“Ya ampuun, Ayu … tujuh tahun berlalu, penampilan kamu masih kayak gini saja! Masih saja norak tahu gak sih?” pekik seseorang ketika aku baru saja duduk di meja yang sedikit ujung. Dia memindai penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mendadak perasaanku menjadi tak nyaman. Aku sadar, penampilanku memang tak semewah mereka. Hanya mengenakan kerudung segi empat warna krem yang dipadu padankan dengan tunik bermotif kotak dan celana pensil warna hitam. Alas kakiku hanya menggunakan sandal seharga enam puluh ribuan.
“Hush, Dew! Kamu kayak yang gak inget saja siapa, Ayu! Sudah, ih! Kasihan dia!” Mirna---ceesnya Dewi kudengar menimpali. Mirna baru saja menghampiri Dewi bareng Salsa.
“Ah iya, lupa. Cuma anak tukang nasi uduk saja belagu! Cuma males saja kalau inget dia yang sok kecakepan kayak dulu! Harusnya sadar diri! Kalau emang beda level, jangan sok kecentilan! Aku ini aktris menuju papan atas, bahkan sudah dapatkan peran juga dalam novel terbaru karya Peri Aksara yang sedang booming sekarang! Ya, walaupun masih peran figuran! Namun ini kan sudah termasuk pencapaian yang luar biasa, iya gak, sih?”Dewi terdengar terus-terusan membanggakan diri.
Aku memilih bangkit dan menjauh. Ini yang paling aku khawatirkan ketika reuni. Dewi dan teman-temannya masih mempermasalahkan kejadian tujuh tahun silam. Kejadian di mana Dewi harus patah hati karena Lingga Bardion alias Dion menolaknya dan menjadikan aku sebagai alasan.
Ah, benci sekali jika ingat hal itu. Karena itu juga, Dion dipaksa orang tuanya untuk kuliah ke luar kota agar tak bertemu denganku. Aku dan Dion itu beda kasta. Orang tuanya berada, sedangkan aku, bisa selesai sekolah SMA-pun hanya mengandalkan beasiswa.
Awalnya aku pun enggan datang ke acara reuni ini, setelah dua kali absent, aku merasa tak enak juga ketika harus menolak undangan Pa Faqih untuk ke sekian kalinya. Aku datang ke sini hanya karena gak enak dengan undangan Pak Faqih---mantan wali kelasku yang bahkan datang sendiri ke rumah mengantarkan undangan reuni kali ini dan ada penghargaan yang akan diserahkan oleh pihak sekolah karena novelku yang bertema inspirasi pada akhirnya mampu menembus dapur film. Belum ada yang tahu jika nama yang mulai melejit dan berlindung dibalik nama Pena Peri Aksara itu adalah aku.
Akhirnya aku hanya memasang wajah datar dan mengangguk pada Dewi dan teman-temannya. Dulunya dia adalah siswi yang paling populer di angkatan kami. Kini karirnya tengah melejit, katanya. Nasib baik berpihak karena kenalan Om nya yang berasal dari dunia entertainment. Dewi, kini menjadi seorang model dan bintang iklan. Menjadi kebanggaan para teman-teman gengnya dan pastinya dipuji oleh semua orang yang datang.
"Permisi!” tukasku seraya beranjak. Aku hanya tengah menunggu Harum---orang satu-satunya yang sejak dulu sampai sekarang menganggapku manusia.
“Eh mau ke mana, Yu?” Kudengar Salsa berbasa-basi. Sementara itu, kulihat Dewi mencebik dan memutar bola matanya ke atas dengan malas.
“Ke toilet!” jawabku berbohong.
Gegas aku meninggalkan Dewi dan dua temannya. Meskipun aku tak akrab dengan teman SMA-ku yang lain. Namun setidaknya aku tak berada satu meja dengan orang yang membenciku.
Berjalan menuju ke arah toilet, lalu berhenti dilorong sejenak sambil menunggu waktu. Jam tangan baru saja menunjukkan pukul sembilan. Beginilah aku yang selalu datang awal. Acara baru akan dimulai pukul sepuluh pagi, tapi pukul sembilan aku malah sudah datang.
Gegas aku mengeluarkan gawaiku. Ponsel jadul yang harganya ramah di kantong. Segera aku hubungi Harum. Duh, berasa lama banget berada dalam suasana asing ini sendirian. Salah sendiri, aku dulunya hanya seorang introvert yang tak punya banyak teman. Hanya Harum yang akrab denganku dan beberapa orang staff TU dan para guru.
Harum mengatakan jika dia masih di jalan. Dia sudah menikah dan sedikit repot dengan anaknya yang dia bawa.
Karena terlalu lama berada di lorong dan merasa tak enak juga, akhirnya aku kembali ke aula dan memilih duduk di meja panitia. Aku kenal dia, meski tak akrab.
“Hey, Yu! Sudah isi data belum?” Marwah menatapku ketika aku permisi ikut duduk.
“Sudah, tadi aku kepagian datangnya, Mar!” jawabku sambil tersenyum.
“Eh iya, udah! Box kuenya udah ambil belum?” tanyanya ramah.
“Ahm, nanti saja. Nunggu Harum!” jawabku lagi.
“Ah dari dulu ceesannya sama Harum mulu!” timpal Selvi yang duduk berjejer di kursi panitia bareng Marwah.
“Ya, cuma dia yang mau temenan sama orang aneh kayak aku, Vi!” tukasku seraya mengulas senyum.
“Dih, kamu mah suka gitu! Kita juga sebenernya bukan gak pengen akrab sama kamu, tapi kami itu minder, Yu! Secara peringkat kamu gak pernah geser dari tiga besar! Lah kita mah tiga besar dari ujung ya, Mar!” Selvi terkekeh.
“Mana ada, Vi! Aku yang minder. Kalian itu selalu kekinian. Aku selalu ketinggalan zaman.” Aku membantah.
“Iya, kita emang bedanya di sana … kamu fokus sama otak, kami sama style. Tapi aku beneran kagum sama kamu loh, Yu! Apalagi kamu berani banget buat muka Dewi dulu yang selalu merasa paling populer itu tergadai!” kekeh Marwah.
Aku menggeleng sambil ikut tersenyum. Entah benar atau tidak alasannya, tetapi memang yang dia ucapkan adalah fakta. Aku memang mati-matian bertahan di tiga besar. Sebetulnya bukan karena gengsi atau mengharapkan popularitas, tapi aku hanya mengharapkan nilai tinggi itu agar dapat beasiswa. Secara aku sekolah hanya modal niat dan nekat. Biaya kadang ngutang, sebagiannya ketutup dari nilai. Meskipun sebagian biaya dibayari oleh kepala sekolah karena ayahku seorang penjaga sekolah di sana, tetap saja banyakan kurangnya.
“Ehmmm! Kalian betah banget duduk bareng orang udik, sih? Apa gak pengen minta foto sama tanda tangan aku?”
Ah suara itu. Aku, Marwah dan Selvi menoleh ke arah suara. Dewi sedang berdiri di dekat stand box kue dan mengambil jatah.
“Ah iya, Dew! Boleh, deh! Mumpung belum ramai!” Marwah dan Selvi tampak saling tukar pandang. Lalu keduanya mengangguk dan menghampiri Dewi yang tengah mengambil box kue.
“Ahm, bisa fotoin!” Sialnya. Lagi-lagi aku harus terlibat dengan Dewi. Namun, tak elok jika aku harus menolak.
Aku bangkit dan menoleh pada Selvi lalu meminta ponselnya.
“Pakai punya kamu saja dulu!” tukas Selvi.
“HP-ku kameranya gak bisa dipakai, Vi! Maklum HP model lama dan sudah agak rusak!” jelasku.
“Pakai punyaku saja, Vi! Tangkapan kameranya pasti bening dan kinclong! Jadi muka kalian nanti kelihatan lima hari lebih muda!” kekeh Dewi seraya mengangsurkan ponsel mahalnya ke arahku.
Aku pun menerimanya dengan hati-hati. Aku tahu harga ponsel ini berapa. Karena itu dengan hati-hati, aku mengarahkan kamera itu pada mereka bertiga.
“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya.
Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku.
“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya. Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku. Akhirnya foto berhasil kuambil dengan segenap kehati-hatian. Kuserahkan gawai mahal milik Dewi lagi pada pemiliknya. Maklum, namanya juga artis. Semua harus serba mahal pastinya demi menunjang penampilan. “Sini lihat! Duh kok miring-miring gini sih, Yu! Yang ini lagi … wajah akunya malah keambil separuh!” Dewi menekuk wajah ketika melihat gambar di dalam HP. “Duh, maaf, Dew! Gak biasa pegang HP mahal soalnya! Bingung tadi ngarahinnya!” Aku menjawab santai, padahal sengaja tadi yang kuambil gambarnya banyak itu Selvi dan Marwah. “Kita ulangi lagi, yuk, Vi,
“Ehmmm … tujuh tahun rupanya tak mampu membuat kebaikan kamu luntur, Yu! Inilah yang bikin kamu tuh selalu beda sama orang lain!” Eh, tiba-tiba suara seseorang muncul dan membuat kami menoleh. Seketika aku menelan saliva. Sosok tinggi tegap yang masih konsisten dengan alis tebalnya sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berada. Tatapan itu mengarah ke arahku. Sorot mata yang rasanya masih sama dengan waktu tujuh tahun lalu. Lingga Bardion---lelaki yang sudah menjadikan alasan Dewi membenciku setengah mati tengah tersenyum ke arahku. “Hey, Dion! Ya ampuuun … kok lo makin tua malah tambah ganteng saja, sih!” Salsa yang tengah mengambil kotak cateringan berisi kue menghentikan kegiatannya dan menyempatkan dulu muji Dion.“Tua-tua kelapa, Sa! Makin tua makin banyak yang suka.” Dia mendekat menghampiriku dan Salsa yang berdiri di dekat meja yang berisi tumpukkan kue. “Lo bisa saja, Yon! Sini gue ambilin punya lo, ya! Duduknya di sana, yuk! Ada yang nungguin lo dari tadi!” Salsa langsun
“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri. “Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa. “Hey, kalian kok malah pada berdiri di sini, sih? Ayo duduk, sambil nunggu acaranya dimulai, kita ngobrol-ngobrol sambil duduk!” Kami menoleh pada sosok yang baru saja datang. Renata sudah berdiri tak jauh dari sana dengan membawa Cici---putrinya yang usianya sudah lima tahun. Aku tahu itu karena dia selalu memamerkan wajah putrinya pada WAG yang baru dibuat sehari lalu itu. Renatalah yang memang memiliki banyak waktu yang menjadi parakarsa kump
Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya. Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang hanya dibayar ratusan ribu per hari, ada juga yang bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang. Kami semua menunggu jawaban Dewi ketika tiba-tiba dia mengangkat telepon. Padahal tak kudengar gawainya itu bergetar. “Hallo, Sir! Hmmm, yes of right!” Dengan menggunakan bahasa inggris dia mener
“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah. Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi. Aku membagi pandang pada mereka yang memandang rendah ke arahku. Namun, belum sempat aku berucap lagi, terdengar suara seseorang memecah perhatian dari tawa ketiga orang bersahabat itu. “Wah pada asyik banget ketawanya! Lagi ngobrolin apa, nih?” Suara bariton yang muncul dari arah samping itu rupanya milik Dio
“Yon, Yu! Ini kartu nama paksu, di sini ada alamat kantornya! Kalian nanti janjian saja, ya! Kita ketemu di sana nanti dan bahas masalah ini lagi.” Renata mengulas senyum penuh harap. Aku dan Dion sama-sama saling menerima kartu nama tersebut. Terima saja, dulu. Mikirnya nanti saja setelah hatinya tenang. Aku bisa tanya dulu sama Ibu untuk minta pertimbangan. Entah apa sekarang tujuanku, beneran buat minimarket ini atau buat Dion? Duh, kacau lah kalau urusan hati. Aku ini memang sedikit plin plan kalau sudah bicara soal Dion. Lelaki yang namanya terukir pertama kali di dalam lubuk hati sini. Hmmm … tapi apakah dia masih menyimpan rasa itu untukku? Kartu nama dari Renata aku simpan juga. Ada alamat kantor suaminya di sana. Begitu pun dengan Dion. Dia pun memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. Bahasan beralih seiring dengan datangnya Pak Faqih. Namun tak berapa lama, terdengar suara panitia yang membawakan acara menyita perhatian. Obrolan kami terhenti dan beralih menatap ke
Kulihat Pak Faqih menelan saliva. Namun perlahan dia mengeluarkan satu buah amplop dari dalam sakunya. “Kamu bisa baca ini nanti, ya! Saya tak bicara langsung di depan kamu, hanya karena saya tak mau kamu shock kalau langsung mendengarnya,” kekehnya. Aku menautkan alis dan menerka-nerka isi amplop yang kini sudah ada di atas meja dan diangsurkan padaku. Aku bergeming, tapi tak urung juga kutarik amplop putih yang bentukannya seperti amplop kondangan itu. Hati penasaran, apa isinya? Masa sih aku dikasih uang? Duh geer banget, ya? “Hmmm, dikasih amplop gini, kok saya jadi deg-degan ya, Pak!” candaku seraya memasukkan amplop putih itu ke dalam tasku. “Jangan sampai pas dibuka nanti pingsan,” kekeh Pak Faqih lagi. Justru hal ini makin buat aku penasaran. “Duh makin penasaran jadinya. Buka sekarang saja, ya!” Aku mencoba menarik ujung amplop dari dalam tas. “Acara sudah dimulai loh, Yu! Gak seru kalau pas dipanggil ke depan kamunya gak datang karena pingsan.” Dia bicara dengan pelan
“Terima! Terima! Terima!” Astaghfirulloh! Aku menjadi lebih shock ketika tampak Bu Isma tengah mengarahkan kamera ke arahku. Beberapa guru dan teman-teman seangkatan yang tanpa kutahu sudah ada di sana tengah bertepuk tangan dengan kompak. Mereka menatap ke arah kami dan menggemakan kata terima seirama dengan tepukan tangan mereka. Ya, Tuhaaan! Aku beneran ingin pingsan!Keringat dingin mendadak bermunculan. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa sekarang. Teringat pesat ibu ketika saat itu dia bicara terkait jodoh. “Jika ada lelaki baik yang mengajak langsung menikah, maka terimalah! Berarti dia bersungguh-sungguh dan bukan hanya hendak melecehkan.” Itulah pesan yang dia sampaikan. Benar memang Pak Faqih orang baik, tetapi apakah baik saja cukup untuk mendasari sebuah pernikahan? Lalu, selama tujuh tahun bertahan itu sebetulnya aku karena apa? Karena belum ada lelaki baik yang datang atau karena Lingga Bardion yang belum bisa sepenuhnya menghilang dari lubuk hati paling dalam