“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
Diary Usang Milik Suamiku "Bu, ini buku sekolahnya Mas Haris, ya?" tanyaku saat membuka lemari bufet di rumah mertua. "Iya, itu buku kuliahnya Haris. Kemarin dipinjam Lina. Tolong taruh lagi di gudang belakang, Rum." Aku mengangguk, lalu berjalan menuju gudang yang letaknya ada di samping dapur, tempat Ibu tengah memasak kini. Di gudang ini, memang banyak buku-buku bekas sekolahnya Mas Haris, Lina, dan juga Syahana, adik-adik Mas Haris. Saat hendak berbalik, aku melihat sebuah buku catatan kecil yang terselip di antara buku-buku tulis milik Hana, adik bungsu suamiku. Apakah ini milik Hana? Ah, rasanya aku tak sopan jika membukanya, kan? "Ngapain, Rum?" Tiba-tiba, suara Mas Haris mengagetkanku. Pasalnya ia tadi tengah mengantar bapak ke pasar untuk membeli paku. Rencananya, kami akan menempati rumah sebelah, yang sempat menjadi tempat penyimpanan padi. Mertuaku juragan tanah dan juga pemilik sawah terluas di sini. Jika sudah musim panen, maka makin banyak beras dan juga hasil ke
Kulangkahkan kaki menuju rumah Bunda, lalu masuk ke dalam kamarku setelah mengambil ayam goreng yang tengah dimasak oleh Bunda. Kuangkat kasur dan mengambil diary usang itu. Sebelum membukanya lagi, kulafalkan bismillah dan berdo'a semoga tak ada hal lain yang membuatku sakit hati. Kubuka lembar berikutnya. Tertulis tahun 2015 saat Mas Haris masih berstatus mahasiswa di universitas indonesia, bersamaku meski beda jurusan. Di sana, tertulis Mas Haris begitu mengagumi wanita yang rambut hitamnya selalu tergerai. Aku terkesiap. Rambut hitamnya tergerai? Sementara aku sendiri, selalu mengenakan hijab setelah lulus SD dulu. Makin membaca, makin kurasakan keanehan di dalamnya. Nama tempat liburan, cafe, taman, bahkan tempat makan pinggir jalan yang sering kami kunjungi, tertulis di sana. G*la! Mas Haris, apa-apaan kamu? Bahkan di tahun segitu kami belum pernah bertemu, karena kami bertemu di akhir tahun dua ribu dua puluh. "Rum?" "Ya, Bun?" "Kamu sudah sarapan?" "Sudah." Aku pun
"Mas?" "Eh, ya?" "Kamu lagi di mana sebenarnya? Jujur aja." "A-aku lagi di toilet, Rum. Kebelet. Sudah dulu, ya. Mau selesai, nih." Baru hendak buka suara, Mas Haris malah mematikan telepon. Gimana nggak makin dibikin curiga? Kamu kenapa sih, Mas? "Mbak? Kok dikunci?" Terdengar suara Hana dari luar. "Sebentar." Aku berjalan untuk membuka pintu, lalu gadis itu memelukku erat. "Akhirnya, Mbak nginep, kan?" "Iya, Hana. Kok kamu sudah pulang? Padahal belum dzuhur." "Iya, cuma extra pelajaran aja."Aki ber-oh ria. Gadis itu langsung ganti baju, sementara aku masih menatap layar. Mas Haris tak mengirimkan pesan apapun lagi. "Kenapa, Mbak? Kangen sama Mas Haris?" Aku tersenyum, lalu mengangguk. Tunggu! Bisakah aku mengorek informasi dari Hana? Apakah gadis itu mengenalnya? Jika diingat, ini kejadian lima tahun lalu, berarti dia masih kecil, dong, ya? Mengingat saat ini dia baru kelas 1 SMA."Han, kamu pernah kenal dengan yang namanya Arumi juga?" tanyaku. "Arumi?" "Iya." "Kena
Pagi hari. Aku bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Ini kali pertama aku menginap di sini, dan bisa tidur ketika jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Semalaman, aku menjelajahi berbagai media sosial dengan menggunakan nama Arumi Putri Nadir, hingga akhirnya aku menemukan sebuah akun yang di dalamnya ada komentar dari akun bernama AP x HM. Entah kenapa, aku berpikir bahwa itu adalah Arumi Putri x Harum Maulana. Ada yang bergetar saat membacanya. Meski belum pasti, tapi aku yakin jika akun itu adalah milik Mas Haris. Saat menelusuri akun AP x HM itu, sudut mataku berdenyut karena membaca untaian demi untaian syair nan indah. Mirip dengan tulisan-tulisan di buku diary Mas Haris. Hatiku pedih, saat setiap membaca caption di berbagai postingan itu. Karena selalu ada tulisan, 'Dariku untukmu, AP.' Aku keluar kamar, namun masih sepi. Ke mana mereka? Masa iya, gak pada salat subuh? Aku pun berjalan menuju dapur, namun kakiku terhenti di kamar Lina. Sayup-sayup aku mend
"Apa? Koma?" "Iya." "Kok Ibu tahu?" "Saya dulu kerja di rumah itu saat si Nenek masih menempati."Jadi, tentang rumor itu, sudah tak asing lagi di lingkungan ini? Bahkan mungkin semua orang di sini tahu tentang cerita orang di rumah bercat hijau itu. "Kalau boleh tahu, memang komanya sudah lama, Bu?" tanyaku lagi. Sepertinya, si Ibu tipe-tipe orang yang suka bergosip, makanya gampang sekali dikorek informasinya. Tak sia-sia aku datang ke sini. "Lumayan. Mungkin tiga tahun yang lalu? Kabarnya cucunya itu, Pak Haris, sudah menikah di kecamatan sana. Tempat tinggal kedua orang tuanya. Yah, Ibu sih ngebayangin jadi istrinya aja. Pasti sakit banget kalau tahu kenyataan itu. Suaminya malah mengurus mantan tunangannya yang koma di sini setiap sebulan selama seminggu." Tiga tahun? Itu artinya, ketika Mas Haris mengambil sebuah foto bersama perempuan muda itu. Tiba-tiba saja, hatiku merasa sakit. Ah, beginikah rasanya tahu jika bukanlah kita yang di hati suami melainkan orang lain? Jadi
"Ya, dia lagi sama mantan tunangannya. Mana koma, ya mana sempet inget sama gue. Sepertinya, Mas Haris memang punya dendam sama gue. Tapi apa?""Masa iya, dia nikahin lu karena dendam? Sejahat itu dia?" Aku terdiam. Iya juga. Lagi pula, berkali-kali aku memikirkannya, aku tak merasa pernah bertemu dengannya sebelum dia bekerja di tempat yang sama denganku dulu. "Udah lu inget-inget?" Aku menggeleng. Sampai kepala pening pun, aku tak menemukan jawabannya. Apa ada alasan lain? "Sudah lah, kamu istirahat saja. Nanti sore, kita ke cafe yang semalam aku kunjungi. Siapa tahu Haris ada di sana." Aku mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar Kalisa. Sementara dia membersihkan meja. Padahal aku telah menawarkan bantuan, tapi dia malah menolaknya. Kupandangi wallpaper ponselku, Mas Haris tersenyum lebar di sana. Tak menunjukkan ada dendam atau kebencian yang ia tunjukkan padaku. Benarkah kalau aku hanya terlalu perasa?Ting! Sebuah pesan masuk, dari Mas Haris. [Rum, maaf semalam Mas lup
"Lu yakin dengan jelas kalau itu adalah Arumi bini lu?" "Iya. Dia sama mantan pacarnya dulu. Si Arumi sih kayaknya tidur. Makanya ga tahu." "Masa iya, tidur sampe ga tahu kalau mantannya nabrak orang? Kalau gak salah, yang nyupir juga banting setir sampai nabrak pohon besar, kan?"Aku terkejut bukan main. Mantanku menabrak orang saat bersamaku? Maksudnya, Kinos? Memang benar tiga tahun lalu aku mengalami kecelakaan bersama Kinos, tapi setahuku, kami tak pernah menabrak orang. Atau, apakah Bunda merahasiakan semuanya? "Sayangnya, keluarga Rumi malah menerima kompensasi dari keluarga mantannya yang s*alan itu!""Yah, karena Rumi hanya anak angkat di keluarga itu. Sama aja mereka membuangnya, kan?" Terdengar helaan napas berat Mas Haris. Segitu cintanya kah ia pada Arumi alias Rumi? Jadi, dia mendekati lalu menikahiku hanya karena aku tengah bersama dengan Kinos waktu itu? Memang benar, waktu itu kami sedang berada di sebuah pesta, aku membantu kakaknya Kinos yang merupakan wedding