Share

Tujuh

Beberapa orang yang lewat ikut membantu kami. Syukurlah kami tidak apa-apa karena Mas Karim mengemudikan motornya pelan. Hanya makanan yang tumpah dan tidak terselamatkan. 

Kami menatap nanar makanan yang sudah tumpah dan kotor itu. Lelaki bertubuh tinggi itu mengambil makanan itu dan memang sudah tidak ada yang bisa dimakan karena sudah bercampur tanah. 

"Kita buang saja." Mas Karim mengambil makanan itu dan menepikan di tepi jalan. 

"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang akan kita beri makanan ini?" tanyaku. 

"Kita pulang dan minta lagi, yuk." Mas Karim kembali men-starter motor dan memintaku untuk duduk di belakangnya. 

"Apakah kita akan bilang kalau makanan ini tumpah sebelum sampai tujuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bayangan omelan dari kakak ipar sudah menari-nari di pelupuk mata. 

"Tentu saja, As. Kalau kita nggak bilang, otomatis orang-orang ini tidak akan mendapat nasi berkat dan sudah pasti ibu yang akan terkena sasaran gunjingan orang. Kita pulang dan minta ganti." 

Benar juga apa yang dibilang Mas Karim. Kalau sampai ada yng terlewat dalam memberi nasi berkat ini, tentu nama ibu akan tercoreng. 

"Pegangan yang kuat, As. Jangan sampai kamu jatuh nanti," kata Mas Karim. Ia mengendarai motornya dengan sangat lambat. 

Apa yang kukhawatirkan terjadi, Mbak Sindi marah besar saat kami bilang kalau makanan itu tumpah sebelum sampai tujuan. 

"Sudahlah, Sin. Nggak perlu marah, tinggal minta ganti dan antarkan lagi ke sana. Beres, kan?" Ibu menenangkan Mbak Sindi yang masih mencak-mencak. 

"Masalahnya semuanya sudah pas, Bu. Makanan yang matang sudah habis," jawab wanita yang selalu memaki make up tebal itu berkacak pinggang. 

"Minta orang untuk masak lagi. Orang-orang di sini masih banyak. Kalian berdua tidak apa-apa, kan?" Ibu menghampiriku dan mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ya, saat aku bilang kami jatuh, hanya ibu yang terlihat khawatir dengan keadaanku, yang lainnya cuek. Mas Ubay juga tidak ada. Ia sedang ikut mengantar makanan ke tempat lain. Mbak Sindi malah menyesali makanan yang tumpah itu. 

"Daging sapinya sudah habis, Bu," ucap Mbak Sindi kesal. 

Ibu gegas masuk ke kamar dan tidak lama kemudian ia keluar dengan membawa uang," Danang, tolong kamu beli daging sapi dua kilo." Ibu mengulurkan uang pada kakakku itu. 

"Baik, Bu." 

"Bu, kalau mau beli daging sapi bukannya harus ke pasar yang jaraknya jauh, ya? Kenapa tidak pakai daging ayam saja agar bisa beli di warung Bu Utami yang dekat." Aku mencoba memberi saran. 

Desa ini tidak terletak di pinggir jalan raya besar yang setiap hari ada yang jual daging sapi, adanya hanya daging ayam. 

"Asty, di sini tidak biasa memberi nasi berkat dengan daging ayam. Sudahlah nggak apa-apa, Nang. Pergi saja ke pasar yang ada di kecamatan itu sekarang juga," titah ibu. 

Mas Danang segera berangkat menuruti perintah ibu. 

"Kalau begini caranya, utang ini akan semakin banyak. Kenapa harus pakai acara tumpah segala, sih? Seharusnya acara ini sudah selesai." Mbak Sindi bersungut-sumgut. 

"Aku minta maaf, Sin. Nanti aku dan Asti yang akan menanggung utang lebih banyak," ucap Mas Karim. 

"Huh!" Mbak Dindi melengos dan meninggalkan kami dengan menghentakkan kaki ke lantai dengan cukup keras. 

Acara mengantar makanan yang seharusnya selesai di siang hari, ternyata sampai sore. Memasak  di sini sangatlah cepat karena yang mengerjakan banyak. Mereka seperti dikomando. 

Akhirnya acara selesai tepat pukul tiga sore hari. Orang yang membantu memasak sudah mulai pulang sehingga rumah kembali sepi. 

Tiba-tiba kepalaku pusing dan semakin lama pandanganku semakin buram dan kabur setelah itu tidak ingat apa-apa lagi. 

Mataku perlahan terbuka, kulihat aku sudah berada di kamar dan sudah ada ibu, Mas Ubay, dan para kakak serta kakak ipar. 

Aku berusaha untuk duduk, tetapi Mas Ubay menahanku," Istirahat dulu. Apa yang kamu rasakan, Dek? Pusing?" 

"Enggak, Mas. Mungkin akau hanya kecapekan aja." Aku memijit kepala perlahan. 

"Iya, As. Kamu istirahat saja. Kamu pasti kecapekan karena beberapa hari ini terlalu sibuk apalagi tadi juga jatuh dari motor." Ibu membelai rambutku. Ya, ibu memang sangat menyayangiku karena aku anak perempuan satu-satunya di rumah ini. Itulah yang membuat para kakakku cemburu dan membenciku. 

"Apa? Kamu tadi jatuh dari motor? Kenapa nggak bilang padaku? Sekarang katakan, mana yang sakit?" Mas Ubah mendadak panik. 

Aku tersenyum, "Aku enggak apa-apa, Mas. Tadi Mas Karim bawa motornya pelan, kok, jadi nggak perlu ada yang dikhawatirkan." 

"Benar?"

"Iya, Mas. Cuma, ini ada luka lecet sedikit." Aku nyengir sambil menunjukkan tanganku yang terkena kerikil. 

"Coba aku lihat!" Mas Ubay menyentuh tanganku. 

"Aduh, sakit, Mas." Aku meringis. Luka itu memang tidak seberapa, tapi lumayan perih. 

"Alah, ini pasti hanya akal-akalanmu saja  agar besok tidak jadi pulang, kan?" ucap Mbak Sindi sinis. 

Ibu melotot dan menatap tajam pada menantu perempuannya itu." Sindi!" 

"Iya, Bu. Maaf." Mbak Sindi melirik dan mengerucutkan bibir. 

"Asty tidak sakit  pun, tetap nggak bisa pulang besok karena ada perubahan mengenai biaya selamatan bapak," kata ibu. 

"Aku tahu dan itu semua gara-gara Asty yang sudah menumpahkan makanan itu. Coba dia nggak jatuh, pasti tadi tidak harus beli daging sapi lagi, kan?" sahut Mbak Sindi. 

"Enggak, Sin. Biaya total kemarin yang 35 juta itu belum termasuk untuk belanja daging sapi yang dua puluh kilo tadi, terus ada utang di warung Bu Utami, menyewa tenda, serta mengganti perkakas yang hilang atau rusak." Ibu menjelaskan panjang lebar. 

Aku melongo mendengar penjelasan ibu, dan sepertinya bukan hanya aku yang kaget mendengar biaya yang harus kami tanggung itu. 

"Utang di warung Bu Utami?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status