"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham.
"Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.
Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang.
"Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.
Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku. Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku. Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.
Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.
Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara kolektif dalam kehidupan, kita akan menemukan bahwa sejatinya lelaki dan perempuan itu seimbang dalam berbagai peran dan fungsi sosialnya di masyarakat.
Rasanya aku tak sabar menunggu kakak-kakakku bercerita setelah pertemuan mereka dengan ipar-iparku itu nanti.
Handphone-ku berdering.
Nama Kak Irfan tertera di screen."Assalamualaikum, iya, kak." Jawabku setelah menekan tombol hijau."Nay, biaya pengobatan Leang bagaimana? Kalian punya dananya?" Tanya kak Irfan.
"Ada asuransi, kak." Jawabku.
Hatiku bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba kakakku menanyakan hal ini."Oh, jadi sudah dicover asuransi ya. Baiklah."
Panggilan diputus.Lalu pesan W* masuk dari suamiku.
[Aku bawakan makan siang ya, sekalian untuk ayah, ibu, dan Pakde nya Leang]
[Ditunggu bawaannya, menantu dan adik ipar kesayangan 😘][Tolong sekalian beli juga untuk Bapak, Mama, dan Tante-tantenya Leang][Siap]Satu jam kemudian suamiku datang, berbarengan dengan keluargaku yang kembali lagi ke kamar.
Kami makan bersama.
"Bapak Leang sudah tahu belum hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis untuk Marry?" Tanya Ayah.
"Belum, Yah" jawab suamiku.
"Bapaknya Leang kan baru datang, Yah. Belum ketemu sama Pak Regar." Kata Kak Irfan."Memang gimana katanya, Yah?" Tanya suamiku.
"Agak berat keliatannya. Harus dioperasi.Kemungkinan baiknya bisa sehat tapi tak bisa 100% seperti semula, kemungkinan buruknya kehilangan kemampuan pendengaran dan bicaranya, kemungkinan paling buruk jika tidak operasi tetap koma entah sampai kapan." Papar ayah.
"Biayanya diestimasikan diatas angka duaratus juta. Nah, tadi saudara-saudara mu bilang, karena musibah ini akibat ulah Naya maka keluarga Naya lah yang harus menanggung biayanya." Terang ayah lagi.
Nandean tertawa.
"Orang gila." Gumamnya sambil menggelengkan kepala."Yang ngomong seperti itu siapa, Yah?" Tanya Nandean.
"Rara sama Lily." Jawab Ayah.
"Terus Bapak bilang apa? Ada ngomong gak Bapak?" Tanya Nandean lagi.
"Bapakmu malah bilang, jangan didengarkan, pak. Nanti kami musyawarah keluarga dulu." Jawab ayah.
"Kebiasaan Bapak memang begitu, semua dimusyawarahkan dulu." Kata suamiku.
"Kadang aku juga bingung sama mereka yang perempuan-perempuan itu." Keluhnya.
"Tapi tanpa diminta pun nanti kami akan tetap membantu biayanya. Makanya tadi Irfan saya minta tanya Naya bagaimana biaya Leang, katanya sudah dicover asuransi, berarti persiapan bantuan untuk Leang kami alihkan untuk Marry." Kata Ayah.
"Kakak-kakaknya Nandean itu agak-agak aneh ya?" Gurau Kak Ilham sambil tertawa.
"Memang aneh." Tawa Nandean."Kalau tak aneh, tak akan ada cerita hari ini." Kata kak Irfan.
Ayah hanya tersenyum.Kemudian mereka semua sholat Dzuhur ke musholla.Aku dan ibu sholat di kamar."Nay," sapa ibu saat aku mencium tangannya setelah selesai sholat.
"Maafkan ibu ya. Ibu tak pernah tahu kesusahanmu." Ucap ibu sambil menangis.
"Ibu, Naya baik-baik saja, ibu tenanglah." Hiburku sambil tersenyum.Kugenggam tangan hangat pemilik syurgaku, tangan yang dulu merawat dan membesarkan aku dengan seluruh kasih sayangnya. Tangan yang mengerjakan berbagai hal untuk memenuhi aneka kebutuhanku. Tangan yang senantiasa menengadah ke langit memohon kebaikan-kebaikan dalam hidupku.
Bahkan kini tangan itu pun melakukannya untuk putraku.Tiba-tiba aku menyadari satu hal, yang membuatku bertahan melalui ujian hidup hingga saat ini adalah doa ibuku.
-0-
Siang itu Bapak meminta kami berkumpul. Aku menitipkan penjagaan Leang pada Ibu yang kebetulan masih berada di Rumah Sakit. Ayah dan kakak-kakak ku juga tampaknya masih menunggu perkembangan berita dari keluarga mertuaku.
Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit
"Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.
Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar
"Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den