3 Answers2025-09-07 18:02:19
Gue sering mikir soal kenapa kritikus ngerasa lebih kejam ke film-film yang dianggap 'lebih parah dari '365 Days''. Untuk aku, yang suka nonton segala macam film dari yang indie sampai blockbuster, penilaian kritikus biasanya nggak cuma soal seberapa buruk alur atau aktingnya. Mereka ngeliat keseluruhan paket: niat pembuat film, bagaimana unsur teknis mendukung cerita, dan—paling penting—apa dampak etis dari pesan yang disampaikan. Kalau sebuah film gagal total tapi jelas berniat jadi satire atau komentar sosial, kritikus kadang masih bisa memuji bagian-bagian tertentu. Tapi kalau filmnya payah dan tampak meromantisasi perilaku yang berbahaya tanpa refleksi, reaksi negatifnya bisa brutal.
Selain itu, kritik nggak lepas dari konteks. Film seperti '365 Days' dikritik keras karena unsur eksploitasi dan penggambaran relasi yang bermasalah, sehingga ketika muncul film lain yang lebih buruk, kritiknya sering kali fokus pada bagaimana film itu mengulang atau memperparah masalah tersebut—misalnya glamorisasi kekerasan, representasi perempuan yang reduktif, atau pemaknaan persetujuan yang ambigue. Kritikus juga sering mengangkat kelemahan teknis: dialog klise, pacing kacau, sinematografi yang cuma polesan tanpa fungsi naratif.
Di sisi lain, ada juga sudut pandang yang lebih 'pasrah': kalau film itu viral dan penonton menikmatinya sebagai guilty pleasure, kritikus bisa dicap terlalu snob. Nanging, menurut aku, tugas kritikus adalah menilai bukan hanya hiburan semata tapi juga konsekuensi budaya. Jadi ketika sebuah film yang lebih buruk dari '365 Days' keluar, komentar kritikus biasanya intens karena film semacam itu terasa seperti langkah mundur dalam representasi dan etika pembuatan film—dan itu bikin diskusi jadi panas. Aku sendiri akhirnya lebih sering memilih nonton dengan catatan kritis, bukan cuma buat hiburan kosong.
3 Answers2025-09-07 09:46:00
Ada beberapa film yang buatku terasa lebih bermasalah daripada '365 Days' — bukan sekadar soal buruknya akting, tapi karena mereka benar-benar meromantisasi atau menormalisasi hal-hal berbahaya. 'Fifty Shades of Grey' misalnya, sering dipakai referensi ketika ingin menyebut hubungan yang tampak glamor tapi sesungguhnya penuh dinamika kekuasaan yang timpang. Banyak kritik valid soal bagaimana batas-batas persetujuan dan dinamika kontrol digambarkan seolah-olah itu romantis.
Di sisi lain, ada film-film yang kontroversinya lebih gelap: 'Blue Is the Warmest Colour' mendapat sorotan karena cara adegan intim dan proses kerja yang membuat banyak penonton mempertanyakan etika yang terjadi di balik layar. Lalu ada judul-judul ekstrem yang sebaiknya dihindari jika tujuanmu cuma 'hiburan romantis'—'A Serbian Film' dan 'I Spit on Your Grave' termasuk yang mengandung kekerasan seksual eksplisit dan tema yang sangat mengejutkan; mereka bukan hanya problematik, tetapi bisa melukai secara emosional.
Kalau mau tontonan yang lebih sehat tetapi tetap intens, aku biasanya merekomendasikan mencari film dengan representasi persetujuan yang jelas atau drama yang mengkritik, bukan merayakan, perilaku toksik. 'Gone Girl' misalnya menyodorkan manipulasi dengan sudut pandang kritis, bukan glorifikasi. Intinya: kalau tujuanmu menonton adalah cerita cinta, hindari yang meromantisasi kontrol atau kekerasan dan pilih yang memberi ruang pada karakter untuk membuat pilihan yang jelas.
3 Answers2025-09-07 22:40:40
Ini topik yang selalu bikin grup chat filmku memanas: kalau bukan karena kualitas produksi, film mana yang lebih parah dari '365 Days' soal kontroversi? Buatku ada beberapa judul yang memang melampaui level kontroversi ’365 Days’ karena bukan sekadar romantisasi hubungan bermasalah, melainkan menabrak batas-batas etika, kekerasan, dan eksploitasi yang bikin orang muntah secara moral.
Yang pertama langsung muncul di kepala adalah 'A Serbian Film'. Ngomongin ini rasanya seperti menyentuh garis merah yang sengaja dilanggar: adegan-adegan yang ekstrem dan isi cerita yang dirancang untuk mengejutkan sampai titik menjijikkan. Berita pemblokiran di beberapa negara, pemotongan adegan untuk rilis festival, sampai sensor ketat jadi bukti betapa film itu tak cuma memicu debat—ia benar-benar membuat publik menutup mata. Lalu ada 'Salò, or the 120 Days of Sodom' yang sudah dianggap karya transgresif klasik: bukan cuma vulgar, tapi juga komentar politik yang sangat pahit dan brutal.
Selain itu, 'The Human Centipede' mungkin lebih terkenal karena tubuh manusia dijadikan objek eksperimen yang absurd dan menjijikkan, bukan karena romantisasi. Ada juga 'Irreversible' yang adegan kekerasannya panjang dan membuat trauma; film-film itu memicu pertanyaan etika produksi dan batas kebebasan artistik. Jadi, kalau ukuran kontroversi dipakai, beberapa judul ini jelas lebih parah dari '365 Days'—bukan karena lebih buruk sebagai film, tapi karena mereka sengaja mengekspos hal-hal yang kebanyakan orang anggap tak boleh dihadirkan. Aku sendiri setelah nonton merasa perlu jeda, minum air, dan memikirkan lagi kenapa manusia membuat karya seperti itu.
3 Answers2025-09-07 17:10:13
Aku sering banget lihat diskusi panas soal film seperti '365 Days' di grup—jadi ini pendapatku yang agak panjang dan agak teknis tapi tetap santai.
Di Indonesia, film nggak lantas dilarang cuma karena ‘lebih parah’ dari '365 Days'. Yang menentukan biasanya sejauh mana konten itu melanggar norma hukum dan pedoman sensor: adegan pornografi eksplisit, kekerasan seksual yang ekstrem, eksploitasi anak, atau materi yang membuka peluang pelanggaran hukum dan ketertiban publik bisa bikin film ditolak edar atau dipotong oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Jadi kalau suatu film memang mengandalkan pornografi terang-terangan atau menormalisasi kekerasan seksual tanpa konteks, kemungkinan besar bakal kena band.
Namun praktiknya nggak selalu hitam-putih: ada film dengan adegan dewasa yang tetap lolos dengan pemotongan atau rating ketat, dan ada juga film yang lebih keras tapi pada akhirnya cuma dibatasi aksesnya lewat bioskop atau platform tertentu. Untuk distribusi online, platform internasional kadang menaruh pembatasan umur atau versi yang dimodifikasi; sementara akses via situs bajakan jelas di luar kontrol yang sehat, tapi tetap ada risiko pemblokiran jika dianggap melanggar undang-undang pornografi.
Kesimpulannya, bukan soal ‘lebih parah’ secara subyektif, melainkan soal kesesuaian dengan aturan sensor dan hukum di Indonesia. Aku cenderung berharap diskusi publik dan edukasi tentang batasan itu lebih banyak, biar orang tahu bedanya kebebasan berekspresi dan konten yang memang berbahaya atau ilegal.
3 Answers2025-09-07 17:57:52
Setelah nonton '365 Days' aku langsung ketawa miris sambil menutup mata—gak karena terhibur, tapi karena ngerasa kayak lihat semua red flag berkedip terang. Buat aku, yang suka nonton banyak drama romantis dan thriller, ada beberapa film di Netflix yang menurutku secara teknis atau etis 'lebih parah' daripada '365 Days'. Misalnya 'The Last Days of American Crime' yang terasa seperti gabungan plot bolong, dialog kaku, dan ide yang buruk hingga bikin kesel. Film itu bukan cuma buruk secara sinematik, tapi juga gagal total menyampaikan premisnya sehingga nonton jadi pengalaman yang membingungkan dan nyakitin waktu.
Di sisi lain, ada film-film yang secara moral bikin risih—'365 Days' glamorizes pemaksaan dengan cara yang menganggu, tapi beberapa judul lain di platform kadang lebih ofensif atau canggung dalam eksekusinya. Contohnya beberapa film komedi romantis produksi cepat yang dialognya klise, karakter datar, dan pacingnya berantakan; mereka mungkin bukan skandal etis, tapi menonton sampai akhir terasa seperti hukuman ringan. Terus, deretan film slapstick atau komedi Adam Sandler-era Netflix tertentu juga sering dianggap lebih 'parah' buat pecinta film karena humornya yang kasar dan kualitas produksi yang turun.
Intinya, tergantung definisimu: lebih parah gimana? Kalau soal meromantisasi hal berbahaya, '365 Days' punya level unik. Kalau soal kualitas film secara keseluruhan—plot, akting, editing—ada beberapa judul Netflix yang bisa dibilang lebih hancur. Aku biasanya tandai film yang bikin geregetan jadi tontonan bareng teman, karena nonton bareng bisa ubah rasa frustrasiku jadi bahan bercandaan yang enak.
3 Answers2025-09-07 00:09:05
Saat menilai film yang dianggap lebih buruk daripada '365 Days', aku langsung teringat Kevin Spacey di 'Billionaire Boys Club'. Film itu bukan hanya dipreteli oleh kritik karena kualitasnya, tapi juga dilemahkan oleh kontroversi besar seputar sang pemeran utama—yang membuat perilisan dan promosi film jadi berantakan.
Aku nonton potongan-potongan film itu waktu dilepas ke publik dan rasanya aneh melihat bagaimana kontroversi pribadi seorang aktor bisa menutupi aspek teknis film. Kalau menimbang mana yang 'lebih parah' antara sebuah film yang buruk semata dan film yang buruk plus beban moral karena skandal, bagi banyak orang kasus Spacey jadi contoh klasik. Filmnya sering dianggap lebih menyedihkan karena momen-momen penampilannya harus dinilai sambil memikirkan cerita di luar layar.
Di sisi personal, aku merasa pengalaman menonton jadi terbelah: ada rasa penasaran sinematik, tapi juga rasa tak nyaman yang menjauhkan. Jadi kalau kamu tanya siapa pemeran kontroversial di film yang sering disebut lebih parah dari '365 Days', Kevin Spacey adalah nama yang sering muncul — bukan karena akting semata, tapi karena bagaimana kontroversi itu mengubah konteks seluruh film.
3 Answers2025-09-07 00:58:15
Gila, menurutku ada beberapa adaptasi yang lebih kacau dari '365 Days' — cuma jenis kacauannya beda-beda.
Dari sudut pandang teknis, '365 Days' terkenal karena dialog kaku, akting yang sering dipermainkan, dan terutama karena kontennya yang dianggap mempromosikan hubungan berbahaya. Itu membuat filmnya beracun secara moral bagi banyak orang. Tapi kalau bicara soal adaptasi yang benar-benar menghancurkan materi sumber, aku langsung terpikir 'Eragon'. Film itu meremukkan dunia fantasi yang panjang dan penuh detail menjadi produk datar dan murahan; karakter dirampas lapisan emosionalnya, plot dipotong seenaknya, dan efeknya malah menonjolkan kekosongan.
Ada juga kasus lain yang membuatku muak bukan karena kontroversi moral, melainkan karena studio mencabut jiwa novelnya: 'The Dark Tower' mengambil mitologi bercabang karya Stephen King dan mereduksinya jadi film aksi yang bingung. 'The Golden Compass' juga sempat disensor dan dipotong aspek filosofisnya sampai penggemar merasa intisari cerita hilang. Dan jangan lupakan 'The Cat in the Hat' — itu bukan novel dewasa, tapi sebagai adaptasi anak-anak ia menghancurkan pesona asli buku dengan humor kasar dan desain visual yang menyakitkan.
Intinya, kalau menilai mana yang "lebih parah" daripada '365 Days', aku melihat dua garis berbeda: film yang bermasalah karena isinya (moral/etis) dan film yang bermasalah karena kualitas adaptasi (tidak setia, merusak tema). Beberapa film menempati kedua kategori sekaligus, tapi banyak juga yang hanya buruk secara teknis sehingga bikin pembaca marah karena merasa dikhianati. Aku tetap berharap pembuat film belajar dari kesalahan itu — adaptasi bagus itu mungkin, asal ada rasa hormat pada sumbernya.
3 Answers2025-09-07 14:45:00
Gila, aku pernah kepo setengah mati soal ini setelah nonton '365 Days'—dan ya, ada banyak film yang jauh lebih "berani" atau kontroversial, tergantung apa yang kamu maksud dengan "lebih parah".
Kalau kamu cari yang mainstream dan gampang diakses, mulai dari Netflix atau Amazon Prime. Netflix sendiri kadang punya sekuel atau film berbau erotis seperti '365 Days', tapi untuk yang lebih eksplisit dan artistik, platform seperti Mubi atau Criterion Channel sering masukin film-film arthouse Eropa yang kontroversial, misalnya 'Love' (Gaspar Noé) dan 'Nymphomaniac' (Lars von Trier). Jika mau opsi bayar per film, cek Google Play, Apple TV/iTunes, atau YouTube Movies—seringkali film-film seperti 'The Dreamers' atau '9 Songs' tersedia untuk dibeli/sewa.
Saran praktis dari aku: gunakan layanan seperti JustWatch untuk cek ketersediaan di negaramu, karena lisensi beda-beda tiap negara. Jangan lupa, film-film ini biasanya punya rating dewasa ketat—umur harus sesuai dan ada verifikasi. Kalau kamu ngejar sensasi murni, berhati-hati juga dengan ekspektasi; beberapa judul lebih bernilai sebagai karya seni atau provokasi ketimbang sekadar tontonan "goreng". Aku biasanya pilih versi director's cut kalau available, biar paham konteksnya.
Kalau mau rekomendasi judul lain yang cukup ekstrem tapi bernilai sinematik, cobain juga cari 'Blue Is the Warmest Colour' atau 'Intimacy'. Nikmati dengan kepala dingin dan pastikan nonton dari sumber legal—rasanya malah lebih puas kalau kualitas video dan audio bagus, plus dukungan buat pembuat film tetap terjaga.