Home / Urban / AKU MEMBUNUH IPARKU / BAB 2 TRAGEDI

Share

BAB 2 TRAGEDI

Author: Lailatun H
last update Last Updated: 2022-03-20 16:22:30

 Marry berdiri dekat pintu kamar, ia menguping pertengkaran kami. 

Pertengkaran aku dan Nandean, ini memang tujuan mereka.

Aku terus berjalan, melintasi dapur, menuju pintu keluar.

Nandean menangkapku.

Enam orang anak berbaris memperhatikan kami.

"Kau lihat Mama Tari kerepotan sendirian? Lalu kau masih mau pergi ?" Bentak Nandean.

"Itu bukan urusanku..!!!" Aku juga berteriak.

"Aku bisa mengurus anakku, tapi aku capek kalau harus mengurus delapan anak sekaligus..!!!" teriakku.

"Iya, itu memang urusanku!!! Aku tak memintamu mengurus anakku!!!" Teriak Rara.

"Tapi kenapa aku yang harus menyiapkan makanan mereka setiap hari..?" Tanyaku.

"Jadi kau keberatan???.. hah?" Tanya Nandean.

Aku sempat melirik Marry dan Lily yang tersenyum simpul.

Tiba-tiba Bapak muncul.

"Ada apa sih..??" Tanyanya.

"Gak tau.. ribut aja!!" Marry bersungut-sungut.

"bikin malu..!!" timpal Lily.

"Diam kau..!" bentak Bapak pada keduanya.

"Jangan kau tambah-tambah keributan disini.."

Lily dan Marry diam.

"Kau, Rara.. kenapa kau marah-marah, teriak-teriak di rumahku?" Tanya Bapak.

"Aku capek, pak! Kerja seharian,  Anakku di rumah kelaparan!" Jawab Rara tak kalah keras suaranya.

"Itu urusanmu! Kenapa pula kau marah-marah disini?" gerutu bapak.

"Siapa pula yang nyuruh kau taruh anakmu disini..?" tanya Bapak lagi.

"Lily dan Marry yang nyuruh aku nitip anak-anak disini, biar aku bisa kerja..!" jawab Rara.

"Ini rumah saya, sudah izin kau sama saya..?" tanya Bapak.

Rara terdiam.

"Bukan haknya Lily dan Marry mengatur orang-orang ini. Saya yang berhak ngatur di rumah ini, paham kau..??"

"Bodohnya kau, diatur-atur adikmu.."

Diam-diam Lily dan Marry meninggalkan ruangan.

"Kau juga, Nandean.. kenapa pula kau marah-marahi si Naya..?"

"Dia pergi seharian.." jawab Nandean.

"Sudah kau tanya kenapa dia pergi?" Tanya Bapak lagi.

"Dia capek ngurus anak-anak ini.." kata Nandean. "Iya kan..?" Tambahnya lagi kepadaku.

"Macam mana dia tak capek. Sudah capek pun dia urus bayimu, dia urus urusan rumah ini, ditambah pula urusan anak si Rara. Wajar kalau dia capek. Dia bukan ibu asrama, bukan ibu panti asuhan." Kata Bapak.

"Naya, kau masuklah.. istirahat di kamarmu.." ujar bapak kepadaku.

"Kau, Nandean.. jangan kau marah-marahi istrimu karena urusan orang lain.."

"Dan kau, Rara.. tak pantas kau marah-marah di rumah ini, marah-marah pada menantu kami. Kurang ajarnya kau ini. Pulang ke rumahmu sana, bawa semua anakmu. Jangan kau merecoki rumah tangga orang lain..!" 

Aku masuk ke kamar. Mendekap anakku erat-erat.

Nandean masuk, memelukku.

Ku dengar Rara memanggil anak-anaknya.

Lalu rumah sepi. Mereka pulang.

=000=

Keesokan harinya Lily dan Marry menghampiriku saat aku menyapu halaman.

"Puas kau ya.. sudah membuat keluarga orang berantakan..!!" Seru Marry sambil menjambak rambutku. 

Aku meringis kesakitan. 

"Kalau tidak mau mengurus orang rumah ini, sana cari kontrakan! Gak usah tinggal disini..!" Kata Lily, matanya membelalak.

"Nanti aku bicarakan dengan bapak, aku akan pergi dari sini.." jawabku.

"Bapak.. Bapak.. itu Bapak kami, bukan Bapakmu!" Kata Marry, telapak tangannya mendorong keras pipiku.

Aku masuk ke rumah. Mengemasi pakaian anakku.

"Mau kemana..?" Tanya Nandean. Dia dari kamar mandi, tidak tahu keributan di depan tadi.

"Kita pindah saja.." jawabku. Tak bisa kutahan air mata.

"Mama belum pulang, " kata Nandean.

" Kita cari dulu saja kontrakannya.." jawabku.

Aku sudah tak tahan lagi. Mereka sudah menggunakan kekerasan fisik.

Nandean ke luar kamar. Tak lama ku dengar teriakan mereka bersahutan. Bertengkar. Aku tak ingin tahu isi pertengkaran mereka, aku hanya ingin secepatnya pergi dari rumah ini.

"Ayo, kita pergi.." ajak Nandean saat ia kembali masuk kamar.

Aku menggendong Leang, Nandean membawa perlengkapan bayi.

Seharian itu kami mencari rumah kontrakan. Menjelang malam, kami menemukan sebuah rumah petak kecil. Nandean langsung membayar biaya sewa untuk satu bulan. Kami putuskan untuk langsung bermalam disana malam itu. 

Seorang tetangga di rumah petak sebelah meminjamkan tikar untuk kami tidur. Bahkan kami hanya memakai pakaian yang melekat di badan. Esok harinya Nandean pulang dan kembali ke kontrakan membawa beberapa helai pakaian.

Seminggu kemudian, Mama mertuaku pulang. Kami kesana, berpamitan, dan membawa pakaian yang tersisa.

"Kalian bilanglah sama Bapak.." kata Mama.

"Sudah bulat tekadmu mau keluar dari rumah ini..?" Tanya Bapak.

Aku dan Nandean mengiyakan.

"Yah.. mau bagaimana lagi. Memang harus ada yang mengalah .." kata bapak.

"Saudara-saudara mu ini belum menikah, maka mereka masih menjadi tanggungjawab saya. Kalian pun sudah punya tanggungjawab sendiri.." katanya lagi.

"Kalau memang dirasa baik untuk pindah, silakan pindah, belajar mandiri.. itu juga bagus.." kata bapak.

"Baik-baik dengan tetangga disana ya, Nay.." pesan mama.

Aku mengangguk. Menyalami kedua orangtua itu dengan hormat.

Sejak itu aku hanya sesekali berkunjung ke rumah mertuaku, saat hari raya atau hari tertentu jika Mama meminta kami datang. Lily dan Marry masih menampakkan permusuhan. Terutama Marry, bahkan dia sudah membanting pintu saat melihat aku memasuki halaman rumah.

Anakku, Leang, tumbuh semakin besar, sehat dan lincah. Ia selalu ketakutan melihat Marry. Aku pernah melihat Marry menyalakan api di sepotong kayu dan mendekatkankannya ke wajah Leang, untung saat itu aku segera datang. Dia langsung melempar potongan kayu itu ke jalan. Tapi itu membuatku jadi lebih berhati-hati saat membawa Leang ke rumah kakek dan neneknya.

Suatu hari kami berkunjung kesana. Leang berumur dua tahun. Dia sudah berlari cepat dan tak bisa diam. Aku dan mama mengobrol di teras depan. Leang bermain di halaman. 

Tak lama Marry keluar dari kamar.

"Aku mau pergi, ma..!!" Dia berteriak kepada Mama 

"Gerah aku di rumah ini kedatangan anak setan..!!" Katanya.

Aku dan mama hanya diam, tidak menanggapi.

Dia berjalan ke arah pintu pagar, membuka pagar lebar-lebar. 

"Jangan lebar-lebar, nak.. ada anak kecil ini, nanti dia lari ke jalan.." kata Mama mengingatkan, sambil bangkit hendak menutup pintu pagar.

"Biar saja! Biar mati ketabrak mobil sekalian!!" Jawab Marry keras.

Leang berlari cepat ke arah pintu pagar yang terbuka. Aku berlari mengejar anakku. Tapi Leang sudah keluar pagar, berlari ke arah jalan. 

Di saat bersamaan sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Tak bisa menghindar dari Leang yang berlari. Tubuh kecilnya terlempar ke udara lalu jatuh beberapa puluh meter mengenai ujung mobil yang juga sedang melintas di jalur lain. Leang tergeletak di aspal. 

Aku menjerit. Berlari menubruk tubuh Leang, darah mengalir dari mulut, hidung, dan telinganya. Matanya tertutup. 

"Leeeaaaaaaangng....!!!!!" Teriakanku mengangkasa menyebut namanya. Orang-orang ikut menjerit. 

Aku melihat ke arah Marry tadi pergi. Ia masih terlihat, belum jauh berjalan. Kuletakkan tubuh Leang dan bangkit berlari mengejar Marry.

Kutarik pakaiannya. Tenagaku berlipat ganda. Kutinju wajahnya, kudorong tubuhnya, kuinjak-injak perutnya, dadanya. Ia berteriak-teriak. Orang-orang berusaha memegangi aku. Tapi aku sudah kerasukan setan. Aku terus menendangnya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 61

    Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 60 BAPAK MARAH

    Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 59 PINJAM MOBIL

    "Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 58 LILY TIBA DI RUMAH

    Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 57 LILY MINTA DIJEMPUT

    "Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 56 PERPISAHAN DENGAN LILY

    "Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status