Aku melangkahkan kaki mendekati ruang tamu. Ada Pakde dan Budhe, juga Bulik dan Paklik yang rupanya sedang menyimak obrolan Bapak dan Ibu.
Aku sengaja tidak muncul mendekati mereka. Aku ingin tau apa yang sedang mereka bicarakan. Kutempelkan telinga ke rak penyekat yang membatasi ruang makan dan ruang tamu.
“Lho, Nak Fajar ini anaknya Mbak Nurul. Udah sukses, Mbak. Kalau Sekar tidak buruan jadian sama Nak Fajar, nanti Sekar keburu dilamar sama Gilang,” sahut Ibu.
Aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, Ibu belum pernah bilang apa-apa. Mengapa tiba-tiba menyebut namaku, dan mengatakan tentang lamar-melamar? Heh? Trus siapa Fajar? Siapa Nurul?
Keningku berkerut. Kuingat-ingat baik-baik. Ibuk bahkan tidak pernah menyebut dua nama itu sebelumnya. Apalagi menyebut tentang lamaran. Bahkan, menyebut Mas Gilang mau melamar pun tak pernah. Drama apa ini?
Kembali kutajamkan pendengaran ini, mencoba menyimak apa yang sedang mereka bicarakan.
“Nak Fajar ini sudah jadi manajer di Jakarta. Gajinya sudah tinggi. Kalo Gilang kan masih anak kemaren sore. Gaji Gilang juga masih kecil. Nak Fajar ini kalau ke sini bawa mobil. Kalau Gilang? Pulang saja masih naik bus atau naik kereta. Kemana-mana pake motor. Ah, nanti Sekar kepanasan, kena debu. Item,” seru Ibu.
Lho? Lho? Kok jadi membandingkan dengan Mas Gilang? Sejak kapan Ibu jadi matre begini?
Aku menjadi penasaran. Seperti apa sih yang namanya Fajar itu? Sampe Ibu tergila-gila pengen mengambil jadi menantu?
Tiba-tiba aku tergidik. Mendengar kata manajer saja ingatanku langsung ke Pak Devan, manajer super galak di tempatku bekerja. Tapi? Kenapa Mas Gilang disebut-sebut?
Aku segera beringsut dari kursi tempat aku duduk. Tidak enak dari tadi belum memberi salam ke Budhe Siti dan Bulik Diah.
“Lha, ini bocahnya sudah ada. Coba bulik, cepet tunjukin fotonya Nak Fajar. Pastilah Sekar bakal klepek-klepek,” kata Budhe Siti. Rupanya Ibu habis menunjukkan foto orang yang bernama Fajar itu dari ponselnya.
“Ada apa tho Budhe, Bulik? Kok kayaknya seru banget.” tanyaku sembari menatap dua orang yang sudah kuanggap seperti ibuk=ku juga, pura-pura tidak tahu apa-apa. Aku ingin mendengarkan penjelasan segamblang-gamblangnya. Jangan sampai dugaanku benar, aku sedang dijodohkan.
Wah, sudah mirip jaman Siti Nurbaya saja, pakai di jodohkan. Lha sekarang jaman industry 5.0, masak aku masih mengikuti perjodohan kuno.
“Lho, piye tho Dik Ndari ki. Apa si Sekar belum dikasih tahu, kalau dia mau dijodohkan sama manajer yang ganteng dan tajir? Ini lho, Nduk gambarnya,” kata Budhe Siti antusias sambil menunjukkan galeri foto dari ponsel Ibu.
Aku yang penasaran segera mengambil ponsel dari tangan Budhe Siti. Kuamati foto pemuda yang terpampang disana. Ah biasa aja. Malah, sudah mirip om-om. Ya nggak tua-tua banget, sih. Mungkin usianya sekitar 28 tahun, beda sekitar 5 tahun denganku. Kalau sama Mas Gilang ya jauh beda. Mas Gilang kan masih model mboys, bukan manly. Secara Mas Gilang umurnya belum 25 tahun.
“Lha memang ini siapa tho, Buk?” tanyaku pada Ibu. Kualihkan pandangan ke Ibu yang tampak bersemangat mau bercerita.
“Ini anaknya temen Ibu jaman SMA juga, Ndhuk. Namanya Budhe Nurul. Sekarang tinggalnya di Jakarta.
Budhe Nurul ini mau besanan sama Ibu, pas tahu Ibu punya anak perawan, yang kebetulan juga kan kerja di Jakarta. Jadi ya klop tho,” jelas Ibu.
He? Mataku membulat. Namun, aku tak bisa menjawab apapun. Menolaknya, tidak punya alasan. Apalagi menerimanya, aku juga tidak kenal.
“Wis lah, Nduk. Nanti kenalan dulu aja. Mumpung ada Pakdhe, Paklik juga, sekalian lihat bibit, bebet dan bobotnya. Kalau cocok ya langsung aja nentuin tanggal,” sambung Ibu lagi.
“Tanggal apa, Buk?” tanyaku heran, campur curiga. Kutatap wajah Ibu yang makin sumringgah.
“Ya tanggal pernikahan tho nduk. Lha apa lagi?” jawab Budhe Siti bersemangat. Bulik Diah yang sedari tadi diam, ikut manggut-manggut.
Aku heran, kenapa Ibu semangat banget mau mantu. Sedang aku, merasa tidak siap untuk segera menikah.
Buat apa buru-buru. Umurku baru 23 tahun. Baru tahun lalu lulus S1 dan bekerja setahun. Masih ingin bebas. Masih ingin mengenal jakarta. Masih ingin jalan-jalan di mall. Tidak mau terkungkung masalah rumah tangga, ngasuh anak yang bau susu dan ompol, masak-masak hingga keringat bau bawang, dan segala macam keribetan rumah tangga. Aku mau bebas.
"Wis, kamu siap-siap sana. Nanti malam Mas Fajar sama bapak dan ibunya mau datang,” kata Ibu lagi.
Apa? Nanti malam? Cepet amat? Lagian apa yang mau disiapkan? Wong cuma mau kenalan aja kok, repot.
Aku segera bergegas masuk kamar. Kuhela nafasku. Ya, sudahlah. Kenalan dulu juga tak mengapa. Toh cuma kenalan ini. Tidak harus jadian kan? Tanyaku dalam hati.
Drtttttt
Tiba-tiba ponselku bergetar. Segera kuambil ponsel yang aku letakkan di atas meja belajar itu. Aku mengerutkan kening ketika ada pesan masuk dari nomor asing. Segera kubaca pesan yang ada disana.
[Temui aku di bawah pohon jambu di depan rumah Randi]
Randi? Keningku berkerut. Ini 'kan sebelah rumah. Tiba-tiba aku merasa penasaran. Ini pesan nyasar atau bukan ya? Ah, daripada penasaran, aku bergegas keluar dari kamar. Aku bisa mengintipnya dari jendela ruang tamu. Jika kira-kira orang jahat dan tidak kukenal, tinggal aku acuhkan saja pesan itu.
Mataku melirik pohon jambu di sebelah rumah.
Sial! Pohon jambu milik Randi tertutup pohon rambutan di depan rumah. Aku hanya bisa melihat punggung seorang laki-laki memakai t-shirt warna biru navy. Tak bisa kulihat kepalanya, apalagi wajahnya.
[Cepetan!] Ponsel yang kugenggam bergetar lagi.
Segera kulirik pemuda yang hanya kelihatan potongan dada hingga leher yang menghadap ke rumahku. Sepertinya dia bisa melihat posisi di mana aku berdiri.
Segera aku bergegas mendekat ke dinding pagar pembatas antara halaman rumahku dan halaman rumah Randi.
Mulutku tiba-tiba ingin menahan tawa melihat siapa yang berada di bawah pohon jambu itu. Matanya menatapku tajam. Mulutnya tak menyunggingkan sedikitpun senyuman. Khas juteknya.
“Ikut aku,” kata Mas Gilang sambil berjalan keluar dari halaman rumah Randi. Kulirik Randi yang ada di teras melihat adegan ini hanya mengedikkan bahunya. Mungkin Randi ingin bilang kalau dia tidak mau ikut-ikutan.
Aku mengikuti langkah Mas Gilang. Tiba-tiba langkahnya terhenti tepat di depan mushola yang berada tak jauh dari rumah Randi. Ah, aku jadi ingat masa kecil belajar mengaji bareng Mas Gilang. Dia suka membuliku kalau aku tidak fasih mengucapkan makhroj huruf hijaiyah.
“Ada siapa di rumahmu?” tanya Mas Gilang sambil berdiri menyandar pada salah satu tiang di teras mushola. Tangannya bersedekap. Apakah dia menatapku tajam? Tentu tidak. Dia lebih sering membuang muka. Paling pol hanya melirik sekilas. Manusia ini memang aneh sejak dari sononya.
“Emang kenapa?” tanyaku. Ngapain juga kepo nanya tamu di rumahku. Diakan bukan siapa-siapaku.
Aku berdiri hanya berjarak satu meter dari tempatnya berdiri. Menyadarkan tubuhku pada pohon melinjo yang ada disitu.
“Aku tahu, kamu akan dilamar sama Fajar. Jangan diterima!” ujar Mas Gilang tegas. Lalu dia bangkit dari sandarannya dan beranjak.
"Tunggu!” seruku. Aku masih penasaran. Kok dia tahu aku mau dilamar pria bernama Fajar. Padahal aku sendiri baru tahu beberapa menit yang lalu. Ini tidak adil. Bagaimana jika ternyata orang diseluruh kampungku sudah tahu semua? Kecuali aku?
Mas Gilang menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke arahku beberapa saat. Kemudian dia membuang muka, seperti biasa.
“Kenapa?” tanyaku lagi. Apa urusan dia melarangku menerima lamaran pria bernama Fajar? Apakah dia cemburu? Ups! GR nya aku. Tapi, pasti ada alasannya.
“Dia bukan orang baik buatmu,” jawab Mas Gilang sambil berlalu. Lagi-lagi, aku hanya bisa menggerutkan kening.
“Tapi apa alasannya?” Kukejar Mas Gilang yang sudah melangkah cepat meninggalkanku. Langkahnya lebar-lebar karena posturnya yang tinggi. Lebih dari 180cm tingginya.
Belum sempat aku mensejajari langkahnya, sebuah suara panggilan khas sudah terdengar.
“Sekar! Ayo siap-siap. Kok malah kluyuran sama Gilang.” Kulihat Ibu yang berdiri di teras rumah menampakkan muka yang kurang suka.
Aku melirik ke Mas Gilang sekilas. Aku tahu, dia pasti mendengar kata-kata Ibu. Mas Gilang rupanya juga melirikku. Lalu ia mengedikkan bahu dan segera pergi menjauh.
Ibu melihatku dengan tatapan tidak suka. Aku segera menunduk. Tidak enak hati rasanya. Seumur-umur baru kali ini ibu menatapku seperti itu. Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar. Otakku masih dipenuhi kata-kata Mas Gilang tadi. Tahu dari mana Mas Gilang tentang lelaki yang bernama Fajar? Mengapa dia melarangku menerima pinangannya? Adakah sesuatu yang ganjil? Jangan-jangan, itu hanya dalih Mas Gilang saja. Bukannya ibu tadi mengatakan, kalau Mas Fajar tidak segera meminangku, maka Mas Gilang yang akan meminangku? Apakah mereka bersaing?Aku tersenyum kecut jika mengingat perlakuan Mas Gilang selama ini. Mana mungkin dia mau meminangku. Menatap saja dia seolah enggan. Seringnya hanya tersenyum sinis. Tapi, mengapa tiba-tiba dia melarangku menerima pinangan lelaki bernama Fajar?Kududukkan badanku ke sisi ranjang. Aku seperti orang linglung. Memikirkan mau dipinang orang saja kepalaku sudah terasa pening. Apalagi Mas Gilang menambah masalah dengan melarangku menerima pinangan lelak
Kukerjapkan mata. Ternyata aku sudah berada di dalam kamar, terbaring lemah di ranjang. Siapa yang memindahkan aku ke sini? Aku pun tak tahu. Terakhir aku berada di ruang tamu, dan melihat ada Mas Gilang di ambang pintu. Akan tetapi, mengapa aku jadi berada di sini? Baju yang kukenakan pun masih sama. Gamis satin dengan outer broklat warna abu. “Kamu sudah sadar, Sekar?” tanya Bulik Diah yang duduk di sisi ranjang. Beliau segera berdiri dan mengambil cangkir berisi teh panas dari atas meja belajarku. Kulihat asap teh itu masih mengepul. Tandanya, isinya masih panas. “Minum dulu, biar kamu ada tenaga,” tukas Bulik Diah sambil mengangsurkan cangkir teh tersebut. Kudengar sayup-sayup suara tamu masih ada. Sepertinya mereka masih berbincang di ruang tamu. Tak lama, kulihat ibu membuka pintu kamar. Lalu beliau masuk dan duduk di sisi ranjang, bersisihan dengan Bulik Diah. “Ndhuk, kamu masih lemes?” tanya ibu. Aku hanya mengangguk. Sepertinya aku ingin lebih baik di kamar, malas rasany
“Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang. Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan. Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. “Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi. “Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku. “Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online. “Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren. Mas Gilang hanya diam saja. Dia mema
“Sudah puas nangisnya?” tanya Mas Gilang dingin. Hari masih jam tujuh pagi. Mas Gilang sudah berdiri di ambang pintu kosanku. Pasti dia melihat dengan jelas mataku yang sudah bengkak karena semalaman menangis. Entah berapa ember airmata yang berhasil aku keluarkan. Yang jelas saat ini aku merasa air mataku sudah mengering dan pedih rasanya mataku. “Cengeng!” gumannya yang terdengar jelas hingga ke telingaku. Aku hanya bisa meliriknya sekilas, mencebikkan mulut, lalu berniat menutup pintu kosan agar dia segera pergi dari hadapanku. “Buruan siap-siap. Aku tunggu!” ujar Mas Gilang lagi. Tangannya dengan sigap menahan pintu yang akan segera aku tutup. “Ini masih jam tujuh. Aku mau tidur lagi!” sahutku malas. Jam masuk kantor masih jam delapan. Jarak kosan ke kantor tidak sampai 15 menit jalan kaki. Ngapain datang pagi-pagi. Mau bantuin CS sama OB nge-vakum karpet?“Tidur lagi? Mau nangis lagi?” tanya Mas Gilang dengan nada mengejek. “Buruan. Aku traktir bubur ayam belakang kantormu!
“Mas, jadi aku harus gimana?” tanyaku pada Mas Gilang. Sore-sore aku tak sengaja bertemu dengannya di tukang pecel lele langgananku. Tadinya aku berniat beli makan dibungkus, akhirnya urung, karena melihatnya. Mendingan, makan ditempat sambil ngobrol.Sebenarnya aku agak heran. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Jangan-jangan dia membututiku. Ah, GR saja aku ini!Aku sengaja keluar mencari pecel lele usai menelpon ibu. Hati ini rasanya sangat kacau, hingga membuatku merasa kelaparan. “Batalin saja. Kenapa repot?” jawabnya datar. Dia terus saja mengunyah makanannya. Tangannya sesekali memisahkan lele dari durinya. Tak ada niatan sama sekali menatapku serius yang meminta pertimbangannya.“Ngga semudah itu, Mas,” jawabku.Aku masih terus menatapnya. Berharap dia serius menganggapi ucapanku. Hingga tak terasa pecel lele pesananku sudah terhidang. “Kata ibu, kalau aku membatalkan pernikahan ini, kami harus membayar utang ibuk 500jt. Kalau tidak, tanah warisan simbah yang harusnya dibagi
Jalanku sudah buntu. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Jalan satu-satunya menghindar dari pernikahan dengan Mas Fajar adalah melunasi hutangnya. Masalahnya, uang dari mana?Akhirnya, aku pun pasrah menemui takdir. Perhelatan itu terjadi juga. Bulik Diah sudah siap untuk merias wajahku. Para tamu pun sudah berduyun-duyun datang.Aku memang meminta ibu tidak perlu terlalu mewah, tidak perlu di gedung. Cukup di rumah saja. Meskipun kata ibu semua ditanggung oleh keluarga Mas Fajar. Usai dirias, ibu memintaku keluar dari kamar. Aku sendiri merasa aneh dengan penampilan ini. Aku yang tak pernah dandan, tadi sempat melirik sekilas ke cermin di kamar. Hampir saja aku tak dapat mengenali diriku sendiri. Aku memilih menunduk saja. Apalagi aku masih ingat dengan jelas, bagaimana Mas Fajar mengataiku sebagai gadis kampungan. Ibu menyuruhku duduk di belakang di bagian barisan wanita. Di sebelah Bude dan ibu. Sedang, Bulik memilih berdiri sambil terus mengawasi penampilanku. Aku mengenaka
“Memang kamu dapat uang sebanyak itu dari mana, Mas?” tanyaku saat Mas Gilang memberi kuitansi tanda terima pembayaran hutang ke orang tuanya Mas Fajar. Aku benar-benar tidak menyangka dia melakukan semuanya, demi aku, agar aku batal menikah dengan Mas Fajar. Sebegitu pedulikah dia padaku? Sampai-sampai dia mengorbankan masa depannya menjadi mempelai pengganti di hari pernikahanku. “Uang itu sebagian kecil adalah uang tabunganku untuk beli rumah dan menikah. Yang jelas bukan menikah sama kamu!” Kata-kata Mas Gilang terdengar nyolot. Lalu dia memijit keningnya. Sepertinya dia pusing dengan keputusannya.Aku juga bingung harus bagaimana? “Sebagian besarnya, aku pinjem ke bank dengan jaminan gajiku. Setiap bulan gajiku akan dipotong sepuluh juta!” lanjutnya lagi. Dih, ngapain sih dia repot banget ngurusin hidup aku. Padahal aku sendiri sudah pasrah. “Tunggu! Jadi, kamu sebenarnya sudah ada rencana menikah?” tanyaku tak percaya. Tatapanku masih tak berpindah menatapnya lekat. Lantas,
Saat aku terbangun, Mas Gilang sudah tidak ada di ranjang. Kupastikan dia sudah pergi ke masjid. Sejak kecil dia memang rajin jamaah di masjid. Aku segera bergegas keluar kamar untuk mandi. Ibu melihatku keluar kamar mandi malah senyum-senyum sendiri. Tapi, aku mencoba untuk tak memedulikannya. Mungkin ibu sedang merasa senang terbebas dari hutang, dan sawah milik kakek yang akan dibagi pun sudah aman. Bergegas aku masuk ke kamar untuk segera menunaikan sholat subuh. Jika sampai Mas Gilang pulang, aku belum sholat, pasti dia akan marah. Aku mengenalnya, dia selalu mengutarakan hal-hal yang tidak disukainya secara spontan. Tak peduli itu membuatku sakit hati. Termasuk masalah sholat ini. Dulu sewaktu kecilpun tak jarang aku ditegurnya jika terlambat sholat. Usai salam, aku belum mendengar suara Mas Gilang dari dalam kamarku. Biasanya, percakapan di luar kamar akan terdengar meskipun samar. Segera mukena kulepas dan kulipat. Namun, mendadak aku menoleh saat terdengar suara ponsel be