Suara tamparan keras menggema di ruang tamu Keluarga Aditama. “Anak nggak tahu malu!” maki seorang pria paruh baya dengan emosi yang menggebu-gebu.
Di tempatnya, Evelyn hanya bisa membeku, masih begitu terkejut akibat tamparan yang diterimanya begitu melewati pintu masuk ruang tamu kediaman.
“Dari mana kamu tadi malam, hah? Sama siapa kamu?!” sembur Reyhan dengan tatapan nyalang. Bayangan gelap di bawah mata pria itu menunjukkan bahwa dirinya tidak tidur dengan nyenyak.
Evelyn menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa. “Aku ….” Evelyn mengepalkan tangannya. “Aku di—”
Seorang gadis dengan wajah ayu bergegas menahan tangan sang ayah. Wajahnya menatap Evelyn dengan pandangan prihatin. “Pa! Jangan kasar dengan Kak Evelyn! Dengerin penjelasan Kak Evelyn dulu!”
“Diam, Risa! Asal kamu tahu, kakakmu ini tadi malam berlaga layaknya seorang wanita penghibur!” teriak Reyhan dengan emosi menggebu-gebu. Kemudian, pria paruh baya itu menunjukkan sebuah rekaman ke hadapan Risa dan Evelyn. “Lihat ini!”
Terlihat dari ponsel Reyhan sebuah video menunjukkan sosok seorang pria dengan wajah yang kurang jelas masuk ke dalam kamar 1010. Tak lama, seorang gadis dengan gaun merah ketatnya masuk ke dalam kamar yang sama dengan mudah, seakan telah ditunggu. Reyhan mempercepat video, menunjukkan bahwa berjam-jam telah berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda keluarnya kedua orang tersebut dari dalam kamar hotel.
Ketika video berhenti, Reyhan Kembali berteriak, “Coba jelasin kamu semalam ngelakuin apa?!” Bentakan pria itu sayangnya hanya disambut kesunyian sang putri sulung.
Melihat ketidakberdayaan kakaknya, Risa berkata, “Pa, jangan marah-marah dulu. Kak Evelyn sudah takut duluan kalau Papa terus bentak-bentak begini.”
Reyhan mendengus kesal. Rekaman yang dikirimkan manajer hotel perihal Evelyn memasuki kamar 1010, kamar seorang pria, jelas memberikannya info cukup perihal apa yang anak gadisnya itu telah lakukan.
Ingin sekali Reyhan mengonfrontasi pria tersebut, tapi dia khawatir melakukan hal itu malah akan membesarkan masalah dan membahayakan perjodohan Evelyn dengan Andre Diwangkara, putra tertua dari keluarga bisnis terkaya di Nusantara. Tak hanya itu, manajemen hotel juga terlihat melindungi identitas pria di kamar 1010 tersebut, dan hal itu membuat emosi Reyhan semakin meningkat.
Reyhan melemparkan sebuah pandangan mematikan kepada Evelyn, “Papa nggak peduli cowok itu siapa, maupun apa pun yang sudah terjadi di antara kalian. Akan tetapi, Papa tidak akan ngebiarin kamu menghancurkan reputasi keluarga dan rencana Papa!” Sebelum pria itu meninggalkan ruang tamu, dia memberikan peringatan terakhir kepada putri sulungnya. “Walau Andre sudah menyatakan ingin memutuskan pertunangan, tapi Papa akan pastikan reputasi keluarga kita tetap terjaga. Demikian, jangan harap kamu bisa keluar dari rumah ini sampai Papa izinkan!”
Mendengar hal itu, Evelyn mengangkat pandangannya, terkejut dengan hukuman sang ayah. ‘Lalu, bagaimana dengan para klien?!’ ingin Evelyn teriakkan hal tersebut. Akan tetapi, amarah sang ayah yang menggebu membuatnya mengurungkan diri dari berkata apa pun. Dia hanya bisa menangis, kecewa dengan kelalaian dirinya sendiri.
Di saat ini, Risa menoleh untuk menatap ke arah sang kakak. Dengan pandangan prihatin, gadis itu memeluk Evelyn dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. “Tenang saja, Kak. Semua akan baik-baik saja. Papa hanya marah sementara saja,” ujar gadis itu dengan lembut.
“Aku mengacaukan semuanya, Ris. Andre juga sudah tahu semuanya!” tangis Evelyn dengan pilu. “Andre pasti nggak akan maafin aku.”
Tanpa sepengetahuan Evelyn, ucapannya membuat ekspresi sang adik perlahan berubah. Sebuah senyuman tipis terlukis selagi dirinya menepuk-nepuk punggung Evelyn dengan lembut. ‘Kalau begitu, baguslah!’
***
“Masuk,” balas Adam terhadap ketukan di pintu kantornya. Pandangannya mendarat pada sosok sang asisten, Julian. “Ada apa?” tanyanya sembari mengalihkan manik birunya kembali pada dokumen di tangannya.
“Dari kemarin saya sudah menjalankan hal yang Bapak minta, tapi saya tidak bisa menemukan informasi apa pun tentang wanita itu,” jelas Julian yang disambut dengan kerutan kening Adam. “CCTV hotel tidak bekerja dari jam sembilan malam sampai tujuh hari esoknya di hari Bapak bermalam di sana, dan tidak ada dari para klien yang mengaku telah mengirimkan ‘hadiah’,” lanjut pria itu. “Demikian, nama perempuan itu siapa juga masih belum saya ketahui.”
Mendengar hal ini, Adam sedikit membanting dokumen ke atas meja, merasa mood-nya berubah buruk. “CCTV tidak bekerja?” Pria itu mendengus mengejek. “Aku ingin menuntut hotel itu untuk kelalaian dalam keamanan,” ucapnya.
Helaan napas Julian terdengar. “Tanpa luka, kita tidak bisa menuntut hotel secara sembarang,” balas pria itu, merasa atasannya meracau tidak jelas. “Selain itu, terlibat dengan hukum di negara ini akan mengakibatkan perusahaan cabang terkena dampak. Kalau saham perusahaan turun, Pak Henry pasti akan murka.”
Ketika nama sang ayah disebut oleh asistennya, Adam langsung mendecakkan lidah. Dia menyandarkan tubuhnya dan berkata dengan angkuh, “Dua hari lagi kita harus segera kembali ke Capitol. Oleh karena itu, anggap saja hotel itu beruntung.”
Terlihat Adam memutar kursi ke arah jendela, menikmati pemandangan kota yang disuguhkan ruang tertinggi di gedung cabang perusahaan grup Dean miliknya. Mata biru lautnya menatap kosong ke luar selagi benaknya kembali terbawa kepada malam panas yang samar itu. Walau hanya mengandalkan ingatan, tapi Adam seperti bisa mencium aroma mawar mengundang milik wanita tersebut.
Begitu menggugah selera, itulah yang pria itu pikirkan kala menghirup wanginya.
“Kembali ke wanita di malam itu, apa yang harus aku lakukan sekarang, Pak?” tanya Julian, merasa telah mencapai jalan buntu. “Apa perlu hubungi pol—”
“Lupakan saja,” potong Adam seraya berdiri dari kursinya dan melangkah ke luar kantor, memaksa Julian untuk berjalan mengimbangi dirinya. “Tidak perlu cari wanita itu lagi,” jelasnya. “Mengambil alih kekuasaan grup di Capitol adalah yang utama saat ini.”
***
Sudah tiga minggu sejak Evelyn terkurung di dalam rumah. Reyhan benar-benar tidak membiarkannya pergi sama sekali, terkecuali untuk menghadiri beberapa acara penting. Walau Evelyn bisa keluar, tapi sejumlah bodyguard selalu menemani dirinya atas perintah sang ayah. Hanya saja, bahkan dengan semua hal itu, masih muncul sebuah rumor perihal hubungan Evelyn dengan seorang pria tidak dikenal.
Rumor yang tersebar itu juga semakin dikuatkan dengan rumor pihak Diwangkara memutuskan perjodohan Andre dan Evelyn secara sepihak. Hal tersebut membuat emosi Reyhan semakin menjadi-jadi.
“Sial! Dari mana orang-orang ini mendapatkan berita ini!? Siapa yang menyebarkan rumor seperti ini?!” geram Reyhan sembari membanting koran yang membicarakan perihal putri sulungnya.
Di sofa yang berada di hadapan Reyhan, Evelyn hanya terdiam dengan wajah yang kuyu. Di sebelahnya, Risa yang begitu ayu sedang membaca artikel-artikel tentang hubungan gelap sang kakak di ponselnya. Maniknya terlihat melirik sang kakak beberapa kali, seakan menunggunya melakukan sesuatu.
Melihat Evelyn yang terdiam, hati Reyhan menjadi semakin kesal. “Kalau bukan karena kebodohan kamu, nama baik keluarga kita nggak akan rusak seperti ini!” makinya.
Mendengar makian sang ayah, Evelyn menutup matanya. Dia kira hancurnya kepercayaan sang ayah, hilangnya kesucian yang telah dia jaga, juga dibatalkannya pernikahan yang dia tunggu-tunggu sudah merupakan tiga hal paling menyiksa yang bisa terjadi dalam hidupnya. Namun, saat ini ada satu hal lagi yang melengkapi penderitaan Evelyn.
Dalam satu tarikan napas, Evelyn mengucapkan satu kalimat yang berhasil menggegerkan keluarga Aditama, “Pa, aku hamil.”
Mohon maaf, Mbak Vlyn ... itu adek apa uler sih? Terus itu bapak kandung ato bukan? Ya kok kejam bener? Apa cuma aku yang ngerasa gini, guys?
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk