Share

BAB 6

Author: Lailatun H
last update Last Updated: 2022-03-22 09:10:34

"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.

Air mataku mengalir lagi.

Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini.

"Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum.

"Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.

Mama mengiyakan.

Seorang perawat menghampiri kami.

"Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah.

"Oh, iya mba." Jawabku.

Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.

Suamiku sudah berdiri di depan pintu.

"Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.

Para perawat yang mengantar tertawa.

"Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.

Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat.

"Leang." Sapa Anggun

"Heiii..." Sapa Lily

"Mau pindah kamar ya?" Lanjutnya.

Leang tersenyum.

Beberapa langkah kemudian terdengar suara Lily,

"Dia senang anaknya sudah sadar, Marry belum. Entah sampai kapan. Perempuan gak tau diri!" Gerutunya.

Aku pura-pura tidak mendengar. 

Kulirik suamiku. Ia tampak berhenti sejenak dan menoleh pada kedua saudaranya.

Pagi ini Leang menempati ruang rawat inap sehingga bisa dikunjungi oleh beberapa orang sekaligus.

Bapak dan mama duduk di sisi kiri dan kanan tempat tidur Leang. Mengajaknya ngobrol. Leang pun tampak riang, wajah pucatnya berangsur hilang.

"Kalian jaga anak ini baik-baik." kata Bapak kepada aku dan Nandean.

"Dialah generasi penerus pembawa nama besar klan kita, jadikan dia orang baik. Sedikit saja sikap buruknya, akan terbawa buruk nama marga." lanjut Bapak berpesan.

"Khawatir benar saya kemarin melihat kondisinya, terasa nyawa saya yang akan hilang. Sudah putus rasanya harapan saya." suara Bapak terdengar parau.

"Tapi Allah Maha Besar.. diselamatkanNya cucu saya." Bapak terisak-isak.

Aku mengelus punggung Bapak.

"Mohon doakan Leang segera sehat lagi ya, pak." Pintaku.

"Siang malam doa saya untuk anak, cucu, dan menantu saya, tak pernah lepas nama kalian dari bibir saya." ujar Bapak.

Air mataku mengalir.

Aku duduk disisi Bapak, menyentuh tangan tuanya.

"Pak, Saya minta maaf." ucapku terbata.

"Mohon maaf sudah melukai kak Marry, saya salah, pak. Saya benar-benar khilaf." kataku bersungguh-sungguh.

"Tidak ada orang yang tak khilaf melihat anaknya meregang nyawa. Kau masih muda, emosimu masih tinggi. Bahkan mamamu pun masih emosi saya rasa kalau melihat anaknya seperti Leang kemarin. " sahut Bapak.

"Tapi mau bagaimana lagi. Diterima saja, ini musibah bersama, musibah keluarga kita. Mungkin sudah terlalu banyak dosa-dosa kita, dosa-dosa si Marry, sehingga harus mendapat cobaan seperti ini." Bapak melanjutkan.

"Mama kemarin gak bisa ngomong lagi, Nay." Kata Mama.

"Mama yang setiap hari lihat kelakuan si Marry, menyaksikan perbuatannya padamu, melihat sikapnya pada anakmu. Tidak ada orangtua yang tak sakit hati saat anaknya diperlakukan buruk walaupun oleh saudara sendiri. Mama sudah pernah mengalami, jadi mama tahu perasaanmu." ujar mama lagi.

"Kalian bersabarlah, perjalanan hidup masih panjang. Kami cuma bisa mendoakan kalian bisa rukun dan hidup dengan tenang." kata Bapak.

"Assalamualaikum..." Terdengar ucapan salam dan ketukan di pintu.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh..." Jawab kami serempak.

Suamiku membuka pintu kamar.

Tampak ayah dan ibuku berdiri disana, diikuti kedua kakak lelakiku.

Aku menyambut keempatnya, menyalami dan mencium punggung tangan mereka. 

Kedua kakakku datang dari pulau seberang. Mereka memelukku hangat.

"Adikku ini kok tambah kecil saja." Canda Kak Ilham, kakak tertuaku.

"Mana si jagoan?" Tanya kak Irfan, si kakak kedua.

"Leang, Heeeiii... Apa kabar jagoan Pakde ini?" Mereka menyapa Leang yang tertawa gembira di pembaringan.

Ayah, Ibu, Bapak, dan Mama seperti biasa langsung terlibat perbincangan akrab. Bersyukur sekali memiliki orangtua dan mertua yang akur dan kompak seperti ini.

Bapak dan mama menanyakan kabar serta tugas baru kak Ilham dan kak Irfan. 

Ayah dan ibu juga menanyakan perkembangan kondisi Marry. Aku tau, keluargaku pun menanggung beban moral atas peristiwa kemarin. Mereka pasti tak pernah menyangka putrinya bertindak bar-bar tak terkontrol. 

Ayah ibu pun menyampaikan permohonan maaf kepada mertuaku atas perbuatanku.

"Ah, sudahlah, Pak Ikram. Naya tak sepenuhnya salah. Marry juga salah, sampai cucu kami harus menanggung akibatnya." jawab Bapak.

"Biar jadi pengalaman dan pembelajaran, Bu. Supaya ke depannya lebih hati-hati pada ipar dan keponakan." Sambung Mama.

Sementara kak Ilham dan kak Irfan asyik bercanda dengan Leang. Menyuapi bubur, merayu minum obat, menjanjikan naik pesawat jika nanti sudah sembuh. 

Sebuah bentuk komunikasi yang tak pernah Leang dapatkan dari saudara-saudara ayahnya.

Jam 9 pagi Leang tertidur. Kedua kakakku berbincang hangat dengan mertuaku. 

Nandean pamit untuk ke toko sebentar, kami punya sebuah toko alat optik di pasar kota.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. 

Kepala Lily muncul.

"Pak, dipanggil dokter, mau laporan keadaan Marry. Ditungguin dari tadi malah enak-enakan ngobrol disini." katanya kepada Bapak.

"Mama ini juga, bukannya nungguin anaknya malah ngobrol gak penting di kamar orang." Omelnya pada Mama.

Ayah dan Ibuku tampak terkejut, bahkan kedua kakakku menatapnya penuh keheranan.

"Tak ada lagi rupanya sopan santunmu? bicaralah yang benar pada orangtua." Jawab Bapak.

Tapi Lily langsung beranjak pergi.

"Maaf, Pak Ikram dan ibu, kami tinggal dulu ya." pamit Bapak dan Mama.

"Oh, iya, Pak. Semoga ada kabar bagus dan menggembirakan dari dokter tentang Marry." Jawab Ayah.

Bapak dan Mama meninggalkan kamar tergesa.

"Itu tadi iparmu, Nay?" Tanya kak Ilham.

Aku tersenyum, "iya.." jawabku.

Tiba-tiba Kak Irfan terbahak.

"Pantas saja yang satu dihajar Naya. Kelihatannya yang lain nunggu giliran, Nay.

 hahahaha.." ledek Kak Irfan.

"Hussss! Provokasi." Sungut kak Ilham.

Ayah dan Ibu tersenyum.

"Bicara sama orangtuanya saja begitu, apalagi dengan orang lain." kata Ayah.

"Kemarin tak ada yang basa basi menegur ayah dan ibu. Ibu pikir karena mereka masih marah dan kesal pada Naya. Tapi ternyata memang sifatnya begitu rupanya." Ujar ibu sambil tersenyum.

"Mungkin memang wataknya seperti itu, Bu." sahut Kak Ilham.

"Tapi Bapak dan Mamanya ramah ya. " kata Kak Irfan.

"Jadi penasaran pengen ketemu saudaranya Nandean yang lain." Ujar kak Irfan lagi.

"Nanti, sambil jenguk yang namanya Marry." kata Ibu. 

Mereka menyetujui.

Lalu perbincangan mengalir tentang kronologi kejadian kemarin. Aku ceritakan semuanya. 

"Tapi memang sejak dulu Marry memusuhimu ya?" Tanya kak Ilham.

"Begitulah..." Jawabku mengambang.

"Coba cerita yang jujur, Nay. Biar kami tahu dan tak salah mengambil keputusan atau tindakan yang diperlukan jika suatu saat keluarga Nandean menuntutmu ke ranah hukum karena kasus ini." Kata Kak Irfan.

Aku pun bercerita tentang bagaimana perlakuan mereka selama aku menikah dengan suamiku.

"Gila, empat tahun dibully ipar dan kau telan sendiri?" Tanya kak Ilham.

"Wajar saja kemarin meledak. Itu pun setelah Leang jadi korban." Kata kak Irfan.

Aku terdiam.

Ayah dan ibu menatapku prihatin.

Mungkin mereka kecewa, sedih, dan entahlah. Saat tahu bahwa anaknya jadi korban bullying keluarga suami.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 61

    Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 60 BAPAK MARAH

    Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 59 PINJAM MOBIL

    "Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 58 LILY TIBA DI RUMAH

    Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 57 LILY MINTA DIJEMPUT

    "Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan

  • AKU MEMBUNUH IPARKU   BAB 56 PERPISAHAN DENGAN LILY

    "Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status