Aku sendiri heran, mama dan bapak begitu baik, begitu santun, mengapa anak-anaknya memiliki temperamen dan karakter yang jauh berbeda.
Kami kembali ke ruang tunggu IDM, kulihat ayah dan ibuku sudah datang. Mereka terlibat pembicaraan dengan Bapak, Nandean, dan Pak Syam, seorang tetangga yang kebetulan ikut ke Rumah Sakit karena menangani pertolongan Leang saat kejadian.
"Saya sedang berdiri di depan pagar rumah saya. Tiba-tiba pintu pagar Pak Regar terbuka lebar, suaranya keras. Saya agak terkejut. Saya lihat Marry yang membuka sambil marah dan entah mengatakan apa. Leang kecil melesat lari keluar, dikejar oleh ibunya, namun ada mobil lewat ngebut tak sempat menghindar. Saya dan beberapa orang yang kebetulan melihat menjerit, pak... Ngeri kami melihat tubuh kecil itu terpental dan terlempar lagi oleh mobil lain..." Pak Syam menceritakan kronologi kejadian.
Ayah dan ibuku tercengang.
"Ibunya Leang menjerit sambil memeluk anaknya.." lanjut si Bapak.
"Entah kenapa tiba-tiba dia letakkan lagi Leang lalu berlari mengejar Marry, nah disitulah kejadian dia memukuli Marry hingga pingsan..."
"Astaghfirullah..." Ibuku tak henti beristighfar. Kengerian membayang di wajahnya.
"Bapak dengar apa yang dikatakan Marry ketika membuka pagar..?" Tanya ayahku.
"Tidak terlalu jelas, cuma saya menangkap kata 'biar mati sekalian' itu saja.. cuma saya pikir dia sedang marah atau bertengkar dengan mamanya atau saudaranya yang lain. Karena biasanya seperti itu.." jawab Pak Syam.
"Memang Marry sering marah-marah seperti itu ya, pak..?" Tanya ayahku, lebih ditujukan pada Bapak mertuaku.
"Yaaah... Si Marry ini memang 'agak kurang' pak... Kalau sedang mengamuk, mamanya saja kalah.." keluh Bapak.
"Sama Naya sering marah juga..?" Cecar ayahku.
Bapak terlihat agak kikuk."Naya tak pernah cerita, pak..?" Pak Syam, tetangga itu yang justru bertanya balik.
"Naya tak pernah cerita apa pun tentang iparnya. Dia hanya bercerita mertuanya sangat-sangat baik memperlakukan dia. Jadi sepengetahuan kami, hubungan Naya dengan iparnya pun baik-baik saja.." jawab ayah.
Ya, memang aku tak pernah menceritakan perlakuan ipar-iparku kepada ayah dan ibu. Bahkan kepada Nandean pun tidak, kecuali ia mendapati sendiri perlakuan mereka kepadaku.
"Naya..." Panggil ibu ketika melihatku.
Aku belum menyapa kedua orangtuaku, karena ikut larut dalam cerita Pak Syam.Aku langsung menghampiri mereka, mencium tangan keduanya. Kutahan-tahan air mata, namun elusan tangan ibu di punggungku membuat isakku kembali pecah.
Seorang perawat keluar dari ruang IDM.
"Keluarga Ibu Marry..." Panggilnya."Bukan ibu-ibu, suster.." tukas Lily yang entah sejak kapan sudah ada di ruang ini lagi.
"Oh ya, maaf..." Jawab perawat itu sambil tersenyum.
Bapak dan mama masuk ke dalam ruangan. Kulihat Lily kasak-kusuk dengan Naura dan Anggun.
"Kalau sampai ada apa-apa dengan Marry, kita tuntut si Naya.." kata Lily berapi-api.
Nandean menghampiri mereka."Kalau sampai ada apa-apa dengan anakku, ku tuntut si Marry..." Tegas Nandean.
"Dan kau.. yang selalu menyuntikkan racun kebencian pada marry juga harus bertanggungjawab.." tunjuknya pada Lily.
"Kau dan kau.. kalau mau berkomplot dengan mereka silakan.." tantang Nandean pada Naura dan Anggun.
"Kami ini kakakmu, jangan sembarangan kau bicara..." Jawab Lily.
"Kakak yang tidak pernah mencontohkan hal-hal baik kepada adik.." ujar Nandean.
Mereka terdiam.Kulihat ayah dan ibu mengamati mereka dari tempat duduknya.
"Pak Regar ini serba salah, pak..." Ucap Pak Syam kepada ayahku."Nandean ini anak ke-enam. Laki-laki sendirian. Yang ke dua, empat, dan lima ini belum menikah. Perempuan semua. Jadi yang suka bikin ricuh ini ya mereka inilah.. " papar pak Syam.
"Secara umur, mereka sudah lebih dewasa semua, tapi masih jadi tanggungjawab Pak Regar.." ucap ayahku.
"Iyaaa... Istri saya sering cerita, Bu Regar itu sayang betul sama menantunya, menantunya juga baik katanya.." lanjut Pak Syam.
Ayahku cuma tersenyum.Tak lama Bapak dan Mama keluar dari ruang IDM, langsung diberondong pertanyaan oleh ketiga anak perempuannya.
"Bagaimana, pak..?"
"Tunggu hasil pemeriksaan lanjutan, saat ini Marry masih belum sadar..." Jawab Bapak singkat.Mereka tampak kecewa.Bapak dan mama kembali berbincang dengan Ayah, ibu, dan Pak Syam.
Adzan Dzuhur berkumandang, kami sholat bergantian.
Aku kembali merayu Tuhan, berupaya menggetarkan langit dengan doa-doaku, berharap malaikat meng-amin-kan permohonanku, berhajat Allah memperkenankan keinginanku atas kesembuhan dan keselamatan Leang.Siang itu Leang dan Marry dipindahkan ke ruang ICU untuk perawatan dan pemantauan intensif oleh dokter.
Aku hanya dapat memandangi tubuh kecilnya dari balik jendela kaca.Ayah dan ibu memanggilku dan Nandean, mereka berdua hendak pulang dulu.
"Nandean... Naya ini putri kami satu-satunya, sebagaimana kau juga anak lelaki satu-satunya Bapak dan Mama. Artinya kasih sayang kami kepada kalian pasti sama. Kalian telah menjadi orangtua dan kalian bisa menakar sendiri sebesar apa kasih sayang orangtua kepada anaknya. Tak ada orangtua yang rela ketika anaknya disakiti atau bahkan dicelakakan orang lain. Maka kami menitipkan Naya kepadamu agar dijaga baik fisik maupun psikisnya. Kami telah mempercayakan penjagaan dan perlindungan Naya kepadamu, maka jagalah kepercayaan kami..." Ucap Ayah.
"Iya, yah..." Jawab Nandean.
"Naya..." lanjut ayah
"Kalau ayah menitipkan sesuatu kepadamu agar kau jaga dan kau rawat sepenuh hati, apakah kau mau...?" Tanya ayah.Meski bingung, aku tetap menjawab: "mau, yah...""Lalu jika suatu saat ayah ambil lagi titipan tersebut, apakah kau akan ikhlas mengembalikan pada ayah..?"
"Naya ikhlas, yah..." Jawabku.
"Kalau pada titipan ayah kau bisa ikhlas, apalagi pada titipan Tuhan, kau harus lebih ikhlas kan...?"
Aku terperangah, akalku mulai mencerna kata-kata ayah. Air mataku berderai-derai lagi."Insya Allah, Naya ikhlas..." Jawabku terbata-bata.
Ayah memelukku erat.
"Yang paling dibutuhkan dalam hidup ini adalah sabar, ikhlas, dan syukur, nak... Ayah yakin kau bisa menggenggam ketiganya ditanganmu. Genggam yang erat, meski tangan kurusmu terasa lemah..." Aku menangis dalam pelukan ayahku."Kalau kita sabar dan ikhlas menghadapi segala persoalan hidup, Allah akan mendatangkan yang terbaik untuk kita. Maka yakin dan bersyukurlah.."
Aku memeluk lelaki terhebat dalam hidupku erat-erat.
Maybe I found the prince in my life, but he still be the king in my heart...Saat berpamitan pada mertuaku, ayah dan ibu mengatakan lagi:
" kami titipkan anak, menantu, dan cucu kami, pada Bapak dan Bu Regar...""Ya, itu juga anak, menantu, dan cucu kami, pak..." Jawab Bapak dan Mama.Sepulang ayah dan ibuku, aku kembali termangu mengingat pesan mereka, sambil memandangi sosok putraku dalam ruang kaca. Dia lah titipan Tuhan yang harus aku ikhlaskan jika pemiliknya mengambil kembali...
Siang dan soreku dipenuhi doa-doa panjang bagi Leang. Namun kali ini aku hanya meminta yang terbaik menurut Tuhan.
Jika Tuhan masih mempercayaiku untuk merawat dan membesarkan Leang, aku mohon agar Tuhan menyegerakan kesembuhan Leang dan mengembalikannya dalam asuhan kami.
Namun jika menurut Tuhan kami tak layak untuk menjaga dan merawatnya lagi, maka aku mohon Tuhan memberikan kesabaran yang panjang dan keikhlasan yang tebal dalam jiwa kami agar mampu menerima takdir terbaikNya.Tak kuhiraukan Rara, Lily, Naura, Anggun, dan Rossy, yang kasak kusuk, mondar mandir tak jelas. Aku hanya fokus menguatkan hatiku agar siap menghadapi segala kemungkinan. Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk."Makan, Nay." Ajak Mama.Aku menggeleng."Makanlah walau sedikit, nanti kau sakit." bujuk Bapak."Makan, Nay." Nandean menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.Aku mengunyah pelan.Pepatah yang mengatakan nasi dimakan terasa sekam air diminum terasa duri ada benarnya, kini aku merasakannya sendiri.Betapa sulit aku menelan makanan ini.Aku menyerah di suapan kedua."Minum, kak." Rossy menghampiriku, membawakan satu cup es jeruk."Terimakasih" Ucapku pelan.Lily melirik benci.
"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.Air mataku mengalir lagi.Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini."Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum."Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.Mama mengiyakan.Seorang perawat menghampiri kami."Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah."Oh, iya mba." Jawabku.Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.Suamiku sudah berdiri di depan pintu."Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.Para perawat yang mengantar tertawa."Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat."Leang." Sapa Anggun"Heiii..." Sapa Lily"Mau pi
"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham."Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang."Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku.Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku.Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara
Kami memilih tempat di sebuah sudut halaman parkir yang agak rindang untuk bermusyawarah. Bapak mulai membuka rundingan, menyampaikan hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis yang harus dilakukan termasuk estimasi biaya."Jadi Saya mengumpulkan kalian untuk memusyawarahkan bagaimana kita akan mengatasi masalah ini. Setiap orang harus berpendapat, supaya nanti tidak ada saling iri dan saling menyalahkan. Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Marry." Kata Bapak."Yang membuat Marry sakit lah yang bertanggungjawab." Celetuk Rara yang langsung diperingatkan oleh Bang Ishaq, suaminya."Apaan sih" katanya pelan."Aku setuju sama Rara." Kata Lily."Kalau gak mau tanggungjawab, kita laporkan ke kepolisian, kasus penganiayaan." Lanjutnya.Nandean mendehem."Kalau menurut aku sih kita bisa sumbangan semampu kita, jika masih kurang nanti dicarikan jalan lainnya." Kata Naura yang diiyakan oleh Tanto, suaminya.
"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak."Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi."Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar."Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri."Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily
Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum
Dua pasang orangtua kami sedang bersinergi membangun kekuatan yang sebenarnya dalam hubungan kekerabatan. Mestinya hal ini menjadi contoh bagi anak-anaknya."Mama, ada yang mau disampaikan?" Tanya Bapak kepada Mama setelah Isaknya reda."Kami dan anak-anak kami mengucapkan terimakasih atas perhatian besan kami, semoga bermanfaat dan Allah membalas dengan rezeki yang berlipat-lipat kepada besan sekeluarga.Soal Naya, terus terang saja, kami menyayangi Naya seperti anak sendiri bahkan mungkin lebih, sehingga menimbulkan kecemburuan anak kami yang lain.Jadi mohon maaf Bapak dan Ibu Ikram, kalau ada kekeliruan kami dalam menjaga Naya selama menjadi menantu kami."Suara mama pelan namun cukup jelas."Yang lain dari Anggun, Naura, Lily, Rara, masih ada yang mau disampaikan?" Tawar Bapak."Terimakasih Banyak kepada Pak Ikram dan keluarga, atas nama pribadi saya mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam memperlakukan Ibunya Leang." Ucap Anggun.
"Sama-sama, pak. Inilah fungsinya keluarga, saling mengingatkan. Kami mohon pamit, untuk bantuannya akan kami kirim ke rekening Naya agar dapat segera diserahkan kepada Bapak. Jumlahnya 50 juta." Kata Ayah."Nah, kalau begitu kan jelas. Biar transparan. Ya Nggak, Nay?" Kata Rara.Naura langsung menyikutnya,"Apa sih, Ra?"Sementara mata Bang Ishaq melotot pada istrinya.Ayah, ibu, kak Ilham dan kak Irfan pun pamit pulang.Mereka memelukku hangat dan erat."Tenang, Nay. Kami selalu di belakangmu untuk menguatkan dan mendukungmu." Bisik Kak Irfan.Terimakasih, Tuhan.Kau berikan aku cinta berkelimpahan.Pasti akan ada cerita baru tentang ipar-iparku setelah pertemuan sore ini.Menjelang Maghrib kondisi Leang kembali mengkhawatirkan. Demam tinggi. Berkali-kali infus lepas dan pindah tempat."Ibu, kepala Eang sakit." Rintihnya."Sabar ya, nak. Nanti setelah minum obat sembuh." Bujukku samb