“Sekar ndak mau, Bude!” Aku menggeleng untuk menegaskan jawaban.
Pakde Amin dan Bude Hanum yang ada di hadapanku senyum-senyum seraya sesekali menatap anak laki-lakinya yang juga duduk tak jauh dari mereka.
Lelaki muda yang kukenal itu membuang muka dengan angkuh. Sementara, di sebelahnya ada Mbak Ratih, kakak perempuan dari lelaki itu. Wanita itu memberi isyarat padaku dengan mencebikkan mulut sembari matanya melirik ke adik semata wayangnya itu.
Keluarga yang aneh!
“Lha, Masmu itu kurangnya apa? Wis baik, sholeh, pinter. Masa kamu nggak lihat. Ganteng juga iya,” tambah wanita yang kusapa Bude itu, sambil mengerling ke Mbak Ratih.
Duh, mimpi apa aku semalam. Aku tuh datang ke rumah Bude Hanum karena disuruh ibu mengantar kue pagi-pagi. Kok malah kejadiannya kayak gini.
Seperti biasa, ibu kalau bikin cemilan, pasti dilebihkan. Nanti aku disuruh nganter ke rumah Bude Hanum, tetangga kami yang hanya berjarak beberapa rumah.
Ibu dan Bude Hanum sangat dekat karena dulu dari kecil sampe SMA sekolah bareng meskipun beda tingkat satu tahun.
Tak heran jika anak Bude Hanum dan ibuku juga usianya tidak terpaut jauh. Mbak Ratih, kakaknya Mas Gilang, dan Mas Aji, kakakku, juga selisih setahun. Begitu juga aku dan Mas Gilang.
Aku dan Mas Gilang memang selalu satu sekolah sejak SD sampai SMA. Namun bukannya dekat, malah dia menganggapku musuh bebuyutan.
Mungkin karena Bude Hanum sering menyuruh Mas Gilang jagain aku sewaktu di sekolah.
“Ngapain sih, Ma. Sudah gede pake suruh dijagain,” begitu selalu jawaban Mas Gilang sambil bersungut-sungut.
Jaman aku masih SMA, kami sama-sama aktif di kegiatan OSIS. Kalau ada acara sampai malam, pasti terjadi drama.
Bagaimana tidak, Mas Galang selalu ngloyor pulang begitu aja tanpa menungguku. Padahal angkutan umum sudah ngga ada kalau malam.
Terpaksa, Dewi, sahabatku yang naik motor akan mengantarku sampai rumah. Biasanya anak-anak OSIS yang pulang setelahku akan berkomentar pedas terhadap Mas Galang. Dan tentu saja, aku bakal kena imbas juga.
“Makanya, nggak usah gaya-gaya ikutan OSIS, kalau pulang aja masih ngrepotin orang,” gerutunya.
Aku hanya mencebik. Dasar dianya saja yang ogah pulang bareng.
“Sorry lah, aku boncengin kamu. Nggak akan ada cewek yang boleh bonceng aku kecuali istriku!”
Begitulah Mas Galang dengan keangkuhannya dulu. Meskipun dengan paksaan Bude, sering juga aku dipaksa bonceng dia ke sekolah. Tapi, sepanjang jalan 12 km dia diam seribu bahasa. Nyebelin. Mendingan aku naik angkutan umum!
Untungnya, saat kuliah, kami kuliah di kampus yang berbeda. Mas Gilang yang suka teknik memilih kuliah di Bandung. Sedangkan, aku kuliah dekat-dekat sini saja yang bisa setiap weekend pulang.
Sejak kuliah, aku sudah jarang ketemu Mas Gilang. Paling banter hanya lebaran saja.
Aku pikir, dengan jarangnya ketemu, dia sudah tidak jutek lagi. makin dewasa lah minimal.
Tapi, ternyata harapanku pupus. Bahkan kini, sudah bekerja pun dia tetap saja jutek!
Pantesan nggak kawin-kawin, nggak punya pacar juga. Ih, mana ada gadis yang mau sama dia! Ganteng sih iya, tapi emang bisa kita hidup modal ganteng doang?
“Sekar pulang ah, Bude!” pamitku kemudian. Males banget berlama-lama di sini dengan serangan membabi buta dan ekspresi mereka yang mengintimidasi tanpa bisa kulawan.
“Yo wis sana pulang. Besok Pakde sama Bude tak ke rumah kamu. Nganter Mas Gilang,” kata Bude Hanum datar.
“Lhah? Ngapain nganter Mas Gilang?” tanyaku sembari menghentikan langkah yang sudah mencapai pintu, dan berbalik menatap Bude.
“Ya ngelamar kamu. Ngapain lagi. Ya kan, Pak?” kata Bude Hanum sambil mengerling ke Pakde Amin, lalu melirik ke Mas Gilang.
Pria yang dilirik Bude pun diam aja. Bahkan hanya memainkan ponselnya dan sesekali menunjukkan muka masamnya. Uasyeeemmm!
“Pamit, Bude, Pakde!” kataku sambil bergegas keluar rumah.
Hufff! Rupanya candaan Bude Hanum sama Mbak Ratih kala itu bukan hanya candaan.
Dulu, tiap ke rumah Bude Hanum, memang aku sering lama disitu. Ngobrol ngalor ngidul sama Bude Hanum dan Mbak Ratih. Mereka sering bilang anak mantu dan adik ipar. Tapi aku nggak terlalu peduli. Itu kan jaman masih ABG labil. Dan nggak kepikiran kalau mereka ada udang di balik bakwan.
Aku mempercepat langkah kembali ke rumah. Tiba-tiba langkahku terhenti. Kok, ada mobilnya Paklik Hanif dan Pakde Marwan di halaman rumah? Tumben-tumbenan kompak banget ke rumah bukan saat lebaran.
Perlahan aku masuk ke rumah melewati pintu samping. Di dapur terlihat banyak kantung berisi bahan makanan. Ada apa ini? Kok ibuk sama bapak nggak bilang apa-apa.
(Dua minggu sebelumnya)“Mama nih apa-apaan. Gilang ogah di suruh nikah sama Sekar!” sahut Gilang dengan wajah gusar. Bagaimanapun, kredibilitas dan gengsinya dipertaruhkan. Apa kata dunia kalau tahu akhirnya dia bakal menikah dengan tetangganya yang aleman itu. Yang sok-sok aktif ikut organisasi ini itu, tapi ujung-ujungnya dia yang kena getah buat ngurusin. “Lha, kamu itu kalau nggak mau dijodohin sama Sekar, ya buruan cari pacar. Umur sudah 25, teman-temanmu juga sudah pada punya calon. Kamu? Dari dulu masih aja sendiri,” ledek Bu Hanum pada anak laki-lakinya itu. “Sekar itu sudah mau dilamar sama anaknya temen Bulik Ndari. Kalau kamu ngga buru-buru bisa keduluan. Pasti Pak Lik Sodiq setuju kalau anaknya temen Bulik Ndari ngalamar Sekar. Wong sudah mapan, ganteng pula,” ujar Bu Hanum, sengaja memanas-manasi anaknya. “Ya biar saja si Sekar nikah sama dia. Gilang ndak mau. Titik!” ucap Gilang sambil berdiri, pergi meninggalkan mamanya. “Ndak usah begitu. Nanti ujung-ujungnya nye
Aku melangkahkan kaki mendekati ruang tamu. Ada Pakde dan Budhe, juga Bulik dan Paklik yang rupanya sedang menyimak obrolan Bapak dan Ibu. Aku sengaja tidak muncul mendekati mereka. Aku ingin tau apa yang sedang mereka bicarakan. Kutempelkan telinga ke rak penyekat yang membatasi ruang makan dan ruang tamu.“Lho, Nak Fajar ini anaknya Mbak Nurul. Udah sukses, Mbak. Kalau Sekar tidak buruan jadian sama Nak Fajar, nanti Sekar keburu dilamar sama Gilang,” sahut Ibu. Aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, Ibu belum pernah bilang apa-apa. Mengapa tiba-tiba menyebut namaku, dan mengatakan tentang lamar-melamar? Heh? Trus siapa Fajar? Siapa Nurul? Keningku berkerut. Kuingat-ingat baik-baik. Ibuk bahkan tidak pernah menyebut dua nama itu sebelumnya. Apalagi menyebut tentang lamaran. Bahkan, menyebut Mas Gilang mau melamar pun tak pernah. Drama apa ini? Kembali kutajamkan pendengaran ini, mencoba menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. “Nak Fajar ini sudah jadi manajer di Jakarta. Gajin
Ibu melihatku dengan tatapan tidak suka. Aku segera menunduk. Tidak enak hati rasanya. Seumur-umur baru kali ini ibu menatapku seperti itu. Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar. Otakku masih dipenuhi kata-kata Mas Gilang tadi. Tahu dari mana Mas Gilang tentang lelaki yang bernama Fajar? Mengapa dia melarangku menerima pinangannya? Adakah sesuatu yang ganjil? Jangan-jangan, itu hanya dalih Mas Gilang saja. Bukannya ibu tadi mengatakan, kalau Mas Fajar tidak segera meminangku, maka Mas Gilang yang akan meminangku? Apakah mereka bersaing?Aku tersenyum kecut jika mengingat perlakuan Mas Gilang selama ini. Mana mungkin dia mau meminangku. Menatap saja dia seolah enggan. Seringnya hanya tersenyum sinis. Tapi, mengapa tiba-tiba dia melarangku menerima pinangan lelaki bernama Fajar?Kududukkan badanku ke sisi ranjang. Aku seperti orang linglung. Memikirkan mau dipinang orang saja kepalaku sudah terasa pening. Apalagi Mas Gilang menambah masalah dengan melarangku menerima pinangan lelak
Kukerjapkan mata. Ternyata aku sudah berada di dalam kamar, terbaring lemah di ranjang. Siapa yang memindahkan aku ke sini? Aku pun tak tahu. Terakhir aku berada di ruang tamu, dan melihat ada Mas Gilang di ambang pintu. Akan tetapi, mengapa aku jadi berada di sini? Baju yang kukenakan pun masih sama. Gamis satin dengan outer broklat warna abu. “Kamu sudah sadar, Sekar?” tanya Bulik Diah yang duduk di sisi ranjang. Beliau segera berdiri dan mengambil cangkir berisi teh panas dari atas meja belajarku. Kulihat asap teh itu masih mengepul. Tandanya, isinya masih panas. “Minum dulu, biar kamu ada tenaga,” tukas Bulik Diah sambil mengangsurkan cangkir teh tersebut. Kudengar sayup-sayup suara tamu masih ada. Sepertinya mereka masih berbincang di ruang tamu. Tak lama, kulihat ibu membuka pintu kamar. Lalu beliau masuk dan duduk di sisi ranjang, bersisihan dengan Bulik Diah. “Ndhuk, kamu masih lemes?” tanya ibu. Aku hanya mengangguk. Sepertinya aku ingin lebih baik di kamar, malas rasany
“Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang. Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan. Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. “Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi. “Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku. “Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online. “Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren. Mas Gilang hanya diam saja. Dia mema
“Sudah puas nangisnya?” tanya Mas Gilang dingin. Hari masih jam tujuh pagi. Mas Gilang sudah berdiri di ambang pintu kosanku. Pasti dia melihat dengan jelas mataku yang sudah bengkak karena semalaman menangis. Entah berapa ember airmata yang berhasil aku keluarkan. Yang jelas saat ini aku merasa air mataku sudah mengering dan pedih rasanya mataku. “Cengeng!” gumannya yang terdengar jelas hingga ke telingaku. Aku hanya bisa meliriknya sekilas, mencebikkan mulut, lalu berniat menutup pintu kosan agar dia segera pergi dari hadapanku. “Buruan siap-siap. Aku tunggu!” ujar Mas Gilang lagi. Tangannya dengan sigap menahan pintu yang akan segera aku tutup. “Ini masih jam tujuh. Aku mau tidur lagi!” sahutku malas. Jam masuk kantor masih jam delapan. Jarak kosan ke kantor tidak sampai 15 menit jalan kaki. Ngapain datang pagi-pagi. Mau bantuin CS sama OB nge-vakum karpet?“Tidur lagi? Mau nangis lagi?” tanya Mas Gilang dengan nada mengejek. “Buruan. Aku traktir bubur ayam belakang kantormu!
“Mas, jadi aku harus gimana?” tanyaku pada Mas Gilang. Sore-sore aku tak sengaja bertemu dengannya di tukang pecel lele langgananku. Tadinya aku berniat beli makan dibungkus, akhirnya urung, karena melihatnya. Mendingan, makan ditempat sambil ngobrol.Sebenarnya aku agak heran. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Jangan-jangan dia membututiku. Ah, GR saja aku ini!Aku sengaja keluar mencari pecel lele usai menelpon ibu. Hati ini rasanya sangat kacau, hingga membuatku merasa kelaparan. “Batalin saja. Kenapa repot?” jawabnya datar. Dia terus saja mengunyah makanannya. Tangannya sesekali memisahkan lele dari durinya. Tak ada niatan sama sekali menatapku serius yang meminta pertimbangannya.“Ngga semudah itu, Mas,” jawabku.Aku masih terus menatapnya. Berharap dia serius menganggapi ucapanku. Hingga tak terasa pecel lele pesananku sudah terhidang. “Kata ibu, kalau aku membatalkan pernikahan ini, kami harus membayar utang ibuk 500jt. Kalau tidak, tanah warisan simbah yang harusnya dibagi
Jalanku sudah buntu. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Jalan satu-satunya menghindar dari pernikahan dengan Mas Fajar adalah melunasi hutangnya. Masalahnya, uang dari mana?Akhirnya, aku pun pasrah menemui takdir. Perhelatan itu terjadi juga. Bulik Diah sudah siap untuk merias wajahku. Para tamu pun sudah berduyun-duyun datang.Aku memang meminta ibu tidak perlu terlalu mewah, tidak perlu di gedung. Cukup di rumah saja. Meskipun kata ibu semua ditanggung oleh keluarga Mas Fajar. Usai dirias, ibu memintaku keluar dari kamar. Aku sendiri merasa aneh dengan penampilan ini. Aku yang tak pernah dandan, tadi sempat melirik sekilas ke cermin di kamar. Hampir saja aku tak dapat mengenali diriku sendiri. Aku memilih menunduk saja. Apalagi aku masih ingat dengan jelas, bagaimana Mas Fajar mengataiku sebagai gadis kampungan. Ibu menyuruhku duduk di belakang di bagian barisan wanita. Di sebelah Bude dan ibu. Sedang, Bulik memilih berdiri sambil terus mengawasi penampilanku. Aku mengenaka