Share

Bab 5

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-11 11:05:09

"Ini," ucap Delia, rekan kerja Vania sambil meletakkan setumpuk map dihadapannya.

"Banyak amat," keluh Vania cemberut.

"Tahu tuh si nenek sihir, katanya semua ini harus selesai sebelum makan siang besok!"

"Besok?" Protes Vania tak percaya.

"Iya!" Delia menegaskan.

"Nenek sihir itu memaksaku lembur hari ini." Vania mendengkus kesal.

Delia mengendikkan bahunya, mendengar keluhan Vania.

"Sepertinya begitu, baby." Balas Delia setengah berbisik.

"Kau protes saja pada nenek sihir itu." Lanjut Delia sambil melirik ruangan manager yang berada tak jauh dari meja kerja mereka.

Vania menggeleng lemah. Ia sudah bisa membayangkan apa jawaban Bu Maria, Sang manager, jika ia nekad mengajukan protes. Wajah masam diperlihatkannya ketika melihat kembali tumpukan map setinggi dua puluh centimeter itu.

"Aku mau pesan makan siang, kau mau nitip nggak?" Tanya Delia sambil menatap layar ponselnya.

"Pesankan aku mie ayam Pak Amien saja."

"Ok." Delia menyahut lalu mengetik pesan di ponselnya.

"Minumnya apa?" Kembali Delia bertanya.

"Jus alpukat."

Kelopak mata Delia membesar begitu mendengarnya, membuat Vania mencebik.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" Protes Vania.

"Tidak, aku hanya iri denganmu, kau bisa makan mie ayam dan jus alpukat dengan begitu tenangnya tanpa takut makanan itu bisa membuat berat badanmu naik. Kalau aku, minum air putih tiga gelas saja rasanya berat badanku sudah naik dua kilo," keluh Delia yang sontak membuat Vania terkekeh.

"Aku sudah kurus sejak lahir. Lagipula seharusnya kau beruntung, bukankah itu artinya hidupmu bahagia, katanya sih gemuk itu lambang kemakmuran yang artinya suamimu itu berhasil membuatmu bahagia." Sahut Vania asal bicara.

Delia mengerucutkan bibir mendengarnya.

"Bicara denganmu membuatku ingin makan semangkok mie ayam juga. Kau bisa membuat dietku gagal total, Vania," sungut Delia lalu membalikkan badan meninggalkannya dan kembali ke meja kerjanya yang berada di sisi kiri ruangan.

Vania menyunggingkan senyum ketika melihat kekesalan di wajah Delia, tak lama, ia kembali memalingkan wajah, menatap kembali ke layar laptop di hadapannya.

Ruangan kerja ini terdiri dari beberapa kubikel yang memisahkan meja satu dengan yang lain. Ada dua belas karyawan dalam ruangan ini, termasuk dirinya.

Menjadi seorang staf administrasi, itulah posisinya di kantor ini. Sudah setahun lebih ia bekerja disini, tepatnya sejak lulus kuliah. Ia tak menyangka jika lamaran kerjanya diterima di kantor asuransi ini.

Vania menghela nafas panjang, diliriknya jam di dinding ruangan, sudah pukul setengah dua belas, sebentar lagi waktunya untuk istirahat makan siang, namun, begitu melihat tumpukan dokumen yang baru saja diletakkan tadi di atas mejanya. Kembali, ia terlihat tak bersemangat.

Jemarinya mengetuk meja, dengan satu tangan lainnya membuka laci meja kerjanya, mengambil sebuah stress ball dari dalam sana. Tak lama tangannya mulai bermain dengan mainan bulat pengurang stress itu, memutar, menekan, ataupun mengelusnya. Sesuatu hal yang sering dilakukannya jika pikirannya sedang kusut seperti ini.

Vania menyandarkan punggungnya di kursi. Pembicaraan dengan Karin beberapa hari lalu tiba tiba terlintas kembali di benaknya. Ia tak menyangka jika pernikahannya akan menjadi serumit ini.

"Sepertinya tak ada jalan lain, aku memang harus keluar secepatnya dari rumah itu, jika tidak, aku khawatir tak akan kuat bertahan," bisik Vania pelan.

***

"Kau pulang terlalu malam, Vania," tegur Rendi begitu Vania melangkah masuk ke dalam rumah.

"Aku ada lembur di kantor, mas," Jawab Vania singkat.

"Harusnya kau mengabari. Tak tahukah kau jika Karin menunggumu untuk makan malam bersama?"

"Maaf." Jawab Vania pendek.

Vania terus berjalan menuju kamarnya, tak ia pedulikan tatapan mata Rendi yang menghujam seakan ingin menghakimi. Tubuhnya terlalu lelah, karena tumpukan pekerjaan di kantor yang menyiksanya tadi.

Baru saja beberapa langkah kakinya menaiki tangga, ekor matanya menangkap sesosok tubuh sedang berdiri memandangnya dari atas. Vania mengigit bibirnya sambil terus melanjutkan langkahnya.

Vania menghela nafas berat, sengaja ia menghentikan langkahnya begitu melihat Karin yang berdiri di hadapannya. Dengan mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda, kakak madunya itu terlihat begitu cantik malam ini.

"Jangan terlalu sering pulang malam, Vania. Itu tak baik untuk kesehatanmu," ucap Karin lembut.

"Kau sudah makan? Jika belum, akan kuminta bibi untuk mengantar makanan ke kamarmu." Lanjutnya lagi.

Sebuah lengkungan tipis terlihat di wajah Vania. Ia tak tahu apakah harus berterima kasih memilki seorang madu yang terlihat begitu memperhatikannya ini. Entahlah, Vania sudah lelah untuk kembali berpikir.

"Gaun tidur itu sangat cocok untukmu, mbak." Balas Vania lalu melintas tenang melewati tubuh Karin.

"Vania!" Teriak seseorang dari belakang memanggil namanya.

"Ya," Jawabnya menoleh kearah sumber suara.

"Jaga sikapmu pada Karin! Apa itu caramu bersopan santun pada orang yang lebih tua? Karin bertanya padamu, bukankah etikanya kau harus menjawabnya?" Protes Rendi.

"Aku memuji gaunnya, apa itu juga dilarang?" Balas Vania.

"Dan lagi, jangan sok mengajariku bersikap." Lanjut Vania lalu melengos, membuang pandangannya ke arah lain.

"Mas, sudahlah!" Karin berusaha melerai.

"Vania masuklah ke kamarmu. Istirahatlah." Lanjut Karin beberapa saat kemudian.

Vania menghentakkan kakinya, suara berdecit terdengar dari ujung sepatunya. Segera ia melanjutkan langkah menuju kamarnya.

Suara Rendi yang terdengar menggerutu masih terdengar samar di telinganya. Vania hanya memejamkan mata, mencoba menekan emosinya yang mulai terpancing.

"Tak usah mengkhawatirkanku mbak, dan tak usah repot-repot meminta bibi mengantar makan malam ke kamarku, aku sudah makan bersama teman di luar tadi," ucap Vania datar lalu menoleh sebentar ke arah dimana pasangan suami istri itu berada, tak lama ia pun masuk dan mengunci pintu kamarnya.

Vania meletakkan tasnya di tepian ranjang. Wajahnya terlihat begitu kesal. Tak lama, tangannya menarik kasar sehelai handuk lalu bergegas masuk ke kamar mandi.

Berdiri di bawah shower dan mengguyur tubuhnya dengan air, itulah cara yang selalu ia lakukan untuk meredakan emosi. Pertengkaran singkat tadi tak pelak membuat pikirannya kembali kusut.

Vania meremas kuat rambutnya. Ia tahu apa yang sedang dilakukannya. Menghindar, itulah cara yang dipilihnya demi menjaga kewarasan dan kenyamanannya di rumah ini. Ia tak akan sanggup jika harus terus melihat kemesraan mereka berdua di meja makan.

Cemburu.

Ya, mungkin ia cemburu melihat keharmonisan kakak madunya itu bersama suami mereka, melihat senyum bahagia yang selalu mereka berdua perlihatkan, membuat hati Vania teriris. Bayang-bayang dirinya yang hanya di manfaatkan sebagai mesin pencetak anak semakin membuatnya merasa tersisih di rumah ini.

Haruskah ia marah?

Suara air yang keluar dari shower memenuhi ruangan sempit ini seakan menelan semua keluh kesahnya. Perlahan dadanya yang terasa sesak kini mulai stabil. Vania mengambil nafas sebanyak mungkin, mengisi paru paru nya dengan rakus, seakan-akan ingin mengembalikan rongga pernafasannya agar berfungsi dengan normal setelah terasa sesak cukup lama. Setidaknya, guyuran air mengikis kembali perasaan emosionalnya yang tadi hampir melesak keluar.

Suara ketukan pintu terdengar begitu Vania keluar dari kamar mandi, harum lavender menguar di kamarnya. Untuk sesaat ia terpaku begitu mendengar suara yang terdengar bersamaan dengan ketukan pintu untuk yang kedua kalinya.

"Vania, bisakah kau membuka pintu kamarmu sebentar?"

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status