering menyebarkan fitnah ke kakak adik mereka yang lain, Rara, Naura, Anggun, dan Rossy. Seringkali tanpa sebab yang jelas mereka memusuhiku.

Suatu kali Mama pergi mengunjungi rumah kerabatnya di Medan. Maka tugas-tugas harian mama beralih semua kepadaku. Tak satu pun dari iparku yang mau membantu. Padahal aku juga repot dengan urusan bayiku.

"Begitulah ibu rumah tangga.." ujar Lily, tiap kali dia melihat aku menjemur cucian atau memasak sambil menggendong Leang.

Anggun memilih pura-pura tak melihat. Rossy yang agak baik hati, kadang mbamtu menyapu dan mengepel lantai. Kadang ia pun kena sasaran kemarahan marry dan Lily karena membantu meringankan pekerjaanku.

Rara, iparku yang sulung, datang ke rumah. Mengeluhkan dirinya yang sudah hampir dua bulan tidak berangkat kerja karena ketiadaan pembantu rumah tangga. Ia kerepotan mengurus ke tujuh anaknya.

Lily dan Marry menyarankan Rara untuk menitipkan anaknya ke rumah ini. Mereka pun mencari orang yang ditugaskan untuk menjaga Dzaki, anak bungsunya yang seumur Leang. Keesokan harinya rumah mertuaku ramai. Enam orang anak kecil yang besarnya hampir rata dan seorang bayi, dititipkan di rumah ini. 

Anehnya, pembantu yang ditugaskan menjaga Dzaki, hanya boleh menjaga Dzaki, tidak boleh melakukan pekerjaan lain. Sehingga tugas-tugas lain, membereskan rumah, mainan, menyiapkan makanan, seolah menjadi tugasku.

Hari pertama dan kedua, aku memaklumi. Hari ketiga dan keempat aku bersabar hati. Hari kelima dan keenam aku menahan diri. Hari ke tujuh, aku mulai emosi.

Apalagi Leang sampai terjatuh dari ayunan bayi saat aku sibuk membersihkan ikan di dapur, menyiapkan makan siang untuk anak-anak itu.

Esoknya saat Nandean dan Bapak pergi bekerja, aku pun pergi ke luar rumah. Tanpa tujuan. Aku menggendong Leang, berkeliling kota naik angkot. Dari satu terminal ke terminal lain. Dari satu pasar ke pasar lain. Seharian.

Aku pulang menjelang Maghrib. Lily dan Marry duduk di teras rumah, aku pura-pura tak melihat. Di dapur, Rara sedang memasak sambil membanting-banting perkakas. 

Aku masuk ke kamar. Nandean sudah pulang.

"Darimana.." tanyanya.

"Dari pasar.." jawabku.

"Seharian..?" Tanyanya lagi.

Aku diam.

"Sudah makan..?" 

Aku menggeleng.

Nandean menyorongkan sepiring buah pepaya.

Mungkin diambilnya dari pohon di samping rumah.

Aku memakannya, sambil menyusui Leang.

"Bukan cuma kau yang lapar, bayimu juga lapar.." kata Nandean.

Aku mulai menangis. Aku memang lelah sekali.

"Kenapa kau pergi..?" Tanyanya.

Aku tak menjawab.

"Kau tak mau mengurus anak-anak itu kan..?" Tuduh Nandean.

"Kau pergi seharian, mereka kelaparan.." katanya.

Aku merasa disalahkan.

"Mereka lapar, itu bukan tanggungjawabku.. itu urusan orangtuanya.." jawabku.

Plak! Satu tamparan mendarat di pipiku.

"Kau tinggal disini.. jadi siapa pun yang ada disini, itu menjadi tanggungjawab kita.." katanya.

Aku menatapnya tak berkedip.

Ia tak ada beda dengan saudara-saudaranya. Ini pasti racun yang dijejalkan Lily dan Marry kepada Nandean saat aku tak ada.

Aku kembali menggendong Leang. Mengemas pakaian bayi, keluar kamar.

"Mau kemana..?" Tanya Nandean keras.

Aku tak menjawab. Melesat keluar dari kamar.

"Jangan pulang lagi..!!!" seru Nandean.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status