Share

BAB 2

“Ini gara-gara kamu! Jika bukan karena kamu yang sok kaya, pasti Bapak akan membagi uang itu!” Baru saja Bapak dan Ibu beranjak, Mas Rafly langsung memaki suamiku. 

“Loh, ini kan keputusan Bapak. Kenapa malah kami yang disalahkan!” sanggahku. 

“Seharusnya kamu setuju uang itu dibagi saja. Bukan malah menyumbang. Kami yang hidupnya enak saja enggak sok kaya seperti suamimu,” tambah Mas Rendy. 

Astaga! Baru tadi Mbak Arum bilang enggak pegang uang, eh sekarang suaminya bilang hidupnya enak.

Aku melirik pada Mas Damar yang sedari tadi  hanya tersenyum saja. Aneh! Dihujat kok bisa setenang itu. 

“Pokoknya kalian tak boleh menyumbang Bapak! Kalian harus membujuk Bapak agar membatalkan niatnya. Uang itu harus dibagi!” tekan Mas Rafly dengan mata menatap nyalang pada kami. 

Aku mengelus dada mendengar pernyataan kakakku. Sebagai anak seharusnya mendukung orang tua yang punya hajat baik.  Bukan malah seperti itu. 

“Enggak bisa dong, Mas! Itu uang mereka. Jadi terserah Bapak mau dipakai buat apa!” tegasku.  

“Kamu berani membantah perintahku?” Mas Raffly mengangkat tangan ke atas seolah ingin menamparku, tapi Mbak Mela langsung memegangi suaminya sambil membisikkan sesuatu. 

Entah apa yang kakak iparku katakan. Yang jelas, perlahan Mas Rafly menurunkan tangan. 

Mas Damar bangkit, berdiri memasang badan melindungiku. 

“Uang segitu saja jadi rebutan. Bagaimana kalau Bapak punya milyaran? Bisa-bisa kalian saling bunuh,” serunya. 

“Yuk, Dek! Kita tidur saja!” Mas Damar menepuk pundakku. 

Aku mengangguk lalu segera berdiri. Kami berjalan beriringan meninggalkan mereka. 

Kuhempaskan tubuh di atas ranjang yang dulu setia menemani malamku. Memejam sejenak berusaha menenangkan pikiran. 

“Sudah... jangan terlalu dipikirkan. Mungkin mereka lagi butuh uang.” Mas Damar mengelus pucuk kepalaku. 

Perlahan aku membuka mata. Menatap pada suamiku yang berbaring miring di sebelahku dengan satu tangan menyangga kepala. 

“Kenapa ya Mas mereka seperti ini pada kita?” keluhku. 

Mas Damar tersenyum tanpa menghentikan tangannya yang terus membelai rambutku.

“Mungkin mereka iri pada kita.  Selama ini kan kita selalu hidup damai meski hanya sebagai petani,” jawab suamiku. 

“Iri dari mananya, Mas. Mereka yang kaya kok mereka yang iri,” sanggahku. 

“Ya enggak tahu,” sahut Mas Damar sambil menggerakkan bahu.

“Dari pada mikirin yang enggak jelas, mending kita tidur saja,” ajaknya.

Mas Damar mengubah posisinya menjadi terlentang sedangkan aku memiringkan tubuh menghadap suamiku lalu memeluknya. 

Keesokan harinya, seusai subuh aku membantu Ibu di dapur. Bergelut dengan rutinitas menyiapkan sarapan. 

Pagi ini kami memasak sayur pare dan goreng tempe. Kemarin, sebelum ke sini aku sempat memetik pare di kebun belakang rumah dan membawanya sebagai buah tangan. 

Setelah semua siap, kami satu keluarga kumpul mengitari meja makan. 

“Dari tadi di tunggu-tunggu ternyata cuma masak kayak gini. Ngilangin selera makan saja!” celetuk Mas Rafly melihat piring berisikan sayur pare. 

“Hush! Enggak boleh bicara begitu. Ini semalam Sekar yang bawa. Pare juga enak loh,” tegur Ibu. 

“Pare itu pahit, Bu. Sepahit hidupnya Sekar. Aku ogah makan kayak gitu,” ejek Mas Rendy sembari terkekeh. 

Aku yang sedang menyendok nasi untuk Mas Damar langsung menghentikan aktivitasku. Menatap marah pada Mas Rendy karena tak henti mengolok kehidupanku. 

“Bagaimana kalau kita sarapan di luar saja,” usul Mbak Mela. 

“Wah... kalau itu aku setuju. Biar nanti aku yang traktir. Anggap saja lagi nyenengin mertua,” sahut Mbak Arum. 

“Kalau begitu tunggu apa lagi? Yuk berangkat,” Ajak Mas Rafly. 

Mereka berempat berdiri, bersiap meninggalkan meja makan. 

“Ayo, Bu, Pak! Kita berangkat sekarang!” ajak Mas Rendy. 

Aku menatap Bapak dan Ibu bergantian, berharap mereka tetap tinggal. 

“Kami makan di rumah saja,” tolak ibu halus. 

“Ayolah, Bu. Sekali ini saja. Biarkan kami berbakti,” bujuk Mbak Arum.

Ibu dan Bapak saling tatap. Dari raut wajahnya aku tahu mereka ragu. 

“Jangan khawatir. Sekar sama Damar juga diajak kok. Mereka juga keluarga kita,” ungkap Mas Rendy. 

Seketika senyum terpancar dari wajah perempuan yang telah melahirkanku. Ibu berdiri lalu mendekat mengajakku. Aku menatap ragu pada Mas Damar yang sedari tadi diam tanpa ekspresi. 

Mas Damar mengangguk lalu berdiri. Akhirnya kami semua beranjak meninggalkan meja makan. 

Sebenarnya aku kecewa karena mereka tak sudi menikmati hasil keringatku. Namun, demi menjaga perasaan Ibu akhirnya aku menurut. 

“Pakai mobil kamu saja ya, Mas! Mobilku bannya agak kempes,” ujar Mas Rendy saat kami semua telah di halaman.

“Tapi mobilku cuma muat enam orang,” jawab Mas Rafly. 

Kami semua saling pandang. Sampai akhirnya Mbak Mela membuka suara. 

“Bapak dan Ibu ikut kami naik mobil. Damar sama Sekar naik motor saja, bagaimana?” usulnya. 

“ya sudah. Lagian mereka kan enggak biasa naik mobil. Takutnya malah nanti mabuk kendaraan. Kan repot!” Mbak Arum tersenyum melirik pada aku dan Mas Damar. 

Ejekan demi ejekan terus mereka lontarkan pada kami. Sesabar-sabarnya manusia pasti lelah jika seperti ini. 

“Ayo, Bu, Pak, cepat. Aku sudah lapar nih!” Setengah memaksa Mas Rafly merangkul Bapak, membawanya masuk ke mobil. 

Ibu masih berdiri di tempat semula, menatap iba pada kami. 

Mencoba tersenyum, aku mengantar ibu masuk ke mobil. “Jangan khawatir, Bu. Kami juga ikut.” 

Tak lama kemudian, mereka semua masuk lalu segera berangkat. 

Menatap kepergian mereka, aku menghela nafas berat. Ada yang bilang persaudaraan itu segala-galanya, tapi pada faktanya harta lebih utama. 

“Maafkan kakak-kakakku ya, Mas,” ucapku setelah mereka tak terlihat. 

“Enggak apa-apa, Dek. Wong keadaannya memang begini.” Mas Damar memaksakan senyum. 

“Jadi bagaimana sekarang?” tanyaku. 

“Kita makan di rumah saja. Berdua kan lebih romantis.” Mas Damar meraih tanganku lalu mengajak ke dalam. Akhirnya kami menikmati masakanku berdua saja. 

Selesai makan, kami memilih duduk di teras sembari menikmati kebersamaan. Sayangnya, suasana romantis tak tercipta. 

Satu jam telah berlalu. Mobil Mas Rafly merangkak masuk pekarangan lalu berhenti di depan kami. Mereka semua turun dari mobil dengan wajah ceria, kecuali kedua orang tuaku. 

“Makanannya tadi enak banget ya,” ujar Mas Rendy pamer. 

“Wajar dong! Harganya juga mahal. Mungkin cukup untuk biaya hidup Sekar satu bulan,” Mbak Arum tersenyum melirik pada kami. 

Aku hanya diam berusaha menahan gemuruh dalam dada. Ingin marah, tapi takut ibu sedih jika melihat anak-anaknya beradu mulut. 

Kakak-kakakku dan istrinya kemudian masuk tanpa menyapa kami. Ibu dan Bapak mendekatiku dengan raut sendu. 

“Kenapa tadi kamu enggak menyusul?” tanya ibu seolah tak enak hati. 

Aku tergagap mendengar pertanyaan ibu. Tadi belum sempat memikirkan alasan yang tepat. 

“Anu..., Bu,” jawabku kebingungan. 

“Motor kami mogok. Jadi enggak nyusul,” sela Mas Damar cepat. 

“Iya. Tadi mogok,” ulangku. 

Ibu memindai wajah kami bergantian. Seperti meragukan apa yang didengarnya. 

“Ya sudah. Bapak masuk dulu ya,” pamit bapak lalu segera masuk. 

“Iya, Pak,” sahutku. 

Ibu mendekat padaku. Aku sedikit menggeser bokongku, memberi ruang pada Ibu untuk duduk. 

“Apa kalian sudah makan?” tanya ibu kemudian. 

“Sudah dong. Malah Mas Damar sampai nambah.” Aku tersenyum berusaha mencairkan suasana. Aku yakin Ibu merasa bersalah karena kami tak ikut makan bersama mereka. 

Beberapa lama kemudian, Aku mendengar teriakan Bapak memanggil Ibu berkali-kali. Setengah berlari kami bertiga menuju sumber suara tersebut. Kedua kakakku sudah ada di kamar Bapak saat kami sampai. 

“Bu, apa Ibu memindahkan uang itu?” tanya Bapak dengan wajah panik. 

“Enggak kok, Pak. Memangnya kenapa?” Ibu balik bertanya. 

“Uang itu enggak ada, Bu. Uang yang mau buat biaya umrah kita,” sahut Bapak sambil terus mengobrak-abrik isi lemari. 

Kalimat yang Bapak ucapkan berhasil membuat kami semua panik. 

“Kok bisa hilang, Pak? Memangnya Bapak simpan di mana?” cecar Mas Rendy. 

“Di lemari ini. Tadi malam pas mau tidur juga masih ada kok,” akunya. 

“Coba cari dulu, siapa tahu terselip di pakaian,” ucap Ibu berusaha menenangkan suasana.

Dengan sigap aku, Mas Damar dan Ibu membantu Bapak mencari di almari sementara kedua kakakku melipat tangan menjadi penonton.

Hampir sepuluh menit membongkar isi lemari, tapi uang itu tak kunjung ditemukan. Bapak duduk di tepian ranjang, memandang lurus ke depan dengan wajah diselimuti kekecewaan. 

“Pasti rumah kita sudah kemalingan, Pak!” celetuk Mas Rafly tiba-tiba.

“Enggak mungkin. Dari kemarin rumah kita ada orang terus. Tak mungkin maling berani masuk,” sanggah Ibu. 

“Aku yakin ini ulah orang dalam, Bu,” sela Mas Rendy. 

Aku mengalihkan pandangan pada kakak keduaku. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. “Maksudnya apa ya, Mas!” 

“Pasti kalian yang sudah mengambil uang Bapak kan!” tuduh Mas Rafly pada kami. 

Aku terkejut mendengar kalimat yang keluar dari bibir kakakku. Bagaimana mungkin dia berpikir seperti itu?

“Enggak, Mas. Kami tak mungkin melakukan itu,” kilah Mas Damar. 

“Halah... jangan bohong! Di antara kita hanya kalian yang hidupnya susah. Pasti ngiler lihat duit sebanyak itu.” Mas Rendy tersenyum sinis.

Seketika telingaku memanas karena mereka semakin memojokkanku. Ini sudah keterlaluan. 

“Kami bukan pencuri!” tegasku setengah berteriak. 

“Iya, Ibu yakin Sekar tak mungkin pelakunya.” Ibu membelaku.

Hati ini sedikit lega karena ibu masih mempercayaiku. 

“Sekar sih memang enggak mungkin. Tapi suaminya..., aku yakin Damar yang mengambil uang itu, ” tukas Mas Rafly. 

“Maksud kamu apa, Mas!” bentak Mas Damar dengan mata memerah. 

Aku tersentak kaget melihat kemarahan suamiku. Ada rasa khawatir tingkah brutal Mas Damar kembali kambuh. Biar bagaimanapun suamiku mantan anak jalanan yang hobi tawuran. Aku takut dia tak bisa mengontrol emosinya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
yg ibu bapak pun tak tw terima ksih,uda mau si damar nmbhin uang .tpi makanan yg dimsak istrinya tak mau dimakan,orang tua kurang ajar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status