Share

MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU
MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU
Penulis: Putri putri

AWAL KEJADIAN

MENOLAK DIHINA

“Kok baru datang sih! Dari tadi kami sudah nungguin sampai pegal.” Baru saja membuka pintu, kami langsung disambut dengan kemarahan oleh Mas Rafly, kakak tertuaku. 

“Maaf, Mas! Tadi di jalan hujan. Jadi kami berteduh dulu,” jawabku lalu masuk ke dalam rumah. Suamiku mengikuti di belakang membawa ransel kami. 

“Makanya beli mobil kayak kita, jadi kalau hujan enggak kehujanan,” cibir Mbak Mela, istri Mas Rafly. 

“Kami juga punya mobil, Mbak. Hanya saja sedang dipakai buat mengangkut barang,” sahutku setelah mencium takdim punggung tangan bapak dan ibu kemudian duduk di antara mereka. Suamiku meletakkan barang bawaan kami di pinggir tembok lalu duduk di sebelahku. Tentu saja setelah bersalaman dengan orang tuaku. 

“Punya kamu itu bukan mobil, tapi gerobak!” ejek Mas Rendy, kakakku yang nomor dua. 

“Iya, palingan juga mogok! Harusnya mobil kamu dijual rongsok saja!”  timpal Mas Rafly.

Sontak seisi ruangan dipenuhi oleh tawa kedua kakakku dan istrinya. Aku merasa tersinggung mendengar mereka mengejekku. Memang benar kami hanya memiliki mobil lawas, itu pun mobil bak terbuka untuk mengangkut barang, tapi tak sepatutnya mereka mengatai kami. Aku berniat membalas ucapan mereka. Namun, suamiku memegang tanganku. 

“Sabar...," bisiknya lirih. 

Aku hanya mampu diam. Selalu saja seperti ini. Setiap kami kumpul di rumah bapak, mereka terus mengolokku yang hidup sederhana dan bersuami seorang petani. 

“Sudah... sudah...," lerai Bapak, "bapak mengumpulkan kalian bertiga bukan untuk saling mengolok, tapi mau mengajak musyawarah,” 

Aku sedikit lega mendengar pembelaan Bapak. Kedua kakakku memang tak pernah setuju aku menikah dengan Mas Damar. 

“Ini kenyataan, Pak. Bukan mengolok,” kilah Mbak Mela. 

“Iya. Lagian salah Sekar sendiri. Milih suami kok petani. Jelas saja hidupnya pas-pasan.” Tanpa tedeng aling-aling Mas Rafly merendahkan pekerjaan suamiku. 

“Coba saja dulu dia nikah sama laki-laki pilihan kami, pasti hidupnya enggak sengsara,” ejek Mbak Arum, istrinya Mas Rendy. 

Dulu, mereka menjodohkanku dengan laki-laki kaya kenalan Mas Rendy. Namun, aku menolak. Hatiku sudah kadung dimiliki Mas Damar. Lelaki yang setengah tahun lalu menikahiku. 

“Rafly... Rendy... berhenti menghina adikmu. Seharusnya kalian membantunya. Bukan malah dijadikan lelucon.” Ibu yang sedari tadi diam langsung menasihati kedua anak dan menantunya. 

Seketika tawa renyah mereka hilang setelah ibu membuka suara. Ibu memang penyabar, tapi tegas jika anaknya berbuat salah. 

“Enggak apa-apa, Bu. Kenyataannya kami memang hanya petani, tapi kami juga bahagia. Yang penting kami makan dari keringat sendiri. Tidur juga di rumah sendiri.” Dengan santai Mas Damar menanggapi cemooh Kakak-kakakku. Entahlah! Dia benar-benar tak marah atau hanya menyembunyikan perasaannya saja. 

“Kamu menghinaku!” bentak Mas Rafly dengan mata memerah. 

“Menghina bagaimana, Mas?” tanya suamiku dengan wajah kebingungan. 

“Jangan pura-pura bodoh. Kamu mengataiku kan karena masih tinggal di kontrakkan! Asal kamu tahu. Kami sedang membangun rumah megah. Hanya saja belum selesai,” teriak Mas Rafly sambil mengacungkan telunjuknya pada suamiku. 

“Maaf, Mas! Aku tidak tahu itu,” ucap suamiku sambil tersenyum.

“Sudah...  sudah...  kok malah berantem sih! Kalian bapak panggil ke sini untuk musyawarah, bukan untuk saling mengejek!” lerai Bapak. 

Kami semua diam. Kalau Bapak marah memang terlihat garang, tapi sebenarnya dia baik kok.

“Sebenarnya ada apa sih, Pak? Apa Bapak mau bagi-bagi warisan lagi?” celetuk Mas Rendy.

“Ingat, Pak! Bagian anak laki-laki dua kali lipat,” timpal Mas Rafly. 

Aku mengelus dada melihat kedua kakakku yang mata duitan. Dari dulu enggak pernah berubah. Selalu khawatir kalau aku dikasih lebih banyak padahal Bapak dan Ibu memperlakukan kami dengan adil. 

“Sabar... biarkan Bapak bicara. Kalian dengarkan dulu.” Ibu menasihati anak-anaknya. 

Bapak menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Aku menatapnya erat, tak sabar menanti apa yang akan dia sampaikan. 

“Jadi begini, sawah Bapak tertabrak proyek pelebaran jalan. Bapak mendapat ganti rugi 50 juta. Rencananya uang itu akan kami gunakan untuk biaya umrah. Karena uangnya masih kurang, bapak minta kalian membantu. Apa kalian sanggup?” jelas bapak panjang lebar. 

Aku mengangguk paham. Sudah lama Bapak dan Ibu ingin pergi umrah. Hanya saja uang belum ada. Makanya sampai saat ini mereka belum berangkat. 

“Waduh. Kami sedang membangun rumah, Pak. Kayaknya enggak bisa membantu,” ujar Mbak Mela.  

“Iya, kami juga punya cicilan di koperasi. Jadi sekarang enggak pegang uang,” timpal Mbak Arum. 

Aku menggelengkan kepala mendengar ucapan kedua kakak iparku. Baru tadi mereka mengolokku seolah hidupnya sudah mapan. Giliran bapak minta bantuan langsung mengaku enggak ada uang.  

“Lagian Bapak kenapa sih ingin umrah segala. Mending uangnya dibagi saja. Kan gampang,” usul Mas Rafly. 

“Kalau itu aku setuju,” tambah Mas Rendy. 

“Kalian berdua kan sudah dikasih tanah sama Bapak masing-masing seperempat hektar. Kenapa masih meminta lagi. Aku saja yang belum dikasih setuju dengan keinginan bapak. Aku menyela ucapan kakak-kakakku. 

Bapak diam menyimak kata-kata anak dan menantunya. Dari raut wajahnya aku tahu bapak kecewa. Namun, aku tak berani bilang apa-apa. Selama ini hanya Mas Damar yang bekerja sedangkan aku hanya mengurus rumah. Jadi, aku tak berani menggunakan uang tanpa izin suamiku. 

“Kalau begitu, biar nanti kami yang menggenapi kekurangan uangnya. Insya alloh kami ada,” celetuk Mas Damar. 

Sontak mereka semua menatap pada kami. Ibu dan bapak tersenyum bahagia, sedangkan kakak-kakakku tersenyum mengejek. 

“Jangan sok kaya! Makan saja susah, malah mau nyumbang segala,” cibir Mas Rafly. 

“Iya, mending dibagi saja uangnya. Biar Sekar pegang uang. Kasihan dia enggak pernah dikasih uang sama suaminya.  Pasti enggak pernah perawatan. Kulitnya saja sampai gosong di jemur seharian.” Timpal Mbak Mela. 

Sontak telinga ini memanas mendengar kakak iparku menghina Mas Damar. Walaupun hanya petani, suamiku selalu memberi nafkah untukku, bahkan lebih dari cukup. 

Mas Damar memang tak memberiku uang banyak. Namun, kami hidup di desa. Beras enggak beli, sayuran tinggal petik, ayam tinggal potong. Tanpa berhemat pun uang dari Mas Damar selalu lebih di akhir bulan jika sekedar untuk kebutuhan sehari-hari. 

“Justru ini yang aku suka dari Sekar. Cantiknya natural. Antara wajah kaki dan tangan warnanya senada. Aku enggak suka perempuan yang wajahnya terlihat kinclong tapi kakinya burik,” Jawab Mas Damar melirik pada kedua kakak iparku bergantian. 

“Kamu mengataiku!” bentak Mbak Arum. 

“Enggak kok, Mbak. Kan aku ngomongin istriku,” sahut suamiku tanpa merasa bersalah. 

“Sudah... Tolong jangan ribut terus!” perintah ibu. 

Kami semua terdiam. Namun, sesekali masih saling melirik tak suka. Layaknya dua kubu yang berseteru. Aku dan Suamiku vs kedua kakakku dan istrinya. 

“Baiklah! Bapak memutuskan menerima sumbangan dari Damar.” Dengan tegas akhirnya bapak memberi keputusan. 

Aku menarik nafas lega. Pada akhirnya cita-cita bapak dan ibu akan segera terwujud.

“Sekarang sudah malam, kalian istirahat dulu, besok kita bicara lagi," ujar Ibu lalu mengajak bapak beristirahat.

“Ini gara-gara kamu! Jika bukan karena kamu yang sok kaya, pasti Bapak akan membagi uang itu!” Baru saja Bapak dan Ibu beranjak, Mas Rafly langsung memaki suamiku. 

“Loh, ini kan keputusan Bapak. Kenapa malah kami yang disalahkan!” sanggahku. 

“Seharusnya kamu setuju uang itu dibagi saja. Bukan malah menyumbang. Kami yang hidupnya enak saja enggak sok kaya seperti suamimu,” tambah Mas Rendy. 

Astaga! Baru tadi Mbak Arum bilang enggak pegang uang, eh sekarang suaminya bilang hidupnya enak.

Aku melirik pada Mas Damar yang sedari tadi  hanya tersenyum saja. Aneh! Dihujat kok bisa setenang itu. 

“Pokoknya kalian tak boleh menyumbang Bapak! Kalian harus membujuk Bapak agar membatalkan niatnya. Uang itu harus dibagi!” tekan Mas Rafly dengan mata menatap nyalang pada kami. 

Aku mengelus dada mendengar pernyataan kakakku. Sebagai anak seharusnya mendukung orang tua yang punya hajat baik.  Bukan malah seperti itu. 

“Enggak bisa dong, Mas! Itu uang mereka. Jadi terserah Bapak mau dipakai buat apa!” tegasku.  

“Kamu berani membantah perintahku?” Mas Raffly mengangkat tangan ke atas seolah ingin menamparku, tapi Mbak Mela langsung memegangi suaminya sambil membisikkan sesuatu. 

Entah apa yang kakak iparku katakan. Yang jelas, perlahan Mas Rafly menurunkan tangan. 

Mas Damar bangkit, berdiri memasang badan melindungiku. 

“Uang segitu saja jadi rebutan. Bagaimana kalau Bapak punya milyaran? Bisa-bisa kalian saling bunuh,” serunya. 

“Yuk, Dek! Kita tidur saja!” Mas Damar menepuk pundakku. 

Aku mengangguk lalu segera berdiri. Kami berjalan beriringan meninggalkan mereka. 

Kuhempaskan tubuh di atas ranjang yang dulu setia menemani malamku. Memejam sejenak berusaha menenangkan pikiran. 

“Sudah... jangan terlalu dipikirkan. Mungkin mereka lagi butuh uang.” Mas Damar mengelus pucuk kepalaku. 

Perlahan aku membuka mata. Menatap pada suamiku yang berbaring miring di sebelahku dengan satu tangan menyangga kepala. 

“Kenapa ya Mas mereka seperti ini pada kita?” keluhku. 

Mas Damar tersenyum tanpa menghentikan tangannya yang terus membelai rambutku.

“Mungkin mereka iri pada kita.  Selama ini kan kita selalu hidup damai meski hanya sebagai petani,” jawab suamiku. 

“Iri dari mananya, Mas. Mereka yang kaya kok mereka yang iri,” sanggahku. 

“Ya enggak tahu,” sahut Mas Damar sambil menggerakkan bahu.

“Dari pada mikirin yang enggak jelas, mending kita tidur saja,” ajaknya.

Mas Damar mengubah posisinya menjadi terlentang sedangkan aku memiringkan tubuh menghadap suamiku lalu memeluknya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status