Share

BAB 4 MENCOBA IKHLAS

  Aku sendiri heran, mama dan bapak begitu baik, begitu santun, mengapa anak-anaknya memiliki temperamen dan karakter yang jauh berbeda.

Kami kembali ke ruang tunggu IDM, kulihat ayah dan ibuku sudah datang. Mereka terlibat pembicaraan dengan Bapak, Nandean, dan Pak Syam, seorang tetangga yang kebetulan ikut ke Rumah Sakit karena menangani pertolongan Leang saat kejadian.

"Saya sedang berdiri di depan pagar rumah saya. Tiba-tiba pintu pagar Pak Regar terbuka lebar, suaranya keras. Saya agak terkejut. Saya lihat Marry yang membuka sambil marah dan entah mengatakan apa. Leang kecil melesat lari keluar, dikejar oleh ibunya, namun ada mobil lewat ngebut tak sempat menghindar. Saya dan beberapa orang yang kebetulan melihat menjerit, pak... Ngeri kami melihat tubuh kecil itu terpental dan terlempar lagi oleh mobil lain..." Pak Syam menceritakan kronologi kejadian.

Ayah dan ibuku tercengang.

"Ibunya Leang menjerit sambil memeluk anaknya.." lanjut si Bapak. 

"Entah kenapa tiba-tiba dia letakkan lagi Leang lalu berlari mengejar Marry, nah disitulah kejadian dia memukuli Marry hingga pingsan..."

"Astaghfirullah..." Ibuku tak henti beristighfar. Kengerian membayang di wajahnya.

"Bapak dengar apa yang dikatakan Marry ketika membuka pagar..?" Tanya ayahku.

"Tidak terlalu jelas, cuma saya menangkap kata 'biar mati sekalian' itu saja.. cuma saya pikir dia sedang marah atau bertengkar dengan mamanya atau saudaranya yang lain. Karena biasanya seperti itu.." jawab Pak Syam.

"Memang Marry sering marah-marah seperti itu ya, pak..?" Tanya ayahku, lebih ditujukan pada Bapak mertuaku.

"Yaaah... Si Marry ini memang 'agak kurang' pak... Kalau sedang mengamuk, mamanya saja kalah.." keluh Bapak.

"Sama Naya sering marah juga..?" Cecar ayahku.

Bapak terlihat agak kikuk.

"Naya tak pernah cerita, pak..?" Pak Syam, tetangga itu yang justru bertanya balik.

"Naya tak pernah cerita apa pun tentang iparnya. Dia hanya bercerita mertuanya sangat-sangat baik memperlakukan dia. Jadi sepengetahuan kami, hubungan Naya dengan iparnya pun baik-baik saja.." jawab ayah.

Ya, memang aku tak pernah menceritakan perlakuan ipar-iparku kepada ayah dan ibu. Bahkan kepada Nandean pun tidak, kecuali ia mendapati sendiri perlakuan mereka kepadaku.

"Naya..." Panggil ibu ketika melihatku. 

Aku belum menyapa kedua orangtuaku, karena ikut larut dalam cerita Pak Syam. 

Aku langsung menghampiri mereka, mencium tangan keduanya. Kutahan-tahan air mata, namun elusan tangan ibu di punggungku membuat isakku kembali pecah.

Seorang perawat keluar dari ruang IDM.

"Keluarga Ibu Marry..." Panggilnya.

"Bukan ibu-ibu, suster.." tukas Lily yang entah sejak kapan sudah ada di ruang ini lagi.

"Oh ya, maaf..." Jawab perawat itu sambil tersenyum.

Bapak dan mama masuk ke dalam ruangan. Kulihat Lily kasak-kusuk dengan Naura dan Anggun.

"Kalau sampai ada apa-apa dengan Marry, kita tuntut si Naya.." kata Lily berapi-api.

Nandean menghampiri mereka.

"Kalau sampai ada apa-apa dengan anakku, ku tuntut si Marry..." Tegas Nandean.

"Dan kau.. yang selalu menyuntikkan racun kebencian pada marry juga harus bertanggungjawab.." tunjuknya pada Lily.

"Kau dan kau.. kalau mau berkomplot dengan mereka silakan.." tantang Nandean pada Naura dan Anggun.

"Kami ini kakakmu, jangan sembarangan kau bicara..." Jawab Lily.

"Kakak yang tidak pernah mencontohkan hal-hal baik kepada adik.." ujar Nandean.

Mereka terdiam.

Kulihat ayah dan ibu mengamati mereka dari tempat duduknya.

"Pak Regar ini serba salah, pak..." Ucap Pak Syam kepada ayahku.

"Nandean ini anak ke-enam. Laki-laki sendirian. Yang ke dua, empat, dan lima ini belum menikah. Perempuan semua. Jadi yang suka bikin ricuh ini ya mereka inilah.. " papar pak Syam.

"Secara umur, mereka sudah lebih dewasa semua, tapi masih jadi tanggungjawab Pak Regar.." ucap ayahku.

"Iyaaa... Istri saya sering cerita, Bu Regar itu sayang betul sama menantunya, menantunya juga baik katanya.." lanjut Pak Syam.

Ayahku cuma tersenyum.

Tak lama Bapak dan Mama keluar dari ruang IDM, langsung diberondong pertanyaan oleh ketiga anak perempuannya.

"Bagaimana, pak..?"

"Tunggu hasil pemeriksaan lanjutan, saat ini Marry masih belum sadar..." Jawab Bapak singkat.

Mereka tampak kecewa.

Bapak dan mama kembali berbincang dengan Ayah, ibu, dan Pak Syam.

Adzan Dzuhur berkumandang, kami sholat bergantian. 

Aku kembali merayu Tuhan, berupaya menggetarkan langit dengan doa-doaku, berharap malaikat meng-amin-kan permohonanku, berhajat Allah memperkenankan keinginanku atas kesembuhan dan keselamatan Leang.

Siang itu Leang dan Marry dipindahkan ke ruang ICU untuk perawatan dan pemantauan intensif oleh dokter. 

Aku hanya dapat memandangi tubuh kecilnya dari balik jendela kaca.

Ayah dan ibu memanggilku dan Nandean, mereka berdua hendak pulang dulu.

"Nandean... Naya ini putri kami satu-satunya, sebagaimana kau juga anak lelaki satu-satunya Bapak dan Mama. Artinya kasih sayang kami kepada kalian pasti sama. Kalian telah menjadi orangtua dan kalian bisa menakar sendiri sebesar apa kasih sayang orangtua kepada anaknya. Tak ada orangtua yang rela ketika anaknya disakiti atau bahkan dicelakakan orang lain. Maka kami menitipkan Naya kepadamu agar dijaga baik fisik maupun psikisnya. Kami telah mempercayakan penjagaan dan perlindungan Naya kepadamu, maka jagalah kepercayaan kami..." Ucap Ayah.

"Iya, yah..." Jawab Nandean.

"Naya..." lanjut ayah

"Kalau ayah menitipkan sesuatu kepadamu agar kau jaga dan kau rawat sepenuh hati, apakah kau mau...?" Tanya ayah.

Meski bingung, aku tetap menjawab: 

"mau, yah..."

"Lalu jika suatu saat ayah ambil lagi titipan tersebut, apakah kau akan ikhlas mengembalikan pada ayah..?" 

"Naya ikhlas, yah..." Jawabku.

"Kalau pada titipan ayah kau bisa ikhlas, apalagi pada titipan Tuhan, kau harus lebih ikhlas kan...?"

Aku terperangah, akalku mulai mencerna kata-kata ayah. 

Air mataku berderai-derai lagi.

"Insya Allah, Naya ikhlas..." Jawabku terbata-bata.

Ayah memelukku erat.

"Yang paling dibutuhkan dalam hidup ini adalah sabar, ikhlas, dan syukur, nak... Ayah yakin kau bisa menggenggam ketiganya ditanganmu. Genggam yang erat, meski tangan kurusmu terasa lemah..." 

Aku menangis dalam pelukan ayahku.

"Kalau kita sabar dan ikhlas menghadapi segala persoalan hidup, Allah akan mendatangkan yang terbaik untuk kita. Maka yakin dan bersyukurlah.." 

Aku memeluk lelaki terhebat dalam hidupku erat-erat. 

Maybe I found the prince in my life, but he still be the king in my heart...

Saat berpamitan pada mertuaku, ayah dan ibu mengatakan lagi: 

" kami titipkan anak, menantu, dan cucu kami, pada Bapak dan Bu Regar..."

"Ya, itu juga anak, menantu, dan cucu kami, pak..." Jawab Bapak dan Mama.

Sepulang ayah dan ibuku, aku kembali termangu mengingat pesan mereka, sambil memandangi sosok putraku dalam ruang kaca. Dia lah titipan Tuhan yang harus aku ikhlaskan jika pemiliknya mengambil kembali...

Siang dan soreku dipenuhi doa-doa panjang bagi Leang. Namun kali ini aku hanya meminta yang terbaik menurut Tuhan. 

Jika Tuhan masih mempercayaiku untuk merawat dan membesarkan Leang, aku mohon agar Tuhan menyegerakan kesembuhan Leang dan mengembalikannya dalam asuhan kami. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status