Share

Bab 1.

Aku melangkahkan kaki mendekati ruang tamu. Ada Pakde dan Budhe, juga Bulik dan Paklik yang rupanya sedang menyimak obrolan Bapak dan Ibu. 

Aku sengaja tidak muncul mendekati mereka. Aku ingin tau apa yang sedang mereka bicarakan. Kutempelkan telinga ke rak penyekat yang membatasi ruang makan dan ruang tamu.

“Lho, Nak Fajar ini anaknya Mbak Nurul. Udah sukses, Mbak. Kalau Sekar tidak buruan jadian sama Nak Fajar, nanti Sekar keburu dilamar sama Gilang,” sahut Ibu. 

Aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, Ibu belum pernah bilang apa-apa. Mengapa tiba-tiba menyebut namaku, dan mengatakan tentang lamar-melamar? Heh? Trus siapa Fajar? Siapa Nurul? 

Keningku berkerut. Kuingat-ingat baik-baik. Ibuk bahkan tidak pernah menyebut dua nama itu sebelumnya. Apalagi menyebut tentang lamaran. Bahkan, menyebut Mas Gilang mau melamar pun tak pernah. Drama apa ini? 

Kembali kutajamkan pendengaran ini, mencoba menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. 

“Nak Fajar ini sudah jadi manajer di Jakarta. Gajinya sudah tinggi. Kalo Gilang kan masih anak kemaren sore. Gaji Gilang juga masih kecil. Nak Fajar ini kalau ke sini bawa mobil. Kalau Gilang? Pulang saja masih naik bus atau naik kereta. Kemana-mana pake motor. Ah, nanti Sekar kepanasan, kena debu. Item,” seru Ibu. 

Lho? Lho? Kok jadi membandingkan dengan Mas Gilang? Sejak kapan Ibu jadi matre begini? 

Aku menjadi penasaran. Seperti apa sih yang namanya Fajar itu? Sampe Ibu tergila-gila pengen mengambil jadi menantu? 

Tiba-tiba aku tergidik. Mendengar kata manajer saja ingatanku langsung ke Pak Devan, manajer super galak di tempatku bekerja. Tapi? Kenapa Mas Gilang disebut-sebut? 

Aku segera beringsut dari kursi tempat aku duduk. Tidak enak dari tadi belum memberi salam ke Budhe Siti dan Bulik Diah. 

“Lha, ini bocahnya sudah ada. Coba bulik, cepet tunjukin fotonya Nak Fajar. Pastilah Sekar bakal klepek-klepek,” kata Budhe Siti. Rupanya Ibu habis menunjukkan foto orang yang bernama Fajar itu dari ponselnya. 

“Ada apa tho Budhe, Bulik? Kok kayaknya seru banget.” tanyaku sembari menatap dua orang yang sudah kuanggap seperti ibuk=ku juga, pura-pura tidak tahu apa-apa. Aku ingin mendengarkan penjelasan segamblang-gamblangnya. Jangan sampai dugaanku benar, aku sedang dijodohkan. 

Wah, sudah mirip jaman Siti Nurbaya saja, pakai di jodohkan. Lha sekarang jaman industry 5.0, masak aku masih mengikuti perjodohan kuno. 

“Lho, piye tho Dik Ndari ki. Apa si Sekar belum dikasih tahu, kalau dia mau dijodohkan sama manajer yang ganteng dan tajir? Ini lho, Nduk gambarnya,” kata Budhe Siti antusias sambil menunjukkan galeri foto dari ponsel Ibu. 

Aku yang penasaran segera mengambil ponsel dari tangan Budhe Siti. Kuamati foto pemuda yang terpampang disana. Ah biasa aja. Malah, sudah mirip om-om. Ya nggak tua-tua banget, sih. Mungkin usianya sekitar 28 tahun, beda sekitar 5 tahun denganku. Kalau sama Mas Gilang ya jauh beda. Mas Gilang kan masih model mboys, bukan manly. Secara Mas Gilang umurnya belum 25 tahun.

“Lha memang ini siapa tho, Buk?” tanyaku pada Ibu. Kualihkan pandangan ke Ibu yang tampak bersemangat mau bercerita. 

“Ini anaknya temen Ibu jaman SMA juga, Ndhuk. Namanya Budhe Nurul. Sekarang tinggalnya di Jakarta. 

Budhe Nurul ini mau besanan sama Ibu, pas tahu Ibu punya anak perawan, yang kebetulan juga kan kerja di Jakarta. Jadi ya klop tho,” jelas Ibu. 

He? Mataku membulat. Namun, aku tak bisa menjawab apapun. Menolaknya, tidak punya alasan. Apalagi menerimanya, aku juga tidak kenal. 

Wis lah, Nduk. Nanti kenalan dulu aja. Mumpung ada Pakdhe, Paklik juga, sekalian lihat bibit, bebet dan bobotnya. Kalau cocok ya langsung aja nentuin tanggal,” sambung Ibu lagi. 

“Tanggal apa, Buk?” tanyaku heran, campur curiga. Kutatap wajah Ibu yang makin sumringgah.

“Ya tanggal pernikahan tho nduk. Lha apa lagi?” jawab Budhe Siti bersemangat. Bulik Diah yang sedari tadi diam, ikut manggut-manggut.

Aku heran, kenapa Ibu semangat banget mau mantu. Sedang aku, merasa tidak siap untuk segera menikah. 

Buat apa buru-buru. Umurku baru 23 tahun. Baru tahun lalu lulus S1 dan bekerja setahun. Masih ingin bebas. Masih ingin mengenal jakarta. Masih ingin jalan-jalan di mall. Tidak mau terkungkung masalah rumah tangga, ngasuh anak yang bau susu dan ompol, masak-masak hingga keringat bau bawang, dan segala macam keribetan rumah tangga. Aku mau bebas.

"Wis, kamu siap-siap sana. Nanti malam Mas Fajar sama bapak dan ibunya mau datang,” kata Ibu lagi. 

Apa? Nanti malam? Cepet amat? Lagian apa yang mau disiapkan? Wong cuma mau kenalan aja kok, repot. 

Aku segera bergegas masuk kamar. Kuhela nafasku. Ya, sudahlah. Kenalan dulu juga tak mengapa. Toh cuma kenalan ini. Tidak harus jadian kan? Tanyaku dalam hati. 

Drtttttt

Tiba-tiba ponselku bergetar. Segera kuambil ponsel yang aku letakkan di atas meja belajar itu. Aku mengerutkan kening ketika ada pesan masuk dari nomor asing. Segera kubaca pesan yang ada disana. 

[Temui aku di bawah pohon jambu di depan rumah Randi]

Randi? Keningku berkerut. Ini 'kan sebelah rumah. Tiba-tiba aku merasa penasaran. Ini pesan nyasar atau bukan ya? Ah, daripada penasaran, aku bergegas keluar dari kamar. Aku bisa mengintipnya dari jendela ruang tamu. Jika kira-kira orang jahat dan tidak kukenal, tinggal aku acuhkan saja pesan itu. 

Mataku melirik pohon jambu di sebelah rumah. 

Sial! Pohon jambu milik Randi tertutup pohon rambutan di depan rumah. Aku hanya bisa melihat punggung seorang laki-laki memakai t-shirt warna biru navy. Tak bisa kulihat kepalanya, apalagi wajahnya. 

[Cepetan!] Ponsel yang kugenggam bergetar lagi. 

Segera kulirik pemuda yang hanya kelihatan potongan dada hingga leher yang menghadap ke rumahku. Sepertinya dia bisa melihat posisi di mana aku berdiri.

Segera aku bergegas mendekat ke dinding pagar pembatas antara halaman rumahku dan halaman rumah Randi.

Mulutku tiba-tiba ingin menahan tawa melihat siapa yang berada di bawah pohon jambu itu. Matanya menatapku tajam. Mulutnya tak menyunggingkan sedikitpun senyuman. Khas juteknya.

“Ikut aku,” kata Mas Gilang sambil berjalan keluar dari halaman rumah Randi. Kulirik Randi yang ada di teras melihat adegan ini hanya mengedikkan bahunya. Mungkin Randi ingin bilang kalau dia tidak mau ikut-ikutan. 

Aku mengikuti langkah Mas Gilang. Tiba-tiba langkahnya terhenti tepat di depan mushola yang berada tak jauh dari rumah Randi. Ah, aku jadi ingat masa kecil belajar mengaji bareng Mas Gilang. Dia suka membuliku kalau aku tidak fasih mengucapkan makhroj huruf hijaiyah. 

“Ada siapa di rumahmu?” tanya Mas Gilang sambil berdiri menyandar pada salah satu tiang di teras mushola. Tangannya bersedekap. Apakah dia menatapku tajam? Tentu tidak. Dia lebih sering membuang muka. Paling pol hanya melirik sekilas. Manusia ini memang aneh sejak dari sononya. 

“Emang kenapa?” tanyaku. Ngapain juga kepo nanya tamu di rumahku. Diakan bukan siapa-siapaku. 

Aku berdiri hanya berjarak satu meter dari tempatnya berdiri. Menyadarkan tubuhku pada pohon melinjo yang ada disitu. 

“Aku tahu, kamu akan dilamar sama Fajar. Jangan diterima!” ujar Mas Gilang tegas. Lalu dia bangkit dari sandarannya dan beranjak.

"Tunggu!” seruku. Aku masih penasaran. Kok dia tahu aku mau dilamar pria bernama Fajar. Padahal aku sendiri baru tahu beberapa menit yang lalu. Ini tidak adil. Bagaimana jika ternyata orang diseluruh kampungku sudah tahu semua? Kecuali aku?

Mas Gilang menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke arahku beberapa saat. Kemudian dia membuang muka, seperti biasa. 

“Kenapa?” tanyaku lagi. Apa urusan dia melarangku menerima lamaran pria bernama Fajar? Apakah dia cemburu? Ups! GR nya aku. Tapi, pasti ada alasannya. 

“Dia bukan orang baik buatmu,” jawab Mas Gilang sambil berlalu. Lagi-lagi, aku hanya bisa menggerutkan kening. 

“Tapi apa alasannya?” Kukejar Mas Gilang yang sudah melangkah cepat meninggalkanku. Langkahnya lebar-lebar karena posturnya yang tinggi. Lebih dari 180cm tingginya. 

Belum sempat aku mensejajari langkahnya, sebuah suara panggilan khas sudah terdengar. 

“Sekar! Ayo siap-siap. Kok malah kluyuran sama Gilang.” Kulihat Ibu yang berdiri di teras rumah menampakkan muka yang kurang suka. 

Aku melirik ke Mas Gilang sekilas. Aku tahu, dia pasti mendengar kata-kata Ibu. Mas Gilang rupanya juga melirikku. Lalu ia mengedikkan bahu dan segera pergi menjauh. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Gilang....Kamu harusnya menghentikan perjodohan Sekar _ Fajar secara langsung
goodnovel comment avatar
NK0812
campur aduk ceritanya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status