Share

Bab 4

"Mbak bolehkah aku bicara sebentar denganmu?" Tanya Vania suatu sore ketika melihat Karin, kakak madunya itu sedang asyik berkebun di samping rumah.

"Bicara saja, Vania." Jawab Karin lembut.

Vania menghela nafas, melihat pembawaan Karin yang begitu lembut dan tenang. Membuat ia kadang tak mampu untuk berkata kasar padanya.

"Mengapa mbak mengizinkan Mas Rendi menikah lagi? Jika pada akhirnya Mbak dan Mas Rendi juga akan terluka?" Hati hati Vania mengucapkannya.

Karin tersenyum dan meletakkan sebuah pot berisi bunga mawar yang baru saja di rapikannya. Matanya kini menatap teduh pada gadis di hadapannya. Sebuah tatapan yang membuat dada Vania terasa sesak.

"Aku tidak sempurna, Vania! Aku tidak bisa memberikan seorang cucu untuk mama dan papa. Kau sendiri tahu, jika Mas Rendi adalah putra mereka satu-satunya. Aku sungguh egois dan merasa bersalah jika tak ada seorang bayi yang akan meneruskan nama keluarga Atmadja."

"Tapi, apakah harus dengan cara seperti ini? Meminta Mas Rendi menikah lagi dan menghadirkan orang ketiga dalam pernikahan kalian." Protes Vania cepat.

Lagi, Karin tersenyum. Meski Vania tahu, jika hati wanita itu tak seindah senyumannya saat ini.

"Kau bukan orang lain, Vania. Bagi mama dan papa, kau sudah seperti putri mereka sendiri. Lagipula, Mas Rendi juga sangat mengenal dirimu."

"Berikan mereka cucu, Vania. Berikan keluarga ini penerus. Andai aku bisa memiliki seorang anak ..." Ucapan Karin terhenti, ada riak terlihat di sudut matanya.

"Maaf, Mbak. Aku tak bermaksud membuatmu sedih."

"Tak apa Vania. Ini bukan kesalahanmu. Aku justru berterima kasih kepadamu karena kau mau menjadi istri kedua Mas Rendi."

"Mbak ..." Vania menunduk.

Haruskah ia menceritakan bagaimana perlakuan Rendi padanya selama mereka menikah? Sikap dingin lelaki itu dan juga perasaannya? Tidak, Istri pertama suaminya itu akan lebih tersakiti jika mendengarnya.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan, Vania?"

Pertanyaan Karin sontak membuyarkan lamunan Vania.

"Hah!"

"Ada yang ingin kau katakan padaku?" Karin mengulang pertanyaannya.

Vania menggeleng lemah.

"Minggu depan aku akan pindah ke kontrakanku. Tolong jangan mencegahku kali ini."

"Apa maksud ucapanmu, Vania?"

"Tak perlu kujelaskan pun kau sendiri tahu, Mbak. Bukankah tak baik ada dua ratu dalam satu istana? Menyimpan orang ketiga dalam pernikahan kalian itu ibarat menyimpan bara dalam sekam, yang sewaktu waktu bisa terbakar." Vania mengutarakan isi hatinya.

"Siapa yang bilang kau menjadi orang ketiga. Bagiku kau sudah seperti seorang adik, Vania."

Vania tersenyum miring.

"Apa kau tak mendengarnya, mbak? semua orang menghujat diriku, memaki bahkan ada yang mengutukku. Meski sudah tiga bulan berlalu, namun, dibelakangku, mereka bahkan masih membicarakan tentang pernikahan ini, mbak." Lirih Vania menunduk.

"Aku tahu, mbak juga terluka dengan pernikahan kedua Mas Rendi, bukan? Lalu, mengapa harus memaksakan diri menerima pernikahan ini dan bersikap seakan semuanya baik-baik saja, jika pada akhirnya hati Mbak Karin juga begitu tersakiti?" Lanjut Vania beberapa detik kemudian.

Karin menunduk. Tak bisa ia pungkiri jika semua ucapan yang dikatakan Vania adalah benar.

"Karena penerus? Itu alasan yang konyol." Bibir Vania tersenyum getir.

"Kalian masih bisa berikhtiar atau mengadopsi seorang bayi, mengapa harus membiarkan orang lain merusak kebahagiaan kalian?" Lanjut Vania lagi.

"Andai aku punya alasan untuk menolak pernikahan ini ... sayangnya, kesehatan ibu menjadi prioritasku, aku seperti menelan buah simalakama!" Raut wajah Vania berubah sendu lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Karin tersenyum kecut mendengar semua yang Vania katakan. Seringai di wajahnya memperlihatkan raut kesedihannya.

"Apa yang bisa diharapkan dari perempuan yang tidak sempurna seperti diriku, Vania? Dokter sudah memvonis bahwa aku tak akan bisa memberikan seorang anak."

Karin kembali menunduk lalu dengan cepat menyeka air mata yang lolos dari dari sudut matanya. Sayang, gerakan tangannya kurang cekatan karena ekor mata Vania menangkap gerakan tangannya dengan jelas.

"Cinta Mas Rendi hanya untuk Mbak Karin saja. Apa itu tidak cukup bagi kalian?" Ucap Vania pelan. Mencoba menghibur kakak madunya. Jujur, hati Vania begitu nyeri ketika mengatakan kalimat itu

Cinta.

Sesuatu yang diharapkan Vania dari Rendi, dari pernikahan mereka. Sesuatu yang mungkin tak akan pernah bisa ia miliki. Mungkin sebaiknya ia mengubur dalam-dalam rasa itu atau membuangnya sejauh-jauhnya. Karena hal itu ibaratkan punguk merindukan bulan.

"Cinta tak bisa membuat keinginan mama dan papa terkabul, Vania. Cinta kami tak mampu menghadirkan kegembiraan dan keriangan seorang anak untuk keluarga ini." Lirih Karin terisak.

"Vania, aku benar-benar berterima kasih padamu. Tak masalah jika harus membagi cinta dan raga Mas Rendi pada wanita lain. Bagiku kebahagiaan keluarga ini yang terpenting, dan hanya kau yang bisa mewujudkannya." Lanjutnya kemudian.

Vania menggeleng mendengar pernyataannya. Baginya, alasan itu tak masuk akal. Kebahagiaan keluarga katanya? Lalu bagaimana dengan kebahagiaannya sendiri? Apakah itu tidak penting?

Vania tahu butuh kesabaran yang begitu luas bagi Karin untuk bisa menerima wanita lain di sisi suaminya. Melihat wanita lain yang tersenyum di sisi suaminya apalagi melihat tatapan yang penuh dambaan dari wanita lain pada suaminya sungguh menguji kekuatan hati. Vania gemas melihat Kakak madunya itu yang seakan pasrah dengan nasib pernikahannya.

"Aku tak tahu, apakah benar seperti itu alasannya. Yang kutahu, bahwa kau juga tidak bahagia dengan semua ini, mbak," Vania memvonis.

"Terima kasih sudah peduli padaku, Vania."

Sudut bibir Vania melengkung.

"Jangan salah paham, Mbak. Aku tidak sebaik dirimu."

"Apa yang ingin kau lakukan, Vania?"

Vania menyeringai. Mengangkat salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.

"Mencari cara untuk mengakhiri semua ini. Aku tak tahu apakah harus mengatakan padamu, tapi kesabaranku ada batasan dan aku juga tidak memiliki hati yang luas seperti dirimu, mbak. Maaf, tapi aku tidak ingin terjebak dalam pernikahan ini terlalu lama, aku tak ingin melukai diriku lebih lama,"Jawab Vania.

"Vania, jangan kecewakan mama dan papa." Karin berucap dengan suara parau.

"Tidak mbak. Jangan menuntutku untuk bisa memenuhi impian keluarga ini akan seorang penerus, karena aku juga memiliki impian sendiri. Dan impian terbesar dalam hidupku adalah memiliki seorang suami yang hanya mencintaiku saja, menjadikanku satu satunya ratu dalam hidupnya, bukan untuk memiliki suami orang yang jelas-jelas tidak mencintaiku seperti ini," Tegas Vania sambil lalu pergi dari hadapannya. Tak ia hiraukan lagi tatapan terkejut dan tak percaya di wajah Karin.

"Kuharap kau senang mendengarnya, mbak," gumam Vania tanpa menoleh, meski samar ia mendengar kakak madunya itu memanggil namanya.

****

Dua hari setelah pembicaraan Vania dan Karin, entah mengapa, ia merasa sikap kakak madunya itu sedikit berubah. Karin seakan menjaga jarak dengannya. Selalu menghindar dari tatapan matanya.

Vania tak mengerti mengapa sikap Karin berubah padanya. Gadis itu berpikir mungkin ada pernyataannya yang menyinggung perasaan kakak madunya itu, namun, Vania tak peduli. Baginya yang terpenting saat ini adalah berpikir dan mencari cara agar terbebas dari pernikahan yang rumit ini secepatnya, tanpa menyakiti kedua orang tua maupun mertuanya.

Orang bilang, ujian pernikahan akan selalu ada untuk menguji cinta dan kesetiaan. Tapi, rasanya Vania berpikir itu tidak berlaku padanya. Jangankan kesetiaan, cinta Rendi saja tak akan mungkin ia gapai, karena pria itu begitu memuja dan mencintai Karin, istrinya.

Vania memang istrinya, tapi hanya diatas kertas. Tak pernah sekalipun Rendi menunjukkan rasa sayang ataupun sedikit perhatian padanya. Vania tahu itu tak akan mungkin, karena bagi Rendi, menikah dengannya hanyalah sebuah keterpaksaan dan kepatuhan terhadap orang tuanya saja.

"Ayo, lekas berpikirlah Vania. Carilah cara untuk melepaskan diri dari belenggu pernikahan tanpa cinta ini. Kau berhak bahagia dengan pria yang benar-benar menyayangi dan mencintaimu untuk seumur hidupnya." Gumam Vania pelan. Menyemangati diri.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status