Delia, seorang istri pengusaha sukses tertimpa musibah yang menyebabkan matanya buta. Sempat putus asa tapi Tuhan memberikannya kesempatan untuk bisa melihat kembali. Di saat ia menyadari kesembuhannya dari buta dan ingin memberikan kejutan untuk Heru, sang suami tercinta, dia dikejutkan dengan terbukanya kebusukan suami dan sahabat terbaiknya Lastri. Apa kebusukan yang diketahui Delia? Kenapa dia memutuskan pura-pura buta? Dan apa rencana Delia dengan berpura-pura buta?
view more"Mas Heru!" Gumamku dengan senyum terkembang. Terdengar suara deru mobil berjalan memasuki halaman rumah. Aku yakin itu mobilnya. Aku bergegas turun dari lantai atas kamarku.
"Bu, hati-hati jalannya, jangan lari!" Mbok Yem asisten rumah tangga yang sudah lama kerja ikut keluargaku, terdengar khawatir tapi tidak kudengarkan. Aku terlalu senang hingga terus berlari riang menyambut kedatangan belahan jiwa. Mas Heru, suami yang setia mendampingiku baik senang maupun duka. Apalagi saat aku terpuruk kehilangan penglihatan, dia tetap setia disampingku.
Rasanya tidak sabar memberikan kejutan kepadanya. Pasti dia tidak menyangka kalau aku sudah bisa melihat.
Namun belum sampai di pintu depan, langkahku terhenti, senyumku lenyap seketika saat mata ini melihat dengan jelas dari balik jendela kaca rumah, kalau Mas Heru keluar dari mobil bersama Lastri--sekretaris dan juga merupakan sahabat dekatku. Bukan hal yang aneh, karena mereka sering datang bersama ke rumah ini. Yang janggal kenapa harus bergandengan tangan. Mesra lagi.
Degup jantungku berdetak lebih cepat, dadaku berdebar hebat. Apa ini? Bukan dia yang terkejut tapi aku. Apakah selama ini mereka sedekat itu?
Segera aku berbalik dan duduk di kursi tamu dengan pikiran kacau. Kuraba dada ini. Bunyi degupnya masih terdengar tidak beraturan.
'Tidak mungkin. Mungkin aku cuma salah paham saja.' Mencoba berpikir positif. Namun rasanya sulit, melihat senyum bahagia mereka, sisi hatiku menolak.
Pintu depan terdengar terbuka. Masih terdengar gelak tawa mereka dari tempatku duduk.
Kuhitung dalam hati. 'Satu … dua … tiga.'
"Delia? Kok a--ada di sini?" Tergagap Mas Heru bertanya. Dia tampak terkejut melihatku duduk sendirian di ruang tamu. Refleks dia mengurai genggaman tangan Lastri. Lalu berjalan mendekat.
Perhitunganku tepat. Selama aku buta, pendengaranku lebih sensitif. Aku dapat menghitung jarak dan suara langkah kaki. Dapat menghitung berapa langkah dari arah pintu depan sampai ke tempatku duduk. Saat seperti ini ternyata sangat berguna.
Sedang Mbok Yem sudah berdiri di depanku dengan tatapan yang entah, penuh misteri. Seperti ada yang ia pikirkan atau pendam. Dia terlihat menggelengkan kepala dengan wajah takut mengarah ke Mas Heru. Kenapa? Aku tidak dapat melihatnya langsung karena takut Mas Heru curiga.
"Bosan, Mas. Di kamar terus," jawabku datar. Mas Heru duduk di sebelah. Dia seperti mengamati. Apa sandiwaraku ketahuan ya?
"Nggak apa sayang, kamu bisa keliling rumah ini. Bebas mau kemana saja. Ke taman belakang juga bisa, biar nggak bosan. Kan kamu suka lihat bunga-bunga yang kamu tanam," ujarnya sambil mengelus lembut rambut panjangku. Sedang tangan sebelahnya di udara mengkode Lastri untuk duduk di seberang kursiku.
Aku tersenyum kecut. "Bagaimana aku bisa melihat bunga tersebut Mas, kamu lupa kalau aku,"
"Ma--maaf Sayang. Bukan maksud Mas untuk, e … ehm, maaf," sesalnya langsung memotong ucapanku. Tampak merasa bersalah.
"Lupakan, kamu sama siapa Mas ke sini? Kudengar tadi ada suara perempuan, Lastri ya?" Kusunggingkan senyum tipis ke arah depan. Berpura tidak tahu.
"E … ehm, iya Sayang, sama Lastri. Tuh, dia duduk di depanmu." Aku mengangguk dengan tatapan lurus ke depan, seolah menyapanya. Ya, di depanku duduk dengan diam atau memang diam-diam, agar aku tak tahu kalau dia ada di sini. Sekretaris suamiku. Aku sendirilah yang merekomendasikannya kepada Mas Heru, karena waktu itu Lastri sangat butuh pekerjaan. Kupinta saja Mas Heru untuk menerimanya, entah sebagai apa, asal dia bekerja.
Dari sini, dapat kulihat dia tersenyum tertahan dengan menatapku sinis. Duduk dengan jumawa sambil mengangkat satu kakinya ke atas kaki lainnya. Sengaja memperlihatkan paha mulusnya. Untuk apa? Apa untuk menarik perhatian Mas Heru? Heh! Roknya terlalu pendek. Setahuku dulu tidak seperti ini cara berpakaiannya.
"Mbok Yem, bisa pergi. Biar Delia saya yang urus," titah mas Heru.
"Jangan!" Teriakku.
Mereka terkejut melihatku tetiba berteriak.
"Maksudku, Mbok Yem tetap di sini. Aku merasa tenang kalau dia berada di sampingku. Kalau aku butuh apa-apa biar cepat diambilkan."
"Lo, kan sudah ada Mas. Biasanya juga begitu. Sudah Mbok pergilah," ucapnya lagi.
"Tapi Pak, Ibu," sahut Mbok Yem tertahan.
"Mbok," panggil tegas Mas Heru.
"I--iya, saya pergi." Seperti takut Mbok Yem berlalu pergi dari sini.
Aku diam, biarlah. Mungkin itu lebih baik. Kalau tetap kularang, dia bisa curiga dengan sikapku barusan.
"Ehm … bagaimana kabarmu Las? Hampir sebulan aku tidak melihatmu. Biasanya kamu selalu mengunjungiku," tanyaku basa-basi dengannya. Mengalihkan pembicaraan.
"Hm, baik. Aku sibuk. Pekerjaan di kantor sangat banyak. Iya kan, Mas?" Dia melepas stilettonya dan berjalan pelan maju ke depanku. Tidak, tapi berbelok ke samping ke arah Mas Heru. Lalu duduk di dekatnya. Sangat dekat sampai tubuh Lastri menempel ke tubuh Mas Heru. Kupaksakan melihatnya dari sudut mataku. Agak sulit, karena terlihat samar, tapi dapat kupastikan tangannya bergelayut manja di bahu Mas Heru.
Aku terhenyak takjub akan penglihatanku saat ini, ingin kumelotot melihatnya namun kutahan. Degup jantung berpacu cepat lagi. Kukepalkan tangan ke belakang badan.
'Sabar Delia, sabar. Jangan emosi. Berpuralah kamu tidak melihatnya. Tahan.
Jadi selama ini mereka menjalin hubungan di belakangku? Atau jangan-jangan mereka telah lama berselingkuh? Sungguh tega.
"Lastri, kamu di mana? Kenapa suaranya seperti di sampingku?" Sengaja kupancing pertanyaan ini.
Terdengar sayup suara seperti berbisik, dari sudut mataku dapat kutangkap gerakan tangannya Mas Heru menyuruh Lastri kembali ke tempat duduknya.
"Aku masih di sini, di depanmu, kenapa?" Jawabnya ketus. Marah. Dia sudah berpindah ke tempatnya. Sama, dengan jalan dibuat sepelan mungkin. Mencoba mengelabuiku, sayangnya aku bisa melihatnya. Apakah selama aku buta dia bertindak seperti ini? Pura-pura tidak terlihat.
"Kenapa kemari? Mengunjungiku atau ada kerjaan bersama Mas Heru?" Nada suaraku terdengar ketus, sulit untuk bersikap wajar setelah terbuka wajah busuknya.
"Iya, kami ada kerjaan bersama. Harus selesai malam ini." Wajahnya kembali ceria, dia tersenyum nakal sambil mengedipkan mata ke arahku, tepatnya ke arah Mas Heru.
"Iya, Sayang. Kami malam ini lembur, nggak apa kan malam ini kamu tidur sendiri. Ehm … maksudku tidur duluan. Nanti aku nyusul kalau pekerjaanku sudah selesai, kamu nggak marah 'kan?" sahut Mas Heru seraya mengusap tanganku yang berada di pangkuannya.
"Nggak apa Mas, aku ngerti. Kerjanya jangan terlalu diforsir nanti kalian sakit. Nggak lucu kan kalau sakitnya barengan juga," Kekehku, kupaksakan melucu menghibur hatiku yang sakit terluka karena penghianatan mereka.
Mereka tergelak ikut menertawakan leluconku.
"Iya Sayang, nggak akan," sahutnya masih dengan bibir tertarik ke atas.
"Mas, tolong antar aku ke atas," pintaku dengan memegang tangannya erat. Rasanya malas berlama-lama duduk di sini.
"Oh, iya Sayang, yuk! Sini Mas tuntun."
"Lastri, maaf kutinggal dulu. Anggaplah rumah sendiri," ujarku pamit dengannya. Terpaksa.
"Tentu, pasti itu, aku sudah menganggapnya seperti rumah keduaku." Jawabannya membuat langkah kakiku terhenti.
Rumah kedua? Maaf Las, tidak akan kubiarkan itu terjadi. Itu hanya dianganmu saja.
"Kenapa Del? Kok berhenti?"
"Tidak apa Mas. Ayo!" Ajakku lagi.
Aku berjalan berpura tidak melihat. Mata tetap fokus ke depan tidak melirik ke kanan dan ke kiri. Kubiarkan Mas Heru menuntunku pelan seperti orang buta hingga sampai naik ke atas, ke dalam kamar.
Setelah berhasil mendudukkanku ke tepi ranjang, Mas Heru berlalu pergi. Dia sempat berpesan kalau perlu sesuatu panggil lah dia atau Mbok Yem. Aku mengangguk mengiyakan.
Aku terduduk, merenungi ini semua. Mataku memanas mengingat kejadian barusan.
Sekarang baru kutahu kalau Lastri menusukku dari belakang. Ternyata mereka selama ini berselingkuh dariku. Kapan? Lamakah? Atau baru saja saat aku kehilangan penglihatan?
Baik Mas, Lastri. Aku ikuti permainan kalian. Mari kita bertarung, siapa yang menang dan mampu bertahan bersandiwara lebih lama, aku atau kalian?
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments