Share

Bab 4

Pagi hari.

Aku bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Ini kali pertama aku menginap di sini, dan bisa tidur ketika jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari.

Semalaman, aku menjelajahi berbagai media sosial dengan menggunakan nama Arumi Putri Nadir, hingga akhirnya aku menemukan sebuah akun yang di dalamnya ada komentar dari akun bernama AP x HM. Entah kenapa, aku berpikir bahwa itu adalah Arumi Putri x Harum Maulana. Ada yang bergetar saat membacanya. Meski belum pasti, tapi aku yakin jika akun itu adalah milik Mas Haris.

Saat menelusuri akun AP x HM itu, sudut mataku berdenyut karena membaca untaian demi untaian syair nan indah. Mirip dengan tulisan-tulisan di buku diary Mas Haris. Hatiku pedih, saat setiap membaca caption di berbagai postingan itu. Karena selalu ada tulisan, 'Dariku untukmu, AP.'

Aku keluar kamar, namun masih sepi. Ke mana mereka? Masa iya, gak pada salat subuh? Aku pun berjalan menuju dapur, namun kakiku terhenti di kamar Lina. Sayup-sayup aku mendengar dia memanggil nama Mas Haris. Apa mereka sedang teleponan? Sepagi ini?

Tiba-tiba ingatanku melayang ke kejadian semalam. Apa Lina tengah meminta kakaknya untuk memindahkan 'dia?'

"Iya, Mas. Pokoknya sesegera mungkin."

"...."

"Iya, nanti Mas ngomong aja sama Ibu lah."

Baru hendak berbalik, aku terkejut karena melihat Hana sudah di belakangku.

"Ngapain, Mbak?" tanya Hana sambil nyengir.

"Tadinya mau bangunin Lina, tapi kayaknya sudah bangun. Kamu sudah salat?"

"Ini, baru mau."

"Ya sudah, bareng aja, yuk."

Aku msngurut dada setelah memastikan Hana tak mencurigaiku. Alhamdulillah.

Selesai salat, ternyata Ibu sudah keluar kamar dan membuka kulkas. Mungkin hendak masak untuk sarapan.

"Biar Arumi bantu, Bu," ucapku menawarkan diri.

"Nggak usah. Oh iya, soal alamat rumah nenek-"

"Nggak usah, Bu. Lagian Bunda juga mau pergi sama Ayah katanya. Semalam ngabarin. "

"Oh, gitu, ya?" Ada perasaan lega yang tergambar di wajah Ibu.

"Iya. Ya sudah, kamu sebaiknya mandi aja. Nanti habis mandi tolong belanja ke warung, ya?"

Aku mengangguk, lalu segera mandi. Ternyata, Ibu sudah menyiapkan air hangat untukku. Perhatian beliau padaku memang tak main-main, tapi kenapa di hatiku masih saja ada rasa yang janggal?

Selesai mandi, aku segera ke warung untuk membeli bumbu dapur. Tadinya Ibu hendak memberi uang, tapi aku langsung pergi begitu saja. Bukan tak sopan, tapi memang Ibu selalu memaksa jika aku tak kabur duluan.

"Bu, beli cabe merah seperempat, bawang merah sama bawang putih juga."

Ibu sayur mengangguk, kemudian mengambilkan pesananku. Warung sayur ini cukup ramai. Letaknya tak jauh dari rumah Ibu. Hanya melewati beberapa rumah saja.

"Sst!"

Aku terlonjak karena terkejut saat sebuah tangan menjawil tanganku.

"Gina?"

"Hehe maaf, Rum."

"Lain kali jangan gitu, ah!"

"Warga baru ya, Gin?" tanya Ibu warung.

"Istrinya Haris kok, Bu."

"Oalah. Istrinya Haris, toh? Siapa tuh namanya? A ... Arem ..."

"Arumi, Bu. Bukan Arem. Emang arem-arem," lanjut Gina yang membuat beberapa orang terkekeh, termasuk aku.

"Jadi ini yang namanya Arumi? Walah, cantik ya? Mertuamu sepertinya sayang banget sama kamu. Dulu tiap hari ceritain kamu. Apalagi pas kamu yang nolongin Hana pas kecelakaan..."

"Hana kecelakaan?" tanyaku.

"Lah iya. Kamu masa lupa, Rum? Pas itu, Ibunya Haris ngebanggain kamu terus. Kalau nggak ada kamu, mungkin Hana akan tak tertolong karena tertabrak motor di jalan sepi."

Aku termenung. Sepertinya, bukan Arumi aku ini, deh.

"Kapan itu, Gin?" tanyaku.

Senyum di wajah Gina memudar, berganti dengan kerutan di dahinya.

"Tujuh tahun yang lalu. Pas Hana masih SD. Kamu benar-benar lupa?"

Aku menggeleng. Bukan lupa, tapi aku memang tak pernah mengalaminya. Astaghfirullah! Kenapa makin banyak hal aneh, sih?

Siang hari.

Aku memutuskan ke rumah Gina setelah pekerjaan rumah selesai. Meski Ibu menolak, tapi aku harus tetap membantunya.

"Assalamu'alaikum, Gina."

"Wa'alaikum salam. Walah, mantunya Bu Cokro. Ayo masuk!"

Aku mengangguk sambil tersenyum pada ibunya Gina, lalu duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Gina keluar dengan handuk yang melilit rambutnya.

"Baru mandi?" tanyaku setengah tak percaya.

Gina nyengir saja, kemudian duduk dan menanyakan maksud kedatanganku.

"Alamat rumahnya Nenek Haris? Yang di Bogor?"

"Iya, kamu tahu?"

"Kamu, memangnya ngapain nanyain neneknya Haris?"

"Ya emang kenapa?" tanyaku, sedikit tersinggung. Apa salahnya menanyakan alamat rumah neneknya Mas Haris? Toh itu juga nenekku.

"Neneknya Haris, sudah pindah ke Bandung dua tahun lalu. Ikut anak bungsunya. Adik almarhum ayahnya Haris."

Aku terkesima untuk sesaat. Kebohongan yang bertubi-tubi kamu berikan padaku, Mas?

-

"Iya kah?"

"Apa si Tante nggak pernah kasih tahu?" tanya Gina.

Aku menggeleng. Ingin menceritakan semuanya, namun aku tak cukup percaya pada Gina. Terlebih kami baru kenal kemarin sore. Bagaimana jika ia malah mengadu pada Ibu?

"Kamu kenapa sih, Rum? Kok kayaknya aneh, gitu? Apalagi pas tadi pagi kamu di warung. Dan lagi, aku kok curiga kalau Arumi ini dua orang yang berbeda, ya?"

Aku menoleh padanya. Kenapa? Kenapa ia bisa berpikiran seperti itu?

"Hehehe, pasti kamu anggap aku gila, kan? Maaf, deh."

"Nggak juga," jawabku cepat.

"Maksudmu?"

"Sebenarnya..."

"Arumi!"

Aku dan Gina sama-sama terkejut mendengar teriakan Ibu yang memanggil namaku di depan rumag Gina. Aku terperangah saat melihat raut wajah Ibu yang merah dan napasnya yang ngos-ngosan.

"Ibu, kenapa?"

"Kamu, Ibu cariin ke mana-mana, tahunya di sini?"

"Emang kenapa, Bu? Kan Arumi cuma main saja. Apalagi Gina ini teman kecilnya Mas Haris."

"Sudah, lebih baik kamu pulang saja."

"Ibu, ngusir Arumi?" tanyaku setengah tak percaya. Namun setelahnya Ibu seolah sadar.

"Bukan, Sayang. Maksudnya, pulang ke rumah Ibu. Kemarin bukannya mau ngajarin Hana make up?"

"Tapi kan Hana belum pulang, Bu."

"Siapin aja, dulu."

Ibu menarik tanganku hingga hampir saja tubuh ini menabrak tubuh gemuknya.

Sampai di rumah, Ibu melepaskan tangannya lalu meminta maaf karena telah melakukan hal tadi. Tak ada yang bisa kulakukam selain mengangguk, kan? Aku masuk kamar, lalu mengemasi pakaian.

"Bu, Arumi pamit pulang," ucapku sambil menemui beliau yang sedang duduk di meja makan, melamun.

"Loh, kok pulang, Nduk? Kan baru semalam menginap. Apa nggak betah?"

"Bukan gitu, Bu, tapi barusan Bunda telepon kalau ada saudara berkunjung."

"Iyakah? Besok kamu menginap lagi, kan? Haris juga masih lama dinasnya," ucap Ibu sambil menggenggam tanganku.

Dinas apanya? Bahkan mereka sekongkol untuk mengelabuiku. Aku pun mengangguk, dan keluar rumah setelah mendengar suara klakson dari ojek online yang aku pesan.

"Arumi pamit, ya, Bu," ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Loh, mau ke mana, Rum?" tanya Bapak Mertua, beliau baru pulang dari sawah.

"Pulang dulu, Pak. Ada saudara di rumah."

"Oh, kebetulan Bapak habis panen singkong. Bawa untuk orang tuamu, ya?"

"Nggak usah, Pak."

"Sudah, bawa saja," ucap Ibu lembut seraya mengangguk.

Kadang aku merasa aneh dengan sikap beliau. Kadang tulus seolah benar-benar menyayangiku, namun terkadang seperti orang yang membenciku.

Sampai di rumah, aku langsung ke rumah Bunda karena sekalian minta tolong abang ojeknya untuk mengangkat singkong dari mertuaku itu.

"Apa ini, Rum?" tanya Bunda.

"Singkong, Bapak habis panen, Bun."

"Walah, kemarin beras. Sekarang singkong. Mertuamu kok repot-repot."

Aku hanya nyengir saja, kemudian pulang ke rumah untuk berganti pakaian. Tak boleh diulur-ulur lagi, harus hari ini aku mendatangi rumah itu. Bisa jadi, kalau nanti-nanti Malah Mas Haris telah memindahkan 'dia'.

Setelah siap, aku beralasan pada Bunda akan menginap di rumah Kalisa. Teman sekaligus sepupuku dari Bunda yang kini sudah memiliki rumah sendiri di kota. Semalam aku sudah mengatur rencana dengannya dan akan menginap selama dua hari di sana.

"Pokoknya, kalau dari keluarga Mas Haris ke sini, bilang aja Arum lagi keluar. Jangan bilang menginap di Bogor. Oke, Bun?"

"Tapi itu namanya berbohong, Rum. Lagi pula, ada apa, sih?"

"Nanti Arum jelaskan, Bu."

Setelah mendapat ojek online, segera kami berangkat ke Bogor. Setelah menempuh perjalanan satu jam , akhirnya kami sampai juga di alamat yang dipasang oleh akun itu.

B*d*h!

Kenapa ia memasang alamat di postingannya? Apa ia terlalu yakin tak akan tertangkap olehku?

Kebetulan, di seberang rumah itu ada warung nasi. Aku duduk di sana dan memesan nasi dengan lauk ayam goreng karena memang belum makan siang.

"Lagi cari rumah ya, Neng?" tanya Ibu warung nasi.

Kebetulan siang ini sepi. Mungkin karena sudah habis jam makan siang.

"Iya, Bu. Tapi kayaknya rumah itu bagus. Sepi juga, apa kosong, Bu?" Aku berpura-pura tanya.

"Oh, rumah itu ada yang isi, Neng. Dulu neneknya, tapi sekarang cucunya."

"Oh, ya? Kirain gak ada yang isi, Bu. Apa karena masih lajang cucunya, makanya sepi, ya?"

"Oh, nggak. Rumah itu diisi sama tunangannya si cucu itu. Kalau nggak salah namanya Arumi."

Hampir saja aku tersedak saat mendengar nama itu disebut. Apa? Arumi?

"Maksudnya, Arumi itu nama cucunya, Bu?"

"Bukan, nama tunangannya. Tapi..."

"Tapi kenapa, Bu?"

Si Ibu lalu menceritakannya. Aku kaget setengah mati saat tahu kenyataannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status