“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya.
Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku.
Akhirnya foto berhasil kuambil dengan segenap kehati-hatian. Kuserahkan gawai mahal milik Dewi lagi pada pemiliknya. Maklum, namanya juga artis. Semua harus serba mahal pastinya demi menunjang penampilan.
“Sini lihat! Duh kok miring-miring gini sih, Yu! Yang ini lagi … wajah akunya malah keambil separuh!” Dewi menekuk wajah ketika melihat gambar di dalam HP.
“Duh, maaf, Dew! Gak biasa pegang HP mahal soalnya! Bingung tadi ngarahinnya!” Aku menjawab santai, padahal sengaja tadi yang kuambil gambarnya banyak itu Selvi dan Marwah.
“Kita ulangi lagi, yuk, Vi, Mar! Minta ambilin gambarnya sama orang lain jangan sama dia! Ini tuh gak instragamable banget, tahu!” Dewi tampak mendelik ke arahku dan bibirnya mengerucut.
Kulihat Selvi dan Marwah kembali saling bertukar pandang, tetapi pada akhirnya keduanya mengangguk.
“Yu, titip dulu, ya! Kalau ada yang dateng lagi suruh isi kehadiran saja, ya!” tukasnya pada akhirnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Padahal sebelum Dewi datang, keduanya membicarakan Dewi dan katanya bangga padaku karena dulu sudah buat Dewi kehilangan muka. Namun giliran orangnya ada di depannya, keduanya kayak menghamba.
“Iya, aku jagain sambil nungguin Harum!” Aku menyanggupi.
Mereka pun gegas berlalu dan tampak menuju tempat duduk di mana ada Salsa dan Mirna di sana. Aku melihat mereka bercipika cipiki, lalu pada tertawa-tertawa. Beberapa orang sudah mulai berdatangan. Aku mengangsurkan lembar kehadiran dan meminta mereka mengisi.
“Eh, Ayu yang jadi panitia, ya?” Isna yang datang bersama suami dan anaknya bertanya.
“Panitia cadangan!” Aku menjawab singkat.
“Sendirian saja, Yu? Eh apa belum nikah?” Rudi yang datang di belakang Isna berbasa-basi.
“Iya masih jomblo, Rud!” Aku menimpali alakadarnya.
Duh gak enak ya duduk di kursi panitia. Soalnya di sini orang-orang datang dan jadinya banyak pertanyaan. Namun kulihat Selvi dan Marwah masih cekikian di mejanya Dewi dan dua sahabatnya. Hadeuh, dasar ya mereka itu.
“Iya mending gitu, Yu! Nikahnya sekali seumur hidup! Jangan sampai kayak gue, baru setahun nikah ditinggal selingkuh, huh! Nyeseknya di mana-mana!”
Tanpa kusangka Rudi langsung saja bercerita. Wajahnya memasang wajah sendu.
“Eh, sudah … jangan sedih!” Aku bingung harus menimpalinya kayak gimana. Rudi malah menarik kursi dan duduk di dekatku.
“Iya sudah gak sedih kok, Yu! Hanya saja kadang pacaran lama itu gak jamin kalau pas nikah akan bahagia, Yu! Buktinya gue … padahal masalahnya sepele, hanya karena kerjaan saja! Dia pengen suaminya kerjanya lebih bergengsi, padahal tiap bulan itu gaji gue gak kurang dari lima juta dikasihin ke dia,” tukasnya sambil menghela napas.
“Sabar ya, Rud!” Ah bingung juga harus nimpalin kayak gimana. Sudahlah kusuruh saja si Rudi itu sabar. Lagian mau komen apa juga, aku gak dekat dengan mereka. Aku kan dulu makhluk asing dan terpinggirkan di sekolah. Hanya punya satu orang teman yang menganggapku manusia yaitu Harum saja.
“Iya, makasih, Yu! Eh kamu kerja apa sekarang?” Rudi malah nanya lagi. Sumpah, aku sudah gak nyaman.
“Ngajar TK, Rud!” jawabku datar dan singkat.
“Oh cuma ngajar TK ya, Yu? Sayang banget padahal sejak sekolah nilai kamu bagus terus!” Dia tampak menyayangkan, padahal aku saja yang menjalaninya baik-baik saja. Apa semua hal dinilai dengan materi di mata mereka. Ah, andai saja dia tahu hasil penjualan novelku dan hasil kontrak dengan production house dapat angka berapa. Namun, gunanya apa juga kalau kusombongkan padanya. Justru dengan aku menampakkan diri jadi orang gak punya, semua malah terlihat aslinya.
“Iya sayang banget, Yu! Aku saja yang dulu nilainya rata-rata, kerjanya sekarang jadi customer service! Gaji UMR, ditambah fasilitas kantor lengkap! Tiap tahun dapat jalan-jalan juga dari perusahaan.” Ah siapa lagi yang datang. Rupanya Intan sudah berdiri dan tengah mengisi daftar hadir juga. Gini nih gak enaknya duduk di kursi panitia, huh.
“Iya dapetnya itu!” jawabku lagi seraya mencoba tetap bersikap biasa. Intan ini memang dulu bukan bintang kelas dalam urusan nilai, tetapi seingatku dia itu supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Satu lagi yang membuat dia menang yaitu postur tubuh tingginya yang berbanding terbalik denganku.
“Rudi, Intan! Sini!” Kudengar suara memanggil mereka.
Salsa tampak melambaikan tangan ke arah lelaki itu. Akhirnya aku bisa bernapas lega ketika Rudi dan Intan berpamitan dan bergabung dengan geng Dewi dan teman-temannya dan tampak mereka berfoto-foto.
Aku hanya menggeleng kepala melihat tingkah Dewi. Bagaimana tidak, di mana-mana orang yang ngefans yang minta foto sama artis. Ini dari tadi, setiap orang datang Dewi ajakin berfoto. Kayaknya hanya aku saja yang gak dia ajak, maklum makhluk astral dan gak selevel sama mereka.
Waktu sudah setengah jam berlalu ketika tampak sosok seseorang yang kutunggu datang. Harum datang dengan menggendong Azril---anak lelaki berumur dua setengah tahun yang tengah aktif-aktifnya.
“Ya ampuuun, Yu! Kamu jadi panitia, ya?” Harum gegas mengisi buku kehadiran.
“Enggak, Rum!”Aku menjawab singkat seraya bangun lalu mencubit gemas pipi Azriel.
“Lah terus ngapain di sini bengong sendirian!” tanyanya seraya meletakkan ballpoin.
“Tadi gabung sama Marwah dan Selvi, eh merekanya ke sana. Masalahnya kan yang kenal sama aku kan kamu doang!” kekehku seraya bangkit lalu mengambilkan kotak kue untuk Azriel dan Harum.
“Eh, Yu! Yang dikasih orang tuanya saja! Anggota keluarga tambahan kalau gak bayar gak dapet!” Kudengar suara Marwah.
Aku menoleh padanya dan tersenyum. Rupanya ada Salsa juga yang datang dan hendak mengambil kue.
“Ini jatahku, Mar! Aku kasih Azriel.” Aku tersenyum dan menoleh pada Silvi dan Marwah yang baru saja pada kembali. Mungkin mereka datang melihat sudah makin banyaknya alumnus yang sampai.
“Oh ok, yakin kamu kasihin Azriel, Yu! Itu kuenya enak tahu! Kelas premium juga! Mana ada di jual diluaran!” tukas Marwah seraya menatapku.
“Sudah sih biarin saja, Mar! Biasanya kalau lidah kampung itu gak cocok sama makanan kota! Aku sih yakin, pasti Ayu gak pernah tuh nyicip kue kayak ginian!” Ah, cabai mahal memang pedas, tapi mulut Salsa kok lebih pedas, ya?
“Iya gak apa, kok! Lagian bener lidah kampung aku gak cocok juga makan kue mahal!” tukasku sengaja merendah. Merendahlah serendah-rendahnya biar mereka bingung mau rendahin aku kayak gimana lagi.
“Ehmmm … tujuh tahun rupanya tak mampu membuat kebaikan kamu luntur, Yu! Inilah yang bikin kamu tuh selalu beda sama orang lain!”
Eh, tiba-tiba suara seseorang muncul dan membuat kami menoleh. Seketika aku menelan saliva. Sosok tinggi tegap yang masih konsisten dengan alis tebalnya sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berada. Tatapan itu mengarah ke arahku. Sorot mata yang rasanya masih sama dengan waktu tujuh tahun lalu. Lingga Bardion---lelaki yang sudah menjadikan alasan Dewi membenciku setengah mati tengah tersenyum ke arahku.
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l