Share

Bab 3

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-11 11:02:56

"Vania!" Suara Rendi sedikit berintonasi.

Vania menoleh dan menatapnya tajam, bukan karena ingin membangkang ataupun tidak menghargai suaminya sebagai pemimpin di keluarga ini, tapi ia sudah memikirkan baik-baik keputusannya untuk keluar dari rumah ini. Terlalu lama berada disekitar mereka membuatnya gerah. Vania tak akan mampu selamanya menutup mata melihat kemesraan mereka dan juga tatapan kesedihan yang selalu diperlihatkan Karin kepadanya.

Dan terlebih juga pada perasaannya. sendiri.

Vania takut jika perasaan cintanya akan semakin besar pada Rendi, nantinya akan membuat dirinya sulit untuk melepaskan diri dari pernikahan yang tak sehat ini. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah mencari cara agar bisa segera terlepas dari belenggu pernikahan yang menyakitkan ini.

"Mama tidak akan suka mendengarnya." Rendi mencoba mencegah.

Vania menunduk sambil tersenyum getir.

"Mas, aku akan menjelaskannya pada mama. Jadi kau tak perlu khawatir."

"Vania, pikirkan dulu." Karin menatap lembut padanya. Sungguh, tatapan mata itu membuat Vania semakin merasa bersalah padanya.

"Sudah sebulan aku tak menengok barang-barangku disana, Mbak. Lagipula, aku juga harus membayar sewanya." Vania beralasan.

Sejak mereka menikah, hanya sesekali Vania kembali ke kontrakan, menginap satu atau dua malam disana, meskipun mertuanya sudah membelikan sebuah rumah sebagai hadiah pernikahan dan tempat tinggal untuknya, tetap saja ia merasa nyaman tinggal di kontrakan kecil yang ia sewa perbulan, selain karena tempatnya tak terlalu jauh dari kantor tempatnya bekerja. Kontrakan itu juga menjadi tempat ia menyimpan sebagian barang-barang pribadinya, karena ia belum sempat memindahkannya.

"Vania, mbak mohon tinggallah beberapa hari lagi disini." Ekspresi Karin

Tampak begitu memohon.

Vania berdecak pelan. Ia tahu kakak madunya itu yang memohon pada mama mertua agar ia dapat tinggal bersama mereka disini. Tapi, tetap saja, gadis itu tak merasa nyaman tinggal satu atap dengan mereka.

"Vania, dengarkan Karin. Bagaimanapun juga ia adalah ...."

"Baiklah." Ucap Vania menyerah. Menyela ucapan Rendi.

"Maaf, aku sudah terlambat. Assalamualaikum."

Pamit Vania kembali pada mereka sambil melirik jam di pergelangan tangan. Tak ia hiraukan lagi panggilan Rendi yang meminta untuk menunggu sebentar karena ingin sekalian mengantarnya. Vania terus melangkah, tanpa menoleh lagi kebelakang.

"Maaf Mas, aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dengan pernikahan ini. Yang aku tahu, suatu saat nanti kita akan berpisah. Aku tak akan sanggup jika harus terus menjadi orang ketiga dalam kehidupan pernikahan kalian." Vania berbisik lirih.

"Bukan hanya kalian, tapi aku juga tersakiti dengan keadaan ini." Jerit Vania dalam hatinya.

****

Lima bulan sebelumnya.

"Vania, bisakah bapak bicara sebentar denganmu?"

"Ada apa? Bapak bicara saja,"

Gadis itu mengangguk pelan, sebenarnya ia sudah bisa menduga-duga apa yang akan dikatakan ayahnya.

"Kemarin, bapak dipanggil oleh Tuan Hardi. Ia mengajak bapak bicara."

"Apakah ini tentang menikahi Mas Rendi lagi?" Vania menebak.

"Iya. Ini memang tentang menjodohkanmu dengan putra beliau nak."

Vania menghela nafas berat. Tak tahu lagi bagaimana cara untuk menolaknya. Sungguh, menikahi pria yang tidak ia cintai dan menjadi istri kedua bukanlah cita-citanya.

Vania memang mengenal Rendi dan keluarganya sejak kecil karena sang ayah sering mengajaknya ke rumah besar itu. Ia juga tahu, Rendi sudah menikah dan begitu mencintai Karin, istrinya, hanya saja yang tidak bisa gadis itu mengerti adalah mengapa harus dirinya yang dihadirkan masuk dalam pernikahan mereka.

"Kenapa harus aku, pak. Bukankah, Pak Hardi memiliki banyak kenalan. Ia bisa meminta salah satu putri dari kolega bisnisnya untuk dijadikan menantu?" Protes Vania.

"Karena nyonya menyukaimu, Vania. Begitu juga, Mbak Karin. Istrinya Mas Rendi. Nyonya bilang daripada harus mencari gadis lain yang tidak begitu dikenal perangainya, akan lebih baik ia menikahkan putra satu-satunya itu kepadamu, yang begitu ia kenal sejak kecil."

"Tapi pak. Usiaku baru dua puluh tiga tahun, Aku belum ingin menikah, aku masih ingin menikmati hidupku, juga membahagiakan bapak dan ibu." Tolak Vania tegas.

"Bapak mengerti, Vania. Tapi, bapak tak mampu menolaknya, nak. Kau sendiri tahu, rumah yang kita tinggali ini adalah pemberian dari Pak Hardi, juga biaya kuliahmu. Jangan lupa, siapa yang membantu kita saat operasi usus buntu ibumu dan memberi modal pada bapak agar bisa membeli ladang dan sawah di kampung?"

"Semua karena bantuan dari Pak Hardi dan istrinya." Bapak mencoba menjelaskan.

Vania menunduk.

"Setidaknya jangan membuat orang tuamu malu karena tidak bisa membalas jasa dan budi baik mereka selama ini pada kita, nak." Lembut Diana mencoba membujuk putrinya.

"Tapi, bu ...!" Vania masih berusaha menolak.

"Vania," wajah Diana begitu memohon.

"Ibu ... aku akan menjadi istri kedua. Tak takutkah ibu Jika orang-orang nantinya akan mengejek kita, menggunjingkanku, bahkan memakiku?"

Diana menggeleng.

"Nak, tidak semua menantu mendapatkan sosok mertua yang baik, jika keluarga Pak Hardi begitu menyukai dirimu, bukankah itu sebuah keberuntungan? Kau tak harus mendengar penilaian orang tentang Istri kedua. Karena tidak semua wanita yang menjadi istri kedua adalah perebut suami orang."

Mata ibu masih nampak begitu memohon. Sungguh, satu hal yang membuat Vania akhirnya tak bisa berkutik adalah permintaan Ibunya. Bagi Vania, permintaan ibu sama saja seperti sebuah perintah yang wajib dilaksanakan

"Vania, kau bersedia bukan?"

"Bagaimana dengan Mbak Karin?" Tanya Vania lemah.

"Dari tiga orang gadis yang berniat di jodohkan pada suaminya, ia langsung memilihmu, nak."

Vania menunduk, tak ada lagi yang bisa ia lakukan, semuanya seakan direncanakan dengan baik. Apalagi yang bisa ia lakukan selain menerimanya? Menolak pernikahan ini sama saja membuat kedua orang tuanya bersedih dan malu karena merasa tak mampu membalas kebaikan yang telah diberikan keluarga Atmadja pada mereka.

Vania menyerah, dan menerima nasibnya untuk dijadikan istri kedua.

Baiklah," ucap Vania teramat pelan.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status