Share

004

Batari dibaringkan di brangkar pasien di ruang unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Seorang perempuan dengan jas warna putih memeriksa keadaannya.

Batari sudah sadarkan diri, tetapi dalam kondisi yang tidak prima. Ia hanya diam memandang ke sekeliling hingga bersirobok tatapannya dengan Xabier.

"Kamu di rumah sakit," jelas lelaki itu.

Perawat di sampingnya membantu mengecek suhu tubuh dan tekanan darah.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Xabier.

"Ibu Batari tekanan darahnya rendah, menyebabkan ia tadi pingsan. Ini membutuhkan perawatan di rumah sakit agar dapat kita pantau," jelas dokter bernama Cresentia pada label nama yang menempel di dadanya.

Dengan berat hati, Xabier menerima saran dari Cresentia. Batari pun tidak membantah. Kalau ia ngotot minta dirawat di rumah, akan merepotkan. Xabier pasti harus mencari tenaga yang akan membantu merawat dirinya.

"Kita akan memasukkan cairan infus. Ini sedikit sakit," ujar perawat.

Batari meringis merasakan sakit jarum suntik di lengannya.

"Kita juga akan ambil sampel darah untuk diperiksa di laboratorium," sambung perawatnya.

Setelah selesai, Xabier diminta untuk ke meja dokter jaga.

"Bapak, perlu mengurus ruang rawat Ibu Batari ke bagian administrasi" ucap dokter. "Untuk hasil laboratorium harap menunggu, Pak," sambung Cresentia.

Xabier mengangguk. Ia mengurus ruang rawat inap Batari, menungguinya hingga perempuan itu keluar dari unit gawat darurat.

Pria itu memilih ruang VIP untuk istrinya karena orang-orang kenal siapa dia. Nama baik adalah hal penting bagi Xabier.

"Saya harap kamu cepat sembuh, merepotkan," ucap Xabier begitu perawat keluar dari ruang rawat inap.

Batari tercengang mendengarnya, ia pikir Xabier tulus untuk membantunya ke rumah sakit, setidaknya empati.

"Bapak tidak perlu repot kalau begitu. Saya bisa mengurus diri saya sendiri," timpal Batari refleks. Tidak enak di pendengarannya ucapan tajam Xabier.

Dengkusan kasar terdengar dari mulut Xabier. "Sedang sakit saja masih sombong."

"Tidak perlu menunggui saya," tukas Batari enggan menatap suaminya. Ia melempar tatapan ke jendela yang tembus ke arah taman bunga rumah sakit.

Dada Xabier bergemuruh, tidak menyangka karyawannya itu berani lancang terhadapnya. Siapa juga yang mau menunggui, batin Xabier.

Pria itu melangkah keluar tanpa suara apapun. Ia meninggalkan Batari sendirian. Lebih baik mengurus bisnisnya dibandingkan bersama Batari.

Air mata jatuh di pipi Batari, ia membayangkan pernikahan yang berat akan dijalaninya. Dia mulai berpikir bahwa kata istri hanyalah status di atas kertas.

Pada kenyataannya, Batari tetap sendirian menjalani hidup saat ini. Perempuan itu berusaha menegarkan diri. Ia masih punya bude di desa yang menilainya berharga. Jejak air mata dihapus menggunakan selimut rumah sakit.

Perempuan desa seperti budenya saja mampu untuk hidup baik, membesarkan dirinya seorang diri, dan tidak bergantung pada orang lain. Batari menyemangati dirinya sendiri. Ia pasti mampu menjalani pernikahan yang entah sampai kapan.

Xabier menutup kencang pintu mobilnya, saat ia tiba di rumah. Lebih tepatnya, rumah mamanya.

Pria itu masuk dengan perasaan kesal yang masih terbawa dari rumah sakit. Dia benar-benar meninggalkan Batari sendirian di sana.

"Anak mama sudah pulang?" sapa Andalaska, Ibu Xabier.

"Sudah, Ma." Dia mencium pipi ibunya. "Batari masuk rumah sakit," lapornya, duduk di samping Andalaska yang sedang membersihkan koleksi perhiasannya.

"Oh, kenapa dia?" tanya Andalaska seadanya.

"Tekanan darah rendah, kata dokter," jawab Xabier mengamati perhiasan yang tertata rapi dalam kotak.

"Oh," responnya singkat. "Kamu makan dulu. Mama dan adikmu sudah makan malam bersama," pesan Andalaska. Ia tidak menanggapi lagi keadaan Batari yang masuk rumah sakit.

"Iya, Ma. Aku gerah, ke kamar dulu," sahut Xabier.

Andalaska mengangguk. Begitu anaknya pergi, ia menghentikan kegiatan membersihkan perhiasannya. Ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

Lusanya, Xabier ke restoran pusat. Sehari-hari begitulah aktivitasnya. Hari ini tidak ada jadwal kunjungan ke cabang maupun pemotretan.

Selama dua hari, ia tidak mengunjungi Batari sama sekali. Pria itu tenggelam dalam kesibukannya sendiri.

Sementara itu di rumah sakit, Batari mendapat hasil dari dua kali pemeriksaan sampel darahnya. Matanya berkaca-kaca mengetahui bahwa dirinya tengah berbadan dua.

Usia kandungannya tujuh minggu. Perempuan itu abai terhadap kondisi tubuhnya paska kejadian di hotel.

Sampai-sampai tidak mendapat siklus bulanan luput dari perhatiannya.

Tadi, sebelum dokter menerangkan hasilnya, sempat keberadaan suaminya dipertanyakan.

"Suami ibu Batari tidak datang lagi?" tanya perawat.

Batari menggeleng, ia tidak mengatakan apapun. Perawat seolah tahu bahwa rumah tangga pasiennya sedang tidak baik-baik saja.

Selama tiga hari mendapat perawatan di rumah sakit, kondisi Batari semakin membaik. Hanya Sekarita yang dihubunginya untuk mengabarkan perkembangan kesehatannya.

Sahabatnya itu pula yang membantu untuk mengambilkan pakaian dari rumahnya yang jauh di perbatasan kota. Pada Sekarita, ia lebih terbuka.

Batari menyelesaikan pembayaran rumah sakit yang tidak sedikit. Ia menggunakan uang bonus yang didapatkannya dari acara malam penganugerahan karyawan terbaik.

Agak menyesal rasanya ruangan yang dipilih oleh Xabier kategori VIP sehingga biaya rawat inap Batari selama tiga hari membengkak. Namun, apa mau dikata telah terjadi. Batari merasa perlu mengatur finansialnya sebaik mungkin agar ia tidak kehabisan uang selama mengandung.

Saat Batari berkemas untuk pulang ke rumah. Suara dari pintu mengagetkan tubuhnya.

"Jadi, kamu hamil." Kalimat sapaan yang bagi Batari terkesan kasar, setelah beberapa hari tidak bertemu.

Perempuan itu diam saja, tangannya bergerak lihai untuk menyusun barang pribadinya ke dalam sebuah tas ransel.

Dia merasa tidak perlu menanggapi Xabier, pria itu akan datang dan pergi dengan sendiri seperti pergantian cuaca.

Melihat Batari mengabaikannya, Xabier berjalan lebih dekat pada Batari.

"Mampu juga bayar rumah sakit," sindir Xabier berdiri sambil berkacak pinggang. Batari melirik sekilas dari ujung matanya. Sombong sekali, pikir Batari.

Setelah semua selesai, Batari duduk di bangku yang tersedia. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi untuk memesan taksi online.

Mendadak Xabier merebut ponselnya dan membatalkan pesanan Batari.

Darah Batari jadi mendidih dibuatnya.

"Kembalikan ponsel saya!" teriak Batari. Ia berdiri dan menengadahkan tangannya.

Xabier terkejut melihat Batari yang berani meneriakinya. Bola mata mereka bersirobok, saling menatap tajam.

Pria itu sepertinya ingin membuat Batari bertambah kesal. Secara sengaja, ia memasukkan ponsel Batari ke dalam saku celananya lalu berdiri bertolak pinggang.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rohani Syg Keluargany
mantap jgn mau di perbudak laki"
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
bagus Batari , jangan lemah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status