“Gugurin kandungan itu!” seru Reyhan dengan dingin sebagai balasan atas pernyataan Evelyn. “Kita gugurin kandungan itu hari ini!”
Mendengar ucapan sang ayah, Evelyn menautkan alisnya. “Tapi Pa ….” Pandangan gadis itu turun menatap perutnya, satu tangan mengusapnya lembut. “Bayi ini nggak bersalah.”
Balasan Evelyn membuat Reyhan menaikkan alisnya, pria itu pun bertanya, “Terus kenapa?” Perasaannya sedikit tidak enak, merasa bahwa putri sulungnya memiliki ide bodoh. “Bayi itu memang nggak salah, tapi kamu yang salah! Karena itu, menggugurkan bayi itu adalah pilihan terbaik untuk membenarkan kesalahan kamu!”
Evelyn menutup matanya, tahu bahwa di hadapan sang ayah dirinya akan selalu salah. Dia tidak mengelak, kelalaian karena telah bermalam dengan pria asing jelas merupakan kesalahannya. Namun, setelah merenungkan keseluruhan situasinya selama beberapa minggu membuatnya yakin akan satu hal;
Dirinya telah dijebak seseorang.
“Kesalahanku akan kutanggung sendiri, tapi bukan dengan menggugurkan kandungan ini,” jawab Evelyn dengan pandangan yang berubah yakin. Dia menatap sang ayah dan memperjelas maksud ucapannya, “Aku tidak akan menggugurkannya.”
“Diam!” Reyhan memukul keras meja di hadapannya, tidak mampu menampung emosinya. “Asal kamu tahu, ya. Walau rumor-rumor telah tersebar di semua kalangan, tapi Papa sudah berhasil membujuk keluarga Diwangkara untuk melanjutkan pertunangan kamu!”
“Apa?!” Bukan hanya Evelyn, tapi Risa pun terlihat terkejut dengan pernyataan Reyhan.
Sebuah dengusan keluar dari bibir Reyhan. “Pada akhirnya, uang berada di atas segalanya. Diwangkara tahu bersatu dengan keluarga kita adalah pilihan terbaik. Jadi, walau Andre sempat mengajukan pembatalan perjodohan, tapi para tetua Diwangkara tidak peduli dan memaksanya untuk melanjutkan perjodohan,” jelas pria tersebut dengan sebuah senyuman bangga.
Evelyn menggelengkan kepalanya pelan, merasa ini semua tidak benar. Akan tetapi, sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Risa telah terlebih dahulu angkat bicara, “Pa, tapi ini nggak adil untuk kak Andre!”
Ucapan Risa membuat Evelyn dan sang ayah mengerutkan kening sembari menatap putri kedua Aditama itu. Hal tersebut membuat Risa tersadar bahwa dia baru saja salah langkah.
“Bukan hanya untuk Kak Andre, tapi juga untuk Kak Evelyn. Melanjutkan perjodohan akan melukai semua orang,” jelas Risa, berusaha membenarkan ucapannya. “Kak Evelyn menginginkan bayi yang hadir atas dasar cinta, dan menggugurkannya jelas akan melukai hati Kak Evelyn. Tak hanya itu, Kak Andre tahu bahwa Kak Evelyn memiliki pria lain di hatinya, pernikahan mereka tidak akan bahagia dan akan berakhir menyiksa, Pa.”
Penjelasan Risa membuat kerutan pada dahi Evelyn semakin mendalam. Sebelumnya, sudah dirinya jelaskan pada sang adik bahwa semua yang terjadi dengan pria misterius di kamar 1010 itu adalah kecelakaan. Lalu, kenapa sekarang Risa malah mengarang cerita yang terkesan menghubungkannya dengan pria itu hanya demi membatalkan perjodohan dengan Andre?
“Diam kamu, Risa. Kamu kira Papa peduli?” Reyhan menunjuk ke arah perut Evelyn dan melanjutkan, “Bayi itu hanya penghalang! Kalau kamu nggak menyingkirkannya, maka rencana Papa untuk menaikkan pamor keluarga kita dengan bergabung bersama keluarga Diwangkara akan gagal!”
Evelyn merasa sakit hati dengan ucapan sang ayah, tapi hal itu tidak membuatnya mengalihkan pandangan dari Risa yang sekarang menggigit bibir. “Kenapa harus Kak Evelyn?” tanya putri kedua Aditama itu dengan suara tegas. “Aku bisa menggantikan Kak Evelyn menjadi penghubung keluarga Diwangkara dan Aditama.”
Mendengar ucapan Risa, mata Evelyn membesar, dan kedua tangannya mengepal. 'Risa ...,' batin wanita itu dengan ekspresi tidak percaya. Satu tetes air mata menuruni wajahnya dalam diam.
Pernyataan Risa saat itu adalah sebuah konfirmasi untuk Evelyn, sebuah pembuktian bahwa sebenarnya orang yang menjebak dirinya tak lain adalah ... adiknya sendiri.
Manik Risa mendarat pada sosok Evelyn untuk sesaat. "Dibandingkan dengan Kak Evelyn yang telah diketahui memiliki hubungan gelap dengan pria lain, bukankah menjadi penggantinya akan membuat keluarga Diwangkara lebih senang?"
***
“Kursi 21F ada di sebelah sini, silakan,” ucap seorang pramugara sembari tersenyum sopan ke arah penumpang yang baru masuk.
“Terima kasih,” balas penumpang tersebut dengan senyuman yang sama manisnya, membuat pramugara tersebut terpesona. Karena tidak kunjung menerima kembali benda miliknya, perempuan itu berkata, “Tiket saya, Mas.”
Pramugara itu tersentak dari lamunannya dan tersenyum canggung sembari mengembalikan tiket sang perempuan. “I-ini, Mbak. Maaf.”
Perempuan itu tersenyum, meraih kembali tiket yang tertera namanya, ‘Evelyn Erlangga’.
Ketika berhasil duduk di kursinya, wanita bernama Evelyn itu menghela napas panjang. Dia memasang earbuds dan menyetel musik seraya menatap ke luar jendela.
Ingatan bagaimana sang ayah menyetujui ide sang adik untuk menggantikan dirinya dalam perjodohan politik membuat wanita tersebut tersenyum tipis, ingin tertawa sinis terhadap betapa dangkalnya pemikiran pria tua itu.
"Karena kamu nggak mau menggugurkan kandungan itu, maka kamu harus pergi dari Nusantara!" perintah sang ayah terngiang di benak Evelyn. "Mulai sekarang, jangan pernah kamu gunakan nama Aditama!"
Demikian, Erlangga merupakan nama belakang Evelyn sekarang, nama keluarga yang dia ambil dari mendiang sang ibunda.
‘Aku lelah,’ batin Evelyn seraya menyandarkan kepalanya pada kursi pesawat yang keras. ‘Kekuasaan, kedudukan, bahkan cinta … aku tidak lagi menginginkan semuanya.’ Pemandangan pesawat yang mulai lepas landas membuatnya menghela napas, meninggalkan ingatan terakhir menyiksa dari negara kelahirannya.
Pandangan Evelyn turun pada perutnya yang masih rata, mengagumi bagaimana sebuah kehidupan sedang terbentuk di dalamnya. Dia mengusapnya lembut dan berkata, ‘Sekarang, kita hanya berdua, Sayang.’
Wah ... udah fix, itu bukan adek itu. Siluman uler itu .... Yah, mengesampingkan adek ulernya si Evelyn, kira-kira apa yang akan terjadi next ya?
“Mama, Mama! Aku mau itu!” seru seorang gadis kecil berkisar tujuh tahun sembari menunjuk ke arah gambar es krim sebuah restoran. Mata bulat gadis itu terlihat menggemaskan, juga memesona akibat maniknya yang berwarna biru terang. Mendadak, sebuah tangan mungil menggenggam tangan gadis kecil itu untuk menahannya. “Lili, jangan ngerepotin Mama. Kita bisa beli itu nanti, ya,” balas seorang bocah laki-laki dengan wajah yang hampir sama persis dengan sang gadis kecil. Sikap sang bocah kecil yang begitu tenang membuat beberapa orang yang memperhatikan mengira bocah itu lebih tua dari penampilannya. Di antara kedua kembar menggemaskan tersebut, seorang wanita cantik berpakaian elegan menggandeng keduanya sembari tersenyum. Wanita itu berjongkok di hadapan kedua putra-putrinya dan berkata, “Liam memang paling pengertian,” pujinya. Kemudian, dia beralih kepada sang gadis kecil dan mengusap kepalanya lembut. “Lili sabar dulu ya, Sayang. Setelah kita sampai apartemen dan selesai berberes, Ma
‘Pria ini!’ Melihat pria di hadapannya, Evelyn tak mampu melanjutkan ucapannya. Bukan hanya karena pandangan sang pria yang mengintimidasi, tapi juga karena keberadaan permata biru terang yang begitu dia kenali. “Tidak masalah,” balas Adam dengan suara rendah yang menggelitik telinga, tidak menunggu Evelyn menyelesaikan ucapannya. Suara dalam milik Adam membuat darah dalam tubuh Evelyn berdesir. Walau telah lama berusaha melupakan malam itu, tapi ingatan Evelyn menghantui dirinya. Tubuh wanita itu dengan jelas mengingat jejak yang telah ditinggalkan pria di hadapannya tersebut. Delapan tahun sudah berlalu, tapi sedikit pun tidak pernah Evelyn lupakan perihal penampilan pria di hadapannya ini. Mata biru terang itu, bibir tipisnya, juga lekukan otot pada tubuh yang satu malam itu pernah menguasai dirinya. Bibir Evelyn terbuka mengucapkan sebuah kata, “Kamu—" “Pak Adam, kita harus segera pergi,” sebuah suara lain menghentikan Evelyn dan mengalihkan pandangan Adam. “Julian,
“Selamat, Evelyn. Kamu sudah dinyatakan diterima sebagai sekretaris direktur bisnis. Pak Direktur pun sudah berpesan kalau kamu akan mulai bekerja besok,” ucap seorang pria berusia sekitar tiga puluhan sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Evelyn. Evelyn membalas uluran tangan tersebut dengan mantap dan membungkuk hormat sedikit. “Terima kasih, Pak Handi. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik agar tidak mengecewakan ekspektasi Bapak,” balas Evelyn dengan sopan. Handi—manajer personalia dan juga teman Anita—menganggukkan kepala. “Rena,” panggil pria itu yang kemudian diikuti dengan kemunculan seorang gadis muda di sisinya. “Kamu antar Evelyn keliling kantor dulu agar besok dia nggak canggung dengan situasi kantor.” Gadis bernama Rena itu menyapa Evelyn dengan sopan, tahu bahwa posisi Evelyn tidak bisa didapatkan sembarang orang, “Halo, Bu Evelyn. Perkenalkan, saya Rena, staf departemen personalia.” Perkenalannya ditanggapi Evelyn dengan sebuah senyuman dan jabata
“Kita terlambat,” ucap Julian sembari melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Interview seharusnya sudah hampir selesai.” Pandangannya terangkat ke kaca mobil bagian depan, meratapi kemacetan ibu kota Nusantara. “Tidak masalah,” balas pria yang terduduk di sebelah Julian dengan datar, tidak hentinya mengetukkan jari pada laptop di hadapan. “Hanya interview kecil, seharusnya HRD bisa mengurusnya. Tidak mungkin kulewatkan kesempatan kontrak dengan label musik ternama, bukan?” balasnya, begitu jelas dengan prioritasnya. Lima belas menit kemudian, setelah keduanya baru saja melangkah masuk ke lobi kantor, sebuah dentingan notifikasi terdengar dari tablet yang dipegang Julian. Pria itu melirik notifikasi tersebut dan menghela napas seraya berkata, “Manajer HRD baru saja mengabarkan kalau wawancara telah selesai.” “Hmm,” Adam membalas singkat, tidak menghentikan langkah untuk masuk ke dalam lift. “Suruh dia untuk persiapkan laporan kandidat yang lolos. Ketika sudah siap, la
Mendengar ucapan Adam, Evelyn langsung membeku di tempat. Dia memutar benaknya, menyadari bahwa parfum yang digunakan olehnya tak pernah berubah. Namun, tidak mungkin pria itu mengenali dirinya dari aroma parfum yang dia gunakan, bukan?! 'Apa dia seekor anj*ng?' maki Evelyn dalam hati. Evelyn perlahan menaikkan pandangannya, membiarkan manik hitamnya memantulkan sepasang permata biru milik pria menawan di hadapannya. “M-maaf?” Suaranya terdengar sedikit mencicit, kentara takut dengan sosok Adam yang menatapnya tajam. Entah kenapa, pandangan ketakutan yang ditunjukkan oleh Evelyn membuat sesuatu dalam diri Adam merasa tertantang. “Aroma parfummu, aku pernah menciumnya di suatu tempat,” ulangnya. “Kita pernah bertemu?” tanyanya lagi, bermaksud untuk mengindikasikan bahwa wangi ini tak pernah dia temui selain satu kali itu. Hanya saja, Adam tak mampu menentukan satu kali di mana? Pertanyaan Adam membuat Evelyn terdiam, bingung harus mengatakan apa. Hatinya bertanya-tanya, apakah pr
“Bu Evelyn, Ibu nggak apa-apa?” tanya Rena sembari memperhatikan wajah Evelyn. Sejak pertemuan mereka dengan sang CEO, calon karyawan baru itu terlihat tidak fokus dan melamun. “Kalau misalkan Ibu lelah, kita bisa lanjutkan tur ini besok kok.” Tersadar bahwa fokusnya sempat menghilang, Evelyn melambaikan tangannya ke arah Rena dan tersenyum lemah. “Saya nggak apa-apa, Rena,” balasnya. “Saya lupa belum berterima kasih atas bantuan kamu tadi di lift.” Rena membalas senyuman Evelyn. “Sama-sama, Bu. Saya bisa lihat pertanyaan Pak Adam tadi membuat Ibu tidak nyaman,” ujarnya. Dalam hati Rena, dia merasa aneh dengan sikap Adam tadi. Tidak pernah sebelumnya pria tersebut membuka topik dengan siapa pun selain para eksekutif, klien penting, atau pun asistennya. Selain itu, semua topik pembicaraannya jelas meliputi bisnis dan pekerjaan. Akan tetapi, kenapa tadi Adam membuka topik yang sungguh aneh dengan Evelyn? 'Yah, orang kaya ada pemikiran sendiri,' batin Rena, mengambil kesimpulan term
“Evelyn?” Suara Andre terdengar bergetar, memperhatikan sosok rupawan yang sekarang berdiri di hadapannya. “Kamu sungguh Evelyn, ‘kan? tanyanya lagi, seakan tidak menyangka bahwa wanita bernama Evelyn itu akan muncul kembali di hadapannya. Evelyn terdiam lama, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Benaknya mengungkap ingatan indah antara dirinya dengan Andre, bagaimana pria itu dahulu memperlakukannya dengan manis dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, dalam hitungan detik, semua ingatan indah itu tenggelam digantikan memori menyedihkan perihal betapa kejamnya pria itu meninggalkan dirinya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Andre telah menikah dengan seseorang yang paling Evelyn benci di hidupnya, wanita itu pun memutuskan untuk mengambil satu tindakan. “Maaf, sepertinya Bapak salah orang,” balas wanita itu dengan datar. Sebelum Andre bisa menelisik perihal dirinya lagi, Evelyn dengan cepat mengalihkan topik, “Saya akan mengganti rugi atas segala kerusakan yang mobil Bapak terima, apa Bap
“Pak Julian?” panggil Evelyn, mengerjapkan mata beberapa kali karena masih sedikit terkejut. Julian tersenyum ketika melihat Evelyn masih mengingat dirinya. “Mbak Evelyn, nggak perlu ladenin orang begini. Mbak lebih baik pergi aja," ucap pria itu menyarankan dengan ramah. Sebenci apa pun Evelyn terhadap Andre, tapi jujur dia merasa kasihan melihat pria itu disalahpahami. Lagi pula, memang awal permasalahan adalah dirinya yang tidak sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil Andre. Evelyn pun berusaha menjelaskan, “S-sebenarnya tadi saya yang nabrak mobilnya sih, Pak. Terus dia kira saya kenalan dia, jadi dia mulai emosi pas saya bilang nggak kenal.” Tentu saja dia harus totalitas dalam berbohong menutupi identitasnya. "Agak aneh, tapi memang awalnya saya yang salah." Mulut Julian pun membulat, seakan baru memahami keadaan. Jujur dia tidak ingin ikut campur lebih jauh kalau Evelyn tidak berniat pergi. Akan tetapi, mengingat ada seseorang yang telah menurunkan titah padanya, maka dia ha