"Utang di warung Bu Utami? Utang apa, Bu? Dan kapan? Kalau utang itu ibu yang ambil sebelum Bapak meninggal, jelas itu bukan tanggungan kami lagi. Itu tanggungan ibu sendiri, jangan bawa-bawa kami. Pokoknya kami hanya akan menanggung biaya mulai dari Bapak meninggal hingga hari ini!" kata Mbak Sindi dengan nada tinggi.
Mbak Sindi ini hanya menantu di sini, tetapi gayanya ... "Iya, benar kata Mbak Sindi. Kalau memang utang itu diambil bukan untuk keperluan biaya selamatan bapak, jelas itu sudah beda jalur," sahut Vita—istrinya Mas Danang yang merupakan kakakku langsung. Ibu menatap kedua menantu perempuannya itu, lalu mengendikkan bahu. "Iya, Bu. Lagi pula ibu utang di sana buat apa? Bukankah uang pensiunan bapak itu cukup kalau hanya untuk kalian berdua, ya?" timpal Mas Gani. Ibu masih terdiam dan sesekali melirikku. Aku juga tidak habis pikir, ibu utang di warung Bu Utami itu untuk apa? Benar kata Mas Gani kalau bapak punya uang pensiunan. Ya, dulu bapak adalah seorang guru negeri sehingga beliau punya jaminan di hari tua. Namun, bukankah setiap bulan aku juga mengirimi ibu uang? Lalu uang itu lari ke mana?Dari ke empat anak, ibu sudah memiliki empat cucu. Mas Gani punya dua anak perempuan, Mas Danang satu juga perempuan, dan Mas Karim satu anak laki-laki. Hanya aku yang belum punya anak di sini. Semoga segera punya secepatnya. Aamiin.
Aku sering dengar kalau ibu paling sayang dengan Adnan karena ia adalah satu-satunya cucu laki-laki di keluarga ini. Apa mungkin uang yang kukirimkan itu diberikan padanya?Ah, kenapa aku jadi buruk sangka begini? Lagi pula kalau memang benar uang itu diberikan padanya, itu adalah hak ibu karena aku dan Mas Ubay sudah ikhlas memberikannya. "Anak-anak, dengarkan ibu dulu." Ibu mencoba menenangkan para menantunya yang sedang mengeluarkan pendapatnya itu. "Apa yang perlu didengarkan, Bu. Sudah jelas kalau utang di warung Bu Utami itu menjadi tanggungan ibu sendiri," kata Mbak Sindi. "Iya, betul itu. Enak saja saat punya uang, hanya Adnan yang selalu kecipratan. Giliran punya utang, kami semua yang harus menanggungnya. Ini namanya tidak adil, Bu. Kenapa ibu selalu membedakan kami?" seru Mas Danang. Raut wajahnya terlihat kesal. Aku menghela napas, ternyata apa yang kupikirkan sama dengan yang ada di otak Mas Danang. Ibu menggelengkan kepala," Kalian ini, ya. Di sini kita sedang membahas mengenai utang selamatan bapak, kenapa malah jadi merembet ke mana-mana? Sampai mengungkit ibu yang memberikan uang pada Adnan segala?" Tampak kerutan di wajah ibu. Ia juga sedikit meninggikan nada bicaranya. "Memang begitu kenyataannya, kan, Bu? Ibu selalu pilih kasih dengan semua cucu ibu." Mbak Sindi melengos. Raut wajahnya terlihat kesal."Dengar, ya, Anak-anak. Ibu tidak pernah pilih kasih pada siapa pun. Kalau cucu yang satu ibu kasih uang, pasti yang lainnya juga dikasih. Enggak mungkin hanya salah satunya saja," ucap ibu.
"Anak-anakku enggak pernah ibu kasih uang!" kata Mbak Sindi. "Iya, anakku juga," sahut Mbak Vita dengan bibir mengerucut. "Sudah cukup, Mbak! Kenapa kalian malah jadi ribut mengenai hal ini. Seharusnya kalian malu karena sepantasnya kalian yang memberi ibu uang bukan kebalikannya seperti ini," ucapku. Aku berusaha untuk duduk meski kepalaku masih sedikit pusing. Mendengar pertikaian sesama ipar itu membuat pusing yang seharusnya sembuh menjadi datang lagi. "Asty, kamu tidak tahu bagaimana rasanya melihat anak sendiri dibedakan oleh neneknya." Tangan Mbak Vita bersedekap. Ia menatap keluar jendela. "Aku bilang cukup! Di sini kita hanya akan membahas utang bapak agar jelas dan kita bisa segera melunasinya. Kasihan bapak kalau kita ribut terus seperti ini," kata Mas Ubay. Aku menoleh, suamiku yang dari tadi hanya diam dan menyimak obrolan pada kakak ipar itu akhirnya ikut angkat bicara. "Benar kata Ubay. Kasihan almarhum bapak kalah kita ribut seperti ini," kata ibu. Matanya berkaca-kaca. Wanita penyabar itu sesekali mengusap matanya, mungkin beliau ingin menangis, tetapi ditahannya sekuat mungkin. "Ibu sendiri yang mulai. Kenapa tadi bilang punya utang di warung Bu Utami segala." Mbak Sindi membela diri. Ibu menghela napas perlahan. Ia sedang menahan emosinya menghadapi para menantu yang penasaran itu. Sebenarnya bukan hanya Mbak Sindi dan Mbak Vita yang penasaran, aku juga. "Ibu nggak pernah utang di warung Bu Utami sebelumnya." Ibu mulai menjelaskan.Mbak Sindi melotot," Tadi ibu bilang punya utang di sana? Bagaimana, sih, Bu, kok jadi plin-plan gini?"
"Utang di warung Bu Utami itu juga untuk keperluan selamatan bapak," kata ibu. "Bagaimana bisa, Bu? Bukankah kita belanja di tempat yang sama yaitu di toko yang memang sudah menjadi langganan orang desa ini saat ada orang meninggal seperti ini?" tanya Mbak Sindi. Ia memang sudah lama tinggal di sini sehingga ia paham betul dengan kebiasaan warga di desa kelahiranku ini. Aku baru tahu kalau di sini ada sebuah toko yang memperbolehkan pembelinya berutang dalam jumlah besar, bahkan hingga puluhan juta. Ya, saat ada orang meninggal seperti ini, ada orang yang bertugas belanja di toko itu dan boleh dibayarkan maksimal sepuluh hari setelah hari kematian. "Sindi, belanja di toko itu terkadang ada saja yang lupa dan nggak mungkin harus ambil di toko itu lagi jika yang kurang sedikit misalnya bawang, gula merah, atau hal kecil lainnya," tukas ibu. Memang benar, kalau hanya kurang sedikit, warung yang dekat tentu menjadi pilihan tepat. "Kalian nggak usah khawatir, utang di warung Bu Utami hanya sedikit, nggak sampai lima ratus ribu, kok." Ibu merentangkan jari tangannya. Aku kaget, utang lima ratus ribu di warung dibilang sedikit, mungkin jika dibandingkan dengan utang di toko yang sudah langganan itu yang jumlahnya mencapai puluhan juta itu kali, ya. "Oh, ya, Bu. Aku lupa bilang kalau kemarin aku juga ambil dua slop rokok filter di warung Bu Utami. Rokok itu untuk untuk para jama'ah yang mengaji di rumah kita. Kalau begitu rokok itu juga termasuk yang harus kita tanggung bersama, kan?" tanya Mas Gani tiba-tiba.PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.