Matahari sudah mulai mengeluarkan cahaya keemasan. Hari belum terlalu siang, tetapi di rumah ibu ini sudah banyak orang. Setelah tujuh hari yang kukira sepi malah lebih ramai dari kemarin. Para ibu sibuk memasak di dapur dan para bapak serta pemuda membongkar tenda dan mengumpulkan meja kursi yang digunakan kemarin sampai acara tujuh hari.
Acara ini memang seperti pesta pernikahan, bedanya hanya tidak ada acara hiburan dan tidak ada sound system.
"Bu, daging sapinya masih kurang lagi." Seorang wanita setengah baya yang memakai celemek berwarna oranye datang menghadap ibu.
Ibu yang sedang menata sembako yang akan dibagikan nanti menghentikan gerakan tangannya. "Oh, ya, suruh seseorang untuk beli. Orang yang akan diberi berkat sudah ada daftarnya, kan? Minta sama Sindi. Jangan sampai ada yang terlewat, ya."
"Baik.Uangnya mana, Bu?" Wanita yang rambutnya diikat asal itu mengulurkan tangannya pada ibu.
Ibu berdiri dan berjalan menuju kamar, tidak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan membawa uang yang cukup tebal karena kulihat berupa pecahan dua puluh ribuan dan memberikannya pada wanita itu.
Ibu kembali menata sembako dan aku mendekatinya. "Semua ini buat siapa, Bu?" Aku menunjuk bungkusan plastik yang masing-masing berisi satu kilo gula pasir, dua buah teh, dan setengah liter minyak goreng.
"Ini untuk yang rewang masak sampai dengan hari ini, As. Coba kamu hitung sudah dapat berapa," ucap ibu. Tangannya sibuk memasukkan teh ke dalam plastik berwarna hitam itu.
Aku melaksanakan perintah ibu dan ternyata bungkusan sembako iitu sudah ada dua puluh bungkus, tetapi ibu masih saja mengambil plastik untuk diisi sembako. Entah berapa yang dibutuhkan.
"Ini hanya sebagai ucapan terimakasih karena mereka sudah berkenan membantu kita memasak dengan meninggalkan pekerjaan rumah masing-masing," ucap ibu.
"Jadi, nanti selain dapat berkat makanan, mereka juga dapat ini, Bu?" Aku memasukkan bungkusan plastik itu ke dalam kardus besar agar nanti lebih mudah saat membaginya.
"Iya,"
"Ibu masih punya uang?" tanyaku lagi. Entahlah di sini jiwa kekepoanku meronta-ronta.
"Itu uang sumbangan yang dapat digunakan untuk meringankan beban kita, tetapi ternyata masih harus beli daging sapi lagi. Kemungkinan kekurangan biayanya nggak jadi 22 juta, tapi lebih,"
"Memangnya nasi berkat itu isinya apa, Bu?"
"Nanti kamu akan tahu sendiri, As. Oh, ya, sudah ada berapa tadi?" Ibu menunjukkan kardus yang berisi bungkusan sembako.
"Em, ada berapa, ya, Bu. Aduh lupa karena tadi ngobrol sama ibu." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
Ibu tersenyum lalu memintaku untuk menghitung kembali bungkusan itu. Terpaksa aku harus menurunkan kembali barang yang sudah ada di dalam kardus.
Suasana di dapur sangat ramai. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang memarut kelapa, memotong kentang, dan ada juga yang bertugas menggoreng serta menanak nasi.
Ada satu yang menarik perhatianku yaitu Mbak Sindi yang sedang berdiri di depan seorang ibu yang sedang memotong daging sapi. Kakak iparku itu berseru. 'Memotong daging sapinya jangan telalu kecil, Bu."
"Ini sudah standar, Mbak," jawab wanita itu tanpa sedikitpun menoleh. Tangannya memegang pisau besar mengkilap dan sudah pasti pisau itu sangat tajam. Terlihat betapa mudahnya ia memotong daging sapi, seperti memotong sayuran saja, kres, kres.
Mbak Sindi berjongkok lalu mengambil satu potong daging sapi dan menelitinya dengan seksama. "Aku maunya ukurannya ditambah, Bu,"
"Baiklah kalau itu memang maunya Mbak Sindi."
Di dapur ini sangatlah berisik, bau harum dari masakan yang baru saja matang begitu menusuk hidung. Di sebuah ruangan sudah matang beberapa wadah besar nasi serta satu baskom besar berisi sambal goreng kentang plus tahu, mie goreng, dan telur yang dimasak semur.
Aku menghela napas perlahan, melihat makanan yang begitu banyak membuatku keheranan.
"Sini, As. Kamu membantu memasukkan makanan ini ke dalam plastik saja," seru ibu. Ia menggandeng tanganku dan mengajakku ke ruangan yang sudah berisi banyak makanan siap santap. Di sana sudah ada dua orang wanita yang sedang memasukkan nasi ke dalam sebuah bakul plastik.
"Apa yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku sambil duduk dekat wanita itu.
"Masukkan sambal goreng dan mie ini ke dalam plastik," jawabnya tanpa menghentikan pekerjaannya.
Aku mengangguk dan melakukan apa yang ia katakan meski aku harus sering bertanya seberapa memasukkannya karena sungguh aku tidak pernah tahu hal seperti ini.
Nasi berkat itu berisi nasi yang di atasnya ada lauk daging sapi sepuluh potong, telur lima biji, mie goreng, sambal goreng kentang, wajik, roti kering, emping, dan kerupuk. Semua itu dimasukkan ke dalam plastik berwarna putih susu.Hampir tengah hari pekerjaan itu selesai. Makanan yang banyak itu sudah habis karena setiap kali masakan matang langsung dikemas dan diantar ke orang-orang.
Aku cukup lelah hari ini karena ibu memberiku tugas untuk mengantar makanan itu kepada pada kerabat, bahkan ada yang ke luar desa dan harus ditempuh dengan kendaraan bermotor. Aku berboncengan dengan Mas Karim dengan membawa empat kantong plastik yang dimasukkan ke dalam sebuah keranjang plastik yang biasa dipakai ibu-ibu berbelanja ke pasar.
Untung tak dapat diraih, malang gak dapat ditolak, motor yang kami tumpangi oleng sehingga makanan itu jatuh dari motor. Plastiknya pecah dan makanannya keluar. Ya, jalan yang kami lalui memang bukan jalan beraspal yang mulus, melainkan bebatuan yang tidak rata.
"Bagaimana ini, Mas? Tidak mungkin kita akan memberikan makanan kalau keadaannya seperti ini, kan?" tanyaku panik saat melihat makanan itu sudah tumpah ke jalanan.
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.