Share

Bab 4

Author: Evie Yuzuma
last update Huling Na-update: 2022-11-08 12:09:37

“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri. 

“Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa. 

“Hey, kalian kok malah pada berdiri di sini, sih? Ayo duduk, sambil nunggu acaranya dimulai, kita ngobrol-ngobrol sambil duduk!” 

Kami menoleh pada sosok yang baru saja datang. Renata sudah berdiri tak jauh dari sana dengan membawa Cici---putrinya yang usianya sudah lima tahun. Aku tahu itu karena dia selalu memamerkan wajah putrinya pada WAG yang baru dibuat sehari lalu itu. Renatalah yang memang memiliki banyak waktu yang menjadi parakarsa kumpulnya angkatan kami yang jumlahnya sekitar 250 orang dari seluruh kelas.

Beruntung Renata datang di saat yang tepat, ucapan Dewi jadi tak ada yang menanggapi. Dion pun tampak melipir ke arah para kaum lelaki yang mulai berdatangan. Apalagi waktu sekolah, dia memang memiliki geng solid yang menjadi satu tim basket tangguh di sekolahan. 

“Hay, Re! Wah anaknya cantik banget! Beda ya kalau istri pengusaha, sih, bling-bling!” celoteh Salsa sambil mencubit pipi Cici. Sementara itu, Cici tampak cemberut dan menepis tangan Salsa.

“Sudah deh gak usah bawa-bawa suami! Paksu kutinggal dulu, biar bebas nanti kita rumpi-rumpi!” kekehnya seraya melirik kepada kami. 

Dia memang supel, meskipun tak ada yang dekat denganku selain Harum, tetapi ketika sekolah, Renata merupakan orang yang cukup netral dan tak memihak pada geng-geng yang tercipta di dalam kelas. 

Setelah dipersilakan oleh Pak Faqih, aku pun pada akhirnya ikut dengan Renata yang sialnya dia lebih memilih bergabung dengan Dewi dan teman-temannya. Sudahlah ikut saja dulu, biar nanti kalau ada kesempatan misah, baru cari cara buat memisahkan diri. 

Aku membantu membawakan kotak kue milik Harum dan Azriel, karena dia harus menggendong balita yang menggemaskan itu. Lalu aku, Harum, Renata, Mirna, Salsa, Dewi dan tiga orang teman lainnya yang ikut mengekor, duduk mengelilingi satu meja. 

“Ya ampuuun, Rum! Anak kamu montok banget, sih? Umur berapa?” Renata menatap Harum ketika kami pada akhirnya sudah duduk mengelilingi meja yang sengaja ditarik dan disatukan. 

“Dua setengah tahun, Re!” 

“Kok baru dua setengah tahun, eh iya, ya, kamu nikahnya telat, sih, ya? Anakku sudah lima tahun, tokcer soalnya!” kekehnya. 

“Ya gak apa lah, Re! Kalau jodoh sudah datang, ya gimana lagi? Masa kita tolak!” tukas Harum seraya tersenyum. 

“Iya lagian kamu keren tahu, Re. Dapet suami pengusaha! Beuhhh … aku juga kalau ada pengusaha tajir kayak suami kamu yang nyasar, sudah kuembat!” Mirna menimpali seraya mengunyah potongan kue yang dia masukkan ke dalam mulut. 

“Yah, kadang orang hanya saling pandang, Mir! Asal kalian tahu, menjadi istri pengusaha itu tak seindah yang dibayangkan. Bahkan dua minimarket paksu sudah dijual, kami terlilit hutang, Mir!” wajahnya berubah sendu. Namun satu hal yang aku suka dari Renata, dia itu blak-blakan dan apa adanya. 

“Ya ampuuun, maaf banget, Re!” Mirna tampak merasa tak enak. 

“Iya gak apa-apa, makanya aku seneng banget mau ada reuni ini, ya kali teman-teman yang sudah sukses bisa bantu ekonomi aku. Sekarang sisa dua minimarket lagi yang masih di pegang suami, satunya lumayan sih, omset per bulan itu dua ratus lima puluh jutaan, tapi ya salah kami sih yang dulu mentingin gaya hidup, kalau gak dilepas ya kami masih pontang-panting nutup cicilan! Hmmm … kali dari kalian ada yang mau ambil alih, jual butuh saja mau kulepas lima ratus juta!” tukasnya dengan wajah sendu. 

Kami semua saling terdiam. Angka yang disebutkan oleh Renata bukan main-main, lima ratus juta. Sebetulnya uang tabunganku dari hasil menulis selama lima tahun, ditambah dari kontrak film kemarin lebih dari dua kali lipatnya angka tersebut. Namun, aku sendiri masih takut kalau mau investasi dan aku bingungan orangnya. Jadinya selama hidup, hanya kuambil sedikit saja untuk keperluan sehari-hari dan menyenangkan Ibu. Selebihnya aku hanya berusaha hidup memakai gajiku dari ngajar TK dan hidup sederhana. Toh tempat tinggal sudah gak nyicil walau memang tak besar. Tanah dan rumah peninggalan almarhum Ayah sudah cukup untukk bernaung. Lagian aku gak mau orang-orang tahu kalau aku banyak uang. Di rumah aku hanya tinggal berdua dengan Ibu. Aku takut kalau ada orang yang mau berniat jahat gimana? Karenanya hidup sederhana menjadi pilihan. 

“Dew! Kamu ‘kan jadi bintang di film terbaru yang fenomenal itu! Ayolah bantu Renata, tabungan kamu pasti banyak ‘kan?” Mirna menatap sohibnya yang sejak tadi tampak tak fokus. Aku tahu sudut matanya mengarah ke mana? Sejak tadi dia sibuk memperhatikan Dion yang tengah berbincang dengan teman-teman satu angkatan lainnya. 

“Ah, iya kenapa, Mir? Bantu Renata maksudnya?” Dewi seperti baru tersadar akan topik obrolan kami. Dia gegas menoleh pada Renata. 

“Dia sedang terlilit hutang, Dew! Kamu kan artis! Duitnya banyak pasti! Bantulah Renata, kasihan!” Mirna mengulang lagi kalimatnya. 

“Ya alhamdulilah sih kalau masalah uang, meskipun aku bukan orang pintar dan kebanggaan sekolah dulunya, tapi kalian lihat sendiri lah! Aku sudah jadi bintang iklan juga, sekarang sudah tanda tangan kontrak juga untuk main film! Ya you know lah, kira-kira berapa,” tukas Dewi dengan bangga. 

“Kalau gitu belilah Dew, minimarket aku mau dilepas murah saja! Aku terbantu banget kalau kamu mau beli! Aku benar-benar ingin terlepas dari hutang riba. Capek aku, Dew! Harga temen, dua kali bayar juga gak apa, Dew!” Renata tampak mengiba. Tampak beban yang menggelayut itu begitu nyata. 

“Berapa emang harganya? Kamu remehin aku ya sampai nyuruh dua kali bayar?” kekeh Dewi seolah merasa tersindir. 

“Tuh, Re! Dewi itu artis, kamu jangan khawatir, duit dia pasti banyak!” Mirna tampak bangga sekali pada sahabatnya itu. 

“Alhamdulilah, semoga pertolongan ini datang dari acara reuni ini! Gak mahal, Dew! Aku lepas minimarketnya seharga lima ratus juta saja!” 

Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya. 

Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang dibayar ratusan ribu per hari ada juga yang hanya puluhan ribu itu pun hanya beberapa scene biasanya. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang.

Sambil nunggu ini update, yuk boleh baca cerita yang lainnya. Pokoknya gak bakal nyesel deh. 

Rekomendasi cerita buat kakak yang wajib dikepoin di profil aku

1. DINIKAHI KONGLOMERAT

2. MENIKAH DENGAN SULTAN

3. TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU

 

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hendy Hartono
banyak banget tulisannya
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 73 (end)

    Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 72

    “Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Sesion 2 - Bab 71

    Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 70

    “Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 69

    “Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 68

    Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status